DM (DIABETES MELITUS)
A.
PENGERTIAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemia
kronik yang disertai dengan berbagai kelainan metabolic yang diakibatkan oleh
gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai macam komplikasi kronik pada organ
mata, ginjal, saraf, pembuluh darah disertai lesi pada membrane basalis dalam
dengan menggunakan pemeriksaan dalam mikroskop electron (Sustrani,2014).
Diabetes berasal dari bahasa Yunani
yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal
dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes melitus
dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar
glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai
dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel
terhadap insulin (Bilous, 2015).
B.
ETIOLOGI
Menurut
Rendy (2015) etiologi pada Diabetes Mellitus dibagi menjadi 2, yaitu:
1.
Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
a.
Faktor genetik
Penderita
diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu
presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I.
Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen
HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan
gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
b.
Faktor
imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti
adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibody
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
c.
Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai
contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara
pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin
maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari
sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya
kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel.
Diabetes
Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non
Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu
kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai
pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor
risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya
adalah:
1.
Usia (resistensi insulin cenderung
meningkat pada usia di atas 65 tahun).
2.
Obesitas.
3.
Riwayat keluarga
4.
Kelompok etnik
C.
MANIFESTASI
Menurut
Sudoyo (2014) manifestasi diabetes di bagi menjadi 2, yaitu tipe 1 dan tipe 2,
sebagai berikut:
1.
Diabetes
Tipe I
a. hiperglikemia berpuasa
b. keletihan dan kelemahan
c. ketoasidosis diabetik (mual, nyeri
abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran,
koma, kematian)
2.
Diabetes
Tipe II
a. gejala seringkali ringan mencakup
keletihan, mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang
sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
b. komplikasi jangka panjang
(retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer).
Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa
tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya
pada malam hari) dan bertambah lanjutnya kaki merasa mati rasa. Di
samping itu, penurunan fungsi proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta
gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan
tubuh) dan penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan
gaya berjalan yang terhuyung-huyung. Penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat
penderita kaki diabetes beresiko untuk mengalami cedera dan infeksi pada kaki
tanpa diketahui.
D.
PATHOFISIOLOGI
1.
Diabetes
tipe I
Pada Diabetes tipe I
terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas
telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat
produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada
dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).
Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urin (Glukosuria). Ketika
glukosa yang berlebih dieksresikan dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan
diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu
metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien
dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan
kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.Proses ini akan terjadi
tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang
merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan tandatanda dan
gejala seperti nyeri abdominal, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau
aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma
bahkan kematian (Armstrong,2010) .
2.
Diabetes
tipe II
Pada Diabetes tipe II
terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor
khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel.
Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung
lambat dan progresif maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat
ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka
yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar
glukosanya sangat tinggi).
Penyakit Diabetes
membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh darah di
seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan
terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut
makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut
mikroangiopati. Ulkus
Diabetikum terdiri
dari kavitas sentral biasanya lebih besar disbanding pintu masuknya,
dikelilingi kalus keras dan tebal. Awalnya proses pembentukan ulkus berhubungan
dengan hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin dan
suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin keras pada
daerah kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris perifer
memungkinkan terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan
jaringan dibawah area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan
akhirnya ruptur sampai permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan
penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi. Mikroorganisme yang masuk
mengadakan kolonisasi didaerah ini. Drainase yang inadekuat menimbulkan closed
space infection. Akhirnya sebagai konsekuensi sistem imun yang abnormal,
bakteria sulit dibersihkan dan infeksi menyebar ke jaringan sekitarnya,
(Armstrong,2010).
E.
PATHWAY
A.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemerisaan
penunjang pada Diabetes Mellitus, menurut Sujono & Sukarmin (2016) sebagai berikut:
1.
Glukosa
darah
·
Gula Darah Puasa (GDP).
Maksudnya adalah gula darah yang diukur pada saat seseorang tidak makan atau
minum sesuatu yang mengandung gula selama delapan jam terakhir, nilai normal
gula darah puasa adalah antara 70 dan 100 mg/dL
·
Gula darah 2 jam setelah
makan (GDPP). Kadar gula darah yang diambil (diukur) pada saat 2 jam setelah
makan kurang dari 140 mg/dL
·
Gula Darah Sesat (GDS).
Pengukuran kadar gula darah kapan saja selain waktu di atas, nilai normalnya
adalah 70 – 200 mg/dL.
2.
Elektrolit
Na
mungkin normal, meningkat atau menurun, K normal atau peningkatan semu
selanjutnya akan menurun, fosfor sering menurun.
3.
Trombosit
darah
Ht
meningkat (dehidrasi), leukositosis dan hemokonsentrasi merupakan respon
terhadap stress atau infeksi.
4.
Gas
darah arteri
Menunjukkan
Ph rendah dan penurunan HCO3.
B.
PENGKAJIAN
1.
Pengumpulan
data
Data biasa diperoleh dari pasien, keluarga, orang terdekat maupun dari
catatan medis.
2.
Biodata
Identitas pasien, meliputi : nama, umur, suku bangsa, jenis kelamin, dan
pekerjaan.
Identitas penanggung jawab : nama, jenis kelamin, alamat, pendidikan,
hubungan dengan pasien.
3.
Riwayat kesehatan
a.
Keluhan utama
akan ditemukan tanda poliuria, polidipsia, polipagia, penurunan bb kelelahan.
b.
Riwayat
kesehatan masa lalu kegemukan berlangsung lama, riwayat melahirkan anak dari
4kg, riwayat glukosuria.
c.
Riwayat
kesehatan keluarga adanya riwayat keluarga tentang penyakit diabetes millitus.
4.
Pemeriksaan
fisik meliputi : keadaan umum, bb, ttv, menurut NANDA 2016 kemungkinan data yang diperoleh dari penyakit
diabetes millutus.
a.
Aktivitas /
istirahat
Gejala : lemah,
letih, sulit bernafas, keram otot, tonus otot menurun, gangguan istirahat /
tidur.
Tanda :
takikardi, takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas, betargi.
b.
Sirkulasi
Gejala : ada
riwayat hipertensi, kesemutan pada ekstrimitas ulkus pada kaki.
Tanda :
takikardi, hipertensi, nadi menurun atau tak ada distritmia, kulit panas,
kering dan kemerahan, mata cekung.
c.
Integritas ego
Gejala : stress
Tanda : ansietas, eka rangsang
d.
Eliminasi
Gejala : polliuria, rasa nyeri, kesulitan berkemih, diare
Tanda : urine encer, pucat, kuning, poliuria, diare
e.
Makanan
Gejala : mual/muntah, hilang nafsu makan, penurunan bb,
haus
Tanda : kulit kering/bersisik, turogor kulit jelek,
muntah, distensi abdomen, nafas berbau aseton.
f.
Nyeri/
ketidaknyamanan
Gejala : abdomen yang tegang/nyeri
Tanda : takikardi, takipnea pada keadaan istirahat atau
dengan aktivitas.
C.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1.
Keseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan BB
2.
Nyeri akut
berhubungan dengan penurunan perfusi jaringan perifer.
3.
Perfusi jaringan tidak efektif b.d hipoksemia jaringan.
D.
INTERVENSI
KEPERAWATAN
DX KEP |
Tujuan |
Intervensi |
Rasional |
1 |
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien dapat mempertahankan
sirkulasi perifer tetap normal KH: ·
Denyut nadi perifer teraba kuat dan
reguler ·
Warna kulit disekitar luka tidak
pucat/sianosis ·
Kulit sekitar luka teraba hangat ·
Oedem tidak terjadi dan luka tidak
bertambah parah ·
Sensorik dan motorik membaik |
1. Ajarkan pasien untuk melakukan
mobilisasi 2. Ajarkan
tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah: tinggikan kaki
sedikit lebih rendah dari jantung (posisi elevasi pada waktu istirahat),
hindari penyilangan kaki, hindari penggunaan bantal di belakang lutut dan
sebagainya, hindari balutan ketat 3. Ajarkan
tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa: hindari diet tinggi
kolesterol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan penggunaan
obat vasokontriksi. 4. Kolaborasi
dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula darah
secara rutin dan terapi oksigen. |
1. Dengan
mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah 2. Meningkatkan
dan melancarkan aliran darah sehingga tidak terjadi oedema. 3. Kolesterol
tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok dapat
menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk
mengurangi efek stres. 4. Pemberian
vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah sehingga perfusi
jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin
dapat mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, terapi oksigen untuk
memperbaiki oksigenisasi daerah ulkus/gangren |
2 |
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam pasien dapat tercapainya
proses penyembuhan luka. ·
Berkurangnya
oedema sekitar luka ·
Pus
dan jaringan berkurang ·
Adanya
jaringan granulasi ·
Bau
busuk luka berkurang |
1. Kaji luas dan keadaan luka serta
proses penyembuhan 2. Rawat luka dengan baik dan benar :
membersihkan luka secara abseptik 3. Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus |
1. Pengkajian yang tepat terhadap
luka dan proses penyembuhan 2. Merawat luka dengan teknik
aseptik, dapat menjaga kontaminasi 3. Insulin akan menurunkan kadar gula
darah, pemeriksaan kultur |
3 |
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam rasa nyeri hilang/berkurang KH: ·
Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang
atau hilang. ·
Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk
mengatasi nyeri. ·
Elspresi wajah pasien rileks. ·
Tidak ada keringat dingin ·
Tanda vital dalam batas normal.(S : 36 – 37,50 C,
N: 60 – 80 x /menit, T : 120/80mmHg, RR : 18 – 20 x /menit ). |
1.
Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang
dialami pasien 2.
Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya
nyeri 3.
Ciptakan lingkungan yang tenang 4.
Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi 5.
Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan
pasien 6.
Lakukan massage saat rawat luka 7.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik. |
1. Untuk
mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien 2. pemahaman
pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan mengurangi ketegangan pasien
dan memudahkan pasien untuk diajak bekerjasama dalam melakukan tindakan 3. Rangsang
yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa nyeri 4. Teknik
distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien 5. Posisi
yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan pada otot untuk relaksasi
seoptimal mungkin 6. Massage
dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus 7. Obat-obat
analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien |
DAFTAR
PUSTAKA
Armstrong, D & Lawrence, A. (2010). Diabetic
FooUlcers, prevention, Diagnosis and Classification. Jakarta: EGC
Bilous, R. W. (2015). Bimbingan Dokter pada Diabetes. Jakarta:
Dian Rakyat.
Johnson, J. Y.
[et al]. (2014). Prosedur
Perawatan di Rumah Pedoman untuk Perawat.
Jakarta: EGC.
Rendy, M. C & Margareth, T.H.
(2015). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
& Penyakit
Dalam. Jogyakarta: Nuha Medika.
Sudoyo, A. W. [et al]. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi V. Jakarta:Interna Publishing.
Sujono & Sukarmin (2016). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin
& Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sustrani, L. [et al]. (2014). Diabetes. Jakarta: Gramedia.