Monday 11 April 2016

Hubungan Kualitas Bounding Attachment Terhadap Perilaku Temper Tantrum pada Anak Usia Prasekolah di TK Pertiwi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Anak merupakan makhluk yang membutuhkan perhatian, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang baik. Anak usia prasekolah adalah mereka yang berusia 3 – 6 tahun. Mereka biasa mengikuti program prasekolah dan kindergarten. Perkembangan emosi anak usia prasekolah di mulai dari anak usia 3 tahun, anak sudah memiliki rasa takut karena anak sudah dapat mampu untuk berpura-pura, sebagai contoh anak akan merasa takut terhadap gelap karena imajinasinya berjalan-jalan dan membayangkan hal yang mengerikan. Memasuki usia 4 tahun, anak sudah dapat mandiri dan bersikap keras kepala. Memiliki determinasi diri, yaitu mampu untuk membantah dan berdebat serta menunjukkan sikap agresif (Meggitt, 2013).
Rentang usia 0-6 tahun merupakan masa emas perkembangan anak, yang apabila pada masa tersebut anak diberi pendidikan dan pengasuhan yang tepat akan menjadi modal penting bagi perkembangan anak di kemudian hari. Anak mulai berkenalan dan belajar menghadapi rasa kecewa saat apa yang dikehendaki tidak dapat terpenuhi. Rasa kecewa, marah, sedih dan sebagainya merupakan suatu rasa yang wajar dan natural. Namun seringkali, tanpa disadari orang tua menyumbat emosi yang dirasakan oleh anak. Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orangtua dengan berbagai cara berusaha menghibur, mengalihkan perhatian, memarahi demi menghentikan tangisan anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tak tersalurkan dengan lepas. Jika hal ini berlangsung terus menerus, akibatnya timbullah yang disebut dengan tumpukan emosi. Tumpukan emosi inilah yang nantinya dapat meledak tak terkendali dan muncul sebagai temper tantrum.
Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan. (Riana Mashar, 2011).
Dariyo (2007) mengatakan jika temper tantrum merupakan kondisi yang normal terjadi pada anak-anak berumur 1-3 tahun, apabila tidak ditangani dengan tepat dapat bertambah sampai umur 5-6 tahun. Kemampuan untuk mengolah atau mengatur emosi memegang peranan penting dalam perkembangan kepribadiannya. Perkembangan aspek social-emosional yang optimal dapat mempengaruhi perkembangan serta pertumbuhan aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu anak yang mudah mengatur emosinya maka ia akan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Tantrum yang tidak diatasi dapat membahayakan fisik anak, selain itu anak tidak akan bisa mengendalikan emosinya atau anak akan kehilangan kontrol dan akan lebih agresif. Hal ini akan mengakibatkan anak tidak bisa menghadapi lingkungan luar, tidak bisa beradaptasi, tidak bisa mengatasi masalah, tidak bisa mengambil keputusan dan anak tidak akan tumbuh dewasa, karena melewati tantrum akan membuat anak tumbuh dewasa (Dariyo, 2007).
Perwujudan tantrum pada anak dapat menimbulkan resiko cedera berupa menjatuhkan badan ke lantai, memukul kepala, atau melempar barang. Usia anak bertambah serta semakin besar anak, tenaga juga semakin kuat dan akan semakin sulit bagi orang tua untuk mengendalikan atau mencegah tingkah lakunya yang tak terkendali. (Rulie, 2011).
Attachment atau kelekatan merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan ikatan (bounding) antara anak dengan figur attachment. Attachment adalah sebuah ikatan (bonding) afektif yang terus bertahan, yang ditandai oleh kecenderugan untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan orang tertentu, khususnya ketika seseorang berada dibawah situasi tertekan/stress (Bowlby, 1988).
Bounding attachment adalah suatu proses sebagai hasil dari suatu interaksi terus-menerus antara bayi dan orang tua yang bersifat saling mencintai serta memberi keduanya pemenuhan emosional dan saling membutuhkan. Kelekatan aman (secure attachment) sejak bayi kelak akan sangat berpengaruh pada kompetensi emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak usia dewasa. Semakin anak lekat dengan orangtua sejak usia dini, maka akan semakin mudah anak berinteraksi dengan orang lain. Hal itu terjadi karena sejak bayi ia sudah merasa aman (secure). Anak yang memiliki kelekatan dengan orangtua juga tumbuh menjadi pribadi percaya diri, memiliki harga diri, berani, memiliki persahabatan yang erat  yang dimulai sejak anak usia 3-5 tahun dan aktif dalam berkegiatan.
Pada bayi baru lahir menunjukkan serba tidak berdaya, namun dibalik ketidakberdayaannya tersebut pada dirinya terdapat berbagai potensi yang siap berkembang. Bayi akan berkembang dengan baik dan berbagai potensi yang dimiliki berubah menjadi kemampuan nyata bila mendapatkan stimuli dari lingkungannya, terutama lingkungan sosial. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi bayi. Faktor yang sangat diperlukan oleh bayi dari lingkungan ini adalah bonding dan attachment. Bonding merupakan hubungan antara seseorang dengan orang yang lain dan melalui bonding terbentuklah attachment (Kuntjojo,2010).
Bonding, menurut Jeff dan Cindi, merupakan kebutuhan esensial bagi bayi. Dengan bonding, bayi belajar mengembangkan rasa percaya diri keterampilan dalam hubungan social. Bila bayi dalam perkembangannya kurang merasakan hubungan tersebut, dirinya dapat mengalami problem psikologis yang serius dikemudian hari. attachment terbentuk melalui bonding. Bila pengalaman tersebut ternyata tidak atau kurang terpenuhi dapat menimbulkan masalah bagi bayi yaitu keterlambatan perkembangan makan, perilaku menenangkan, fungsi emosional, pemodelan yang tidak pantas, dan agresi (Bruce D. Perry, 2001).
Hubungan bounding attachment antara bayi dan figur attachment (ibu/pengasuh) akan memberi keamanan, kenyamanan, ketenangan, dan kesenangan, selain itu hubungan ini merupakan sebuah hubungan emosional abadi dengan orang tersebut, serta kehilangan atau ancaman hilangnya orang tersebut akan memberikan kesusahan yang intens (Bruce D. Perry, 2001). 
Tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial. Anak-anak dengan secure attachment memiliki minat yang kuat dan ketertarikan untuk memecahkan masalah, lebih antusias, tekun, kooperatif, dan efektif dalam pemecahan masalah, memiliki ambang frustasi yang lebih tinggi, kurang sering menangis, serta kurang menunjukkan sikap agresi terhadap Ibu. Emosi mereka juga lebih positif, empati yang lebih besar, dan menggambarkan dirinya dengan cara yang lebih positif. Pada usia prasekolah mereka akan lebih resilien, lebih bisa mengembangkan empati, rasa ingin tahu tinggi, lebih percaya diri dan memiliki citra diri positif (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Dari studi pendahuluan yang dilakukan di TK Pertiwi, dari 10 ibu yang memiliki anak berusia 3-6 tahun, diketahui 5 anak diantaranya mengalami tindakan-tindakan seperti menjerit-jerit, menangis dengan keras, memukul, menendang-nendang, melemparkan barang, dan berguling-guling di lantai saat sedang marah. Selain itu, 5 anak yang menunjukkan perilaku ini diketahui orang tuanya jarang bicara dengan anaknya dan ketika diajak bicara orangtuanya ia hanya menjawab sedikit-sedikit atau tidak banyak bicara, ia juga jarang bercerita kepada orang tuanya tentang hal-hal yang dilakukannya, dan ketika dipanggil orang tuanya ia tidak segera merespon. 4 Ibu dari 5 ibu anak tersebut mengatakan dulu dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) tapi cuma sebentar sedangkan satu ibu mengatakan tidak dilakukan IMD. Tindakan ibunya saat anak tersebut bayi meliputi memandang, berkata dan melakukan sesuatu, 3 ibu mengatakan bingung, takut bahkan marah saat bayi menangis, ia merasa biasa saja saat melihat bayinya, ibu juga jarang mengajak bicara bayi bahkan lebih memperhatikan diriya sendiri serta kadang membiarkan bayinya saat menangis dan juga jarang memeluk dan menggendong bayinya, 2 ibu mengatakan khawatir saat bayinya menangis, sering mengajak bicara bayinya serta memeluk dan menggendong bayi saat menenangkan dan menidurkan bayinya.
Sedangkan 3 anak lainnya lebih banyak diam saat marah dan setelah reda baru mau ditanya baik-baik oleh ibunya. Diketahui orang tua mereka sering berbicara dengan mereka dan anak merespon setiap perkataan dengan baik dan bersemangat, anak juga sering bercerita kepada orang tuanya tentang hal-hal yang dilakukannya dan ketika dipanggil orang tuanya mereka segera merespon. Selain itu, ibunya mengatakan dulu dilakukan Inisiasi menyusu dini (IMD) selama ± 1 jam. Tindakan ibunya saat anak bayi meliputi memandang, berkata dan melakukan sesuatu, ibunya mengatakan cemas, khawatir saat bayi menangis, merasa senang, gembira bahagia saat melihat bayinya, juga sering mengajak bicara bayi dan segera melihat kondisi bayinya saat menangis serta sering memeluk dan membelai bayinya.
Dan 2 anak lainnya saat marah diberi penjelasan oleh ibu langsung menurut tidak marah lagi. Diketahui orang tua mereka sering berbicara dengan mereka dan anak merespon setiap perkataan dengan baik dan bersemangat, anak juga sering bercerita kepada orang tuanya tentang hal-hal yang dilakukannya dan ketika dipanggil orang tuanya ia segera datang menghampiri. Selain itu, ibunya mengatakan dulu dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) selama > 1 jam. Tindakan ibunya saat anaknya bayi meliputi memandang, berkata dan melakukan sesuatu, ibunya mengatakan khawatir saat bayi menangis, merasa senang, gembira bahagia saat melihat bayinya, juga sering mengajak bicara bayi dan  segera melihat kondisi bayinya dan menggendongnya saat menangis, serta sering mencium dan membelai bayinya sambil mengajaknya bicara.
Akibat yang ditimbulkan dari tindakan anak saat marah cukup berbahaya, misalnya anak yang melampiaskan kekesalannya dengan cara berguling-guling dilantai yang keras dapat menyebabkan anak menjadi cedera. Anak yang melampiaskan amarahnya dapat menyakiti dirinya sendiri, menyakiti orang lain atau merusak benda yang ada disekitarnya. Jika benda-benda yang ada disekitar anak merupakan benda keras maka akan sangat berbahaya karena anak dapat tersakiti dan mengalami cedera akibat dari tindakannya.
Saat anak berusia lebih dari 2 tahun, hubungan Attachment yang sesungguhnya telah terbentuk. Attachment terbentuk melalui bonding. Tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif, dan sosial anak. Kelekatan aman (secure attachment) sejak bayi akan sangat berpengaruh pada kompetensi emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak usia dewasa. Jika saat bayi memiliki kualitas bounding attachment yang baik atau memiliki secure attachment maka menggambarkan adanya keseimbangan antara keterlibatan bayi dengan ibu. Jika kualitas bounding attachment antara ibu dan bayi kurang maka tingkat keamanan (secure attachment) kurang. Bila bayi dalam perkembangannya kurang merasakan hubungan tersebut, dirinya dapat mengalami problem psikologis yang serius dikemudian hari, kurang terpenuhi hubungan ini dapat menimbulkan masalah bagi bayi salah satunya dalam hal fungsi emosional sehingga akan mempengaruhi tingkat emosinya dikemudian hari saat usianya mulai bertambah dewasa. Sehingga dapat disimpulkaan bahwa kualitas bounding attachment yang terbentuk berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial anak.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan Kualitas Bounding Attachment Terhadap Perilaku Temper Tantrum pada Anak Usia Prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.”

B.     Rumusan Masalah
Dari studi pendahuluan yang dilakukan di TK Pertiwi, dari 10 ibu yang memiliki anak berusia 3-6 tahun, diketahui 5 anak diantaranya mengalami tindakan-tindakan seperti menjerit-jerit, menangis dengan keras, memukul, menendang-nendang, melemparkan barang, dan berguling-guling di lantai saat sedang marah. Selain itu, 5 anak yang menunjukkan perilaku ini diketahui orang tuanya jarang bicara dengan anaknya dan ketika diajak bicara orangtuanya ia hanya menjawab sedikit-sedikit atau tidak banyak bicara, ia juga jarang bercerita kepada orang tuanya tentang hal-hal yang dilakukannya, dan ketika dipanggil orang tuanya ia tidak segera merespon. 4 Ibu dari 5 ibu anak tersebut mengatakan dulu dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) tapi cuma sebentar sedangkan satu ibu mengatakan tidak dilakukan IMD. Tindakan ibunya saat anak tersebut bayi meliputi memandang, berkata dan melakukan sesuatu, 3 ibu mengatakan bingung, takut bahkan marah saat bayi menangis, ia merasa biasa saja saat melihat bayinya, ibu juga jarang mengajak bicara bayi bahkan lebih memperhatikan diriya sendiri serta kadang membiarkan bayinya saat menangis dan juga jarang memeluk dan menggendong bayinya, 2 ibu mengatakan khawatir saat bayinya menangis, sering mengajak bicara bayinya serta memeluk dan menggendong bayi saat menenangkan dan menidurkan bayinya.
Sedangkan 3 anak lainnya lebih banyak diam saat marah dan setelah reda baru mau ditanya baik-baik oleh ibunya. Diketahui orang tua mereka sering berbicara dengan mereka dan anak merespon setiap perkataan dengan baik dan bersemangat, anak juga sering bercerita kepada orang tuanya tentang hal-hal yang dilakukannya dan ketika dipanggil orang tuanya mereka segera merespon. Selain itu, ibunya mengatakan dulu dilakukan Inisiasi menyusu dini (IMD) selama ± 1 jam. Tindakan ibunya saat anak bayi meliputi memandang, berkata dan melakukan sesuatu, ibunya mengatakan cemas, khawatir saat bayi menangis, merasa senang, gembira bahagia saat melihat bayinya, juga sering mengajak bicara bayi dan segera melihat kondisi bayinya saat menangis serta sering memeluk dan membelai bayinya.
Dan 2 anak lainnya saat marah diberi penjelasan oleh ibu langsung menurut tidak marah lagi. Diketahui orang tua mereka sering berbicara dengan mereka dan anak merespon setiap perkataan dengan baik dan bersemangat, anak juga sering bercerita kepada orang tuanya tentang hal-hal yang dilakukannya dan ketika dipanggil orang tuanya ia segera datang menghampiri. Selain itu, ibunya mengatakan dulu dilakukan inisiasi menyusu dini (IMD) selama > 1 jam. Tindakan ibunya saat anaknya bayi meliputi memandang, berkata dan melakukan sesuatu, ibunya mengatakan khawatir saat bayi menangis, merasa senang, gembira bahagia saat melihat bayinya, juga sering mengajak bicara bayi dan  segera melihat kondisi bayinya dan menggendongnya saat menangis, serta sering mencium dan membelai bayinya sambil mengajaknya bicara.
Akibat yang ditimbulkan dari tindakan anak saat marah cukup berbahaya, misalnya anak yang melampiaskan kekesalannya dengan cara berguling-guling dilantai yang keras dapat menyebabkan anak menjadi cedera. Anak yang melampiaskan amarahnya dapat menyakiti dirinya sendiri, menyakiti orang lain atau merusak benda yang ada disekitarnya. Jika benda-benda yang ada disekitar anak merupakan benda keras maka akan sangat berbahaya karena anak dapat tersakiti dan mengalami cedera akibat dari tindakannya.
Saat anak berusia lebih dari 2 tahun, hubungan Attachment yang sesungguhnya telah terbentuk. Attachment terbentuk melalui bonding. Tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif, dan sosial anak. Kelekatan aman (secure attachment) sejak bayi akan sangat berpengaruh pada kompetensi emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak usia dewasa. Jika saat bayi memiliki kualitas bounding attachment yang baik atau memiliki secure attachment maka menggambarkan adanya keseimbangan antara keterlibatan bayi dengan ibu. Jika kualitas bounding attachment antara ibu dan bayi kurang maka tingkat keamanan (secure attachment) kurang. Bila bayi dalam perkembangannya kurang merasakan hubungan tersebut, dirinya dapat mengalami problem psikologis yang serius dikemudian hari, kurang terpenuhi hubungan ini dapat menimbulkan masalah bagi bayi salah satunya dalam hal fungsi emosional sehingga akan mempengaruhi tingkat emosinya dikemudian hari saat usianya mulai bertambah dewasa. Sehingga dapat disimpulkaan bahwa kualitas bounding attachment yang terbentuk berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial anak.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Adakah hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati?





C.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.
2.      Tujuan Khusus
a.       Mengetahui kualitas bounding attachment pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.
b.      Mengetahui perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.
c.       Menganalisis hubungan kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.

D.    Manfaat Penelitian
1.      Bagi Orang Tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai temper tantrum pada anak usia prasekolah (3-6 tahun). Supaya kemudian dapat dikaji kembali mengenai penanganan-penanganan yang seharusnya diberikan kepada anak yang mengalami temper tantrum.
2.      Bagi Peneliti
Dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan tentang perilaku temper tantrum.
3.      Bagi Institusi
Sebagai masukan dalam bahan bacaan untuk memberikan sumber dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk peneliti selanjutnya sehingga dapat memahami tentang perilaku temper tantrum.

E.     Keaslian Penelitian
Penelitian dengan judul “Hubungan Kualitas Bounding Attachment Terhadap Perilaku Temper Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah Di TK Pertiwi, Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati” belum pernah diteliti sebelumnya. Beberapa penelitian sejenis yang sebelumnya dilakukan yaitu:
Tabel 1.1
Keaslian Penelitian

No.
Judul dan Peneliti
(Tahun)
Variabel
Tujuan
Metode
Hasil
1.
Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Temper Tantrum pada Anak Pra Sekolah di Dusun Ngemplak, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang (Rizkia Sekar Kirana, 2013)
Variabel bebas : pola asuh orang tua
Variabel terikat : temper tantrum pada anak Prasekolah

Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan temper tantrum pada anak pra sekolah di Dusun Ngemplak, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang
Pendekatan
crossectional
studi
korelatif

Ada hubungan
antara
model pola asuh tertentu dengan intensitas temper tantrum pada anak pra sekolah di Dusun Ngemplak
2.
Hubungan pola asuh orang tua dengan frekuensi dan intensitas perilaku temper tantrum pada anak toddler di kelurahan Sidomulyo Barat, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru (Fadila Dinantia dkk, 2014)
Variabel bebas : pola asuh orang tua
Variabel terikat : frekuensi dan intensitas perilaku temper tantrum pada anak toddler

Mengidentifikasi hubungan Pola asuh orang tua dengan frekuensi dan intensitas perilaku temper tantrum pada anak toddler di Kelurahan Sidomulyo Barat, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru
Pendekatan
crossectional
studi
korelatif

Ada hubungan
antara
pola asuh orang tua dengan frekuensi dan intensitas perilaku temper tantrum pada anak toddler di Kelurahan Sidomulyo Barat
3.
Hubungan kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati (Anysweet, 2016)
Variabel Bebas:
Kualitas bounding attachment
Variabel Terikat:
Perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah
Mengetahui hubungan kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.
Pendekatan
retrospektif
studi
korelatif

Ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Keacamatan Margorejo Pati

F.     Ruang Lingkup Penelitian
1.      Lingkup Masalah
Masalah yang diangkat adalah hubungan kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah (3-6 tahun) di TK Pertiwi.
2.      Lingkup Ilmu
Lingkup keilmuan penelitian ini termasuk dalam penelitian psikologi anak.
3.      Lingkup Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di TK Pertiwi di Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati.
4.      Lingkup Sasaran
Sasaran penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak usia prasekolah (3-6 tahun) di TK Pertiwi.

G.    Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati pada bulan  Oktober 2015 sampai Maret 2016.


BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Landasan Teori
1.      Konsep Dasar Bounding Attachment
a.       Pengertian Bounding Attachment
Pengertian bounding attachment menurut beberapa ahli (dalam Bahiyatun, 2008), antara lain:
1)      Menurut Klause dan Kenell (1983), bounding attachment adalah interaksi orang tua dan bayi secara nyata, baik fisik, emosi, maupun sensori pada beberapa menit dan jam pertama segera setelah bayi lahir.
2)      Menurut Nelson (1986), bounding adalah dimulainya interaksi emosi sensorik fisik antara orang tua dan bayi segera setelah lahir, sedangkan attachment adalah ikatan yang terjalin diantara individu yang meliputi pencurahan perhatian, yaitu hubungan emosi dan fisik yang akrab.
3)      Menurut Bennet dan Brown (1999), bounding adalah terjadinya hubugan orang tua dan bayi sejak awal kehidupan, sedangkan attachment adalah pencurahan kasih sayang di antara individu.
4)      Menurut Brazelton (1999), bounding attachment adalah permulaan saling mengikat antara orang-orang seperti antara orang tua dan anak pada pertemuan pertama.
5)      Menurut Parmi (2000), bounding attachment adalah suatu usaha untuk memberikan kasih sayang dan suatu proses yang saling merespons antara orang tua dan bayi lahir.
6)      Menurut Perry (2002), bounding adalah proses pembentukan attachment atau membangun ikatan, sedangkan attachment adalah suatu ikatan khusus yang dikarakteristikkan dengan kualitas-kualitas yang terbentuk dalam hubungan orang tua dan bayi.
7)      Menurut Subroto (cit Lestari, 2002), bounding attachment adalah sebuah peningkatan hubungan kasih sayang dengan keterikatan batin antara orang tua dan bayi.
8)      Menurut Hesty W. (2009), bounding adalah proses pembentukan sedangkan attachment (membangun ikatan). Jadi, bounding attachment adalah sebuah peningkatan hubungan kasih sayang dengan keterikatan batin antara orangtua dan bayi. Hal ini merupakan proses dimana sebagai hasil dari suatu interaksi terus-menerus antara bayi dan orang tua yang bersifat saling mencintai memberikan keduanya pemenuhan emosional dan saling membutuhkan.
Jadi dapat disimpulkan, bounding attachment adalah suatu proses sebagai hasil dari suatu interaksi terus-menerus antara bayi dan orang tua yang bersifat saling mencintai serta memberi keduanya pemenuhan emosional dan saling membutuhkan.
Sejalan dengan perkembangan pada beberapa bulan pertama kehidupan, bayi dan ibunya saling mengadakan hubungan dan ikatan batin. Jika seorang ibu konsisten dalam responnya terhadap kebutuhan bayi dan mampu menafsirkan dengan tepat isyarat seorang bayi, perkembangan bayi akan terpacu dan terbentuk ikatan batin yang kokoh. Keberhasilan dalam hubungan dan ikatan batin antara bayi dan ibunya dapat mempengaruhi hubungan sepanjang masa (Bahiyatun, 2008).
b.      Tahap-Tahap Bounding Attachment
Menurut Depkes (dalam Yetti, 2010), tahap-tahap bounding attachment antara lain:
1)      Perkenalan (acquaintance) dengan melakukan kontak mata, menyentuh, berbicara, dan mengeksplorasi segera setelah mengenal bayinya.
2)      Bounding (keterikatan)
3)      Attachment, perasaan sayang yang mengikat individu dengan individu lain
c.       Elemen-Elemen Bounding Attachment
Menurut Markum (dalam Yetti, 2010), elemen-elemen bounding attachment antara lain:
1)      Sentuhan
Sentuhan, atau indera peraba, dipakai secara ekstensif oleh orang tua dan pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk mengenali bayi baru lahir dengan cara mengeksplorasi tubuh bayi dengan ujung jarinya. Penelitian telah menemukan suatu pola sentuhan yang hampir sama yakni pengasuh memulai eksplorasi jari tangan ke bagian kepala dan tungkai kaki. Tidak lama kemudian pengasuh memakai telapak tangannya untuk mengelus badan bayi dan akhirnya memeluk dengan tangannya. Gerakan ini dipakai menenangkan bayi.
2)      Kontak mata (Eye to Eye Contact)
Beberapa ibu berkata begitu bayinya bisa memandang mereka, mereka merasa lebih dekat dengan bayinya. Orang tua dan bayi akan menggunakan lebih banyak waktu untuk saling memandang. Seringkali dalam posisi bertatapan.Bayi baru lahir dapat diletakkan lebih dekat untuk dapat melihat pada orang tuanya. Kesadaran untuk membuat kontak mata dilakukan kemudian dengan segera. Kontak mata mempunyai efek yang erat terhadap perkembangan dimulainya hubungan dan rasa percaya sebagai faktor yang penting dalam hubungan manusia pada umumnya.
3)      Suara (Voice)
Mendengar dan merenspon suara antara orang tua dan bayinya sangatpenting. Orang tua menunggu tangisan pertama bayi mereka dengan tegang. Suara tersebut membuat mereka yakin bahwa bayinya dalam keadaan sehat. Tangis tersebut membuat mereka melakukan tindakan menghibur. Sewaktu orang tua berbicara dengan nada suara tinggi, bayi akan menjadi tenang dan berpaling kearah mereka. Respon antara ibu dan bayi berupa suara masing-masing. Orang tua akan menantikan tangisan pertama bayinya. Dari tangisan itu, ibu menjadi tenang karena merasa bayinya baik-baik saja (hidup). Bayi dapat mendengar sejak dalam rahim, jadi tidak mengherankan jika ia dapat mendengarkan suara-suara dan membedakan nada dan kekuatan sejak lahir, meskipun suara-suara itu terhalang selama beberapa hari oleh cairan amniotik dari rahim yang melekat dalam telinga.
4)      Aroma / Odor (Bau Badan)
Setiap anak memiliki aroma yang unik dan bayi belajar dengan cepat untuk mengenali aroma susu ibunya. Indera penciuman pada bayi baru lahir sudah berkembang dengan baik dan masih memainkan peran dalam nalurinya untuk mempertahankan hidup. Indera penciuman bayi akan sangat kuat, jika seorang ibu dapat memberikan bayinya ASI pada waktu tertentu.
5)      Gaya bahasa (Entrainment)
Bayi mengembangkan irama akibat kebiasaan. Bayi baru lahir bergerak-gerak sesuai dengan struktur pembicaraan orang dewasa. Mereka menggoyangkan tangan, mengangkat kepala, menendang-nendangkan kaki. Entrainment terjadi pada saat anak mulai bicara.  Bayi baru lahir menemukan perubahan struktur pembicaraan dari orang dewasa. Artinya perkembangan bayi dalam bahasa dipengaruhi kultur, jauh sebelum ia menggunakan bahasa dalam berkomunikasi. Dengan demikian terdapat salah satu yang akan lebih banyak dibawanya dalam memulai berbicara (gaya bahasa). Selain itu juga mengisyaratkan umpan balik positif bagi orang tua dan membentuk komunikasi yang efektif.
6)      Bioritme (Biorhythmicity)
Salah satu tugas bayi baru lahir adalah membentuk ritme personal (bioritme). Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberi kasih sayang yang konsisten dan dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan perilaku yang responsif. Janin dalam rahim dapat dikatakan menyesuaikan diri dengan irama alamiah ibunya seperti halnya denyut jantung. Salah satu tugas bayi setelah lahir adalah menyesuaikan irama dirinya sendiri. Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberikan perawatan penuh kasih sayang secara konsisten dan dengan menggunakan tanda keadaan bahaya bayi untuk mengembangkan respon bayi dan interaksi sosial serta kesempatan untuk belajar.
7)      Inisiasi Dini
Setelah bayi lahir, dengan segera bayi ditempatkan diatas ibu. Ia akan merangkak dan mencari puting susu ibunya. Dengan demikian, bayi dapat melakukan reflek sucking dengan segera. Menurut Klaus, Kennel, ada beberapa keuntungan fisiologis yang dapat diperoleh dari kontak dini :
a)      Kadar oksitosin dan prolaktin meningkat.
b)      Reflek menghisap dilakukan dini.
c)      Pembentukkan kekebalan aktif dimulai.
d)     Mempercepat proses ikatan antara orang tua dan anak body warmth (kehangatan tubuh), waktu pemberian kasih sayang, stimulasi hormonal.
d.      Attachment
1)      Pengertian
Attachment atau kelekatan merupakan satu konsep yang berkaitan dengan ikatan (bonding) antara anak dengan figur attachment. Attachment adalah sebuah ikatan (bonding) afektif yang terus bertahan, yang ditandai oleh kecenderungan untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan orang tertentu, khususnya ketika seseorang berada di bawah situasi menekan/stres (Bowlby, 1988).
Berk (2003) mendefinisikan attachment sebagai ikatan afektif yang kuat dengan orang spesial dalam hidup, dengan keberadaan orang tersebut didekat anak maka anak akan merasa lebih nyaman saat menghadapi tekanan serta merasa senang saat berinteraksi dengannya. Attachment juga diartikan sebagai hubungan antara dua orang yang memiliki perasaan kuat satu dengan yang lain dan kedua orang tersebut melakukan sejumlah aktivitas untuk melanjutkan hubungan.
Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut: pertama attachment merupakan ikatan emosional (emotional bonding).  Perilaku attachment yang ditunjukkan untuk memelihara ikatan tersebut adalah menangis, menyentuh, memanggil, dan tersenyum. Kedua, attachment merupakan sebuah hubungan yang berlangsung lama. Jadi, bukan merupakan kesenangan sesaat terhadap kebersamaan dengan orang lain. Ketiga, attachment ditujukan kepada orang tertentu. Orang tersebut biasanya adalah orang yang selalu ada ketika dibutuhkan dan kehilangan orang tersebut menimbulkan kerinduan. Umumnya yang menjadi figur attachment adalah orangtua, terutama ibu.
Attachment memang tidak berkembang secara tiba-tiba tetapi terjadi dalam serangkaian tahapan. Attachment merupakan ikatan yang terpelihara sepanjang waktu, namun demikian banyak ahli yang memberikan perhatian yang lebih besar terhadap konsep tersebut selama masa-masa awal kehidupan seorang anak.
2)      Tahapan attachment
Menurut Bowlby (dalam Berk, 2003), hubungan antara bayi dan orangtua diawali dengan serangkaian tanda bawaan yang membuat orangtua beranjak mendekati bayi. Secara khusus, pembentukan attachment berlangsung dalam empat tahap, yaitu:
a)      Preattachment phase (lahir hingga 6 minggu).
Pada tahap ini, berbagai tanda yang dibangun, seperti menangis, tersenyum, dan menatap orang dewasa, membantu bayi untuk memasuki hubungan yang dekat dengan orang lain. Sekali orang dewasa berespons, bayi berusaha untuk tetap dekat dengan orang tersebut karena ia merasa nyaman ketika digendong dan diajak bicara. Di usia tersebut, bayi mampu mengenal bau dan suara ibunya namun pembentukan attachment yang sesungguhnya belum terbentuk. Dengan demikian, respons-respons yang dilakukan bayi pada tahap ini masih belum ditujukan kepada orang tertentu.
b)      Attachment-in-the-making (6 minggu hingga 6 – 8 bulan).
Dalam tahap ini, bayi secara berangsur-angsur mulai belajar untuk membedakan orang yang ia kenal dan tidak ia kenal. Bayi mulai berespons secara berbeda terhadap pengasuh dan orang yang asing baginya, misalnya ia akan berceloteh lebih bebas ketika berinteraksi dengan ibunya atau menjadi lebih bisa ditenangkan jika digendong oleh ibu. Pada masa ini, bayi mulai mengembangkan rasa percaya, yaitu harapan bahwa pengasuh akan berespons terhadap tanda-tanda yang ditampilkan bayi. Sekalipun demikian, bayi masih belum memprotes jika ibu meninggalkannya. Dapat dikatakan bahwa pada tahap ini bayi belum benar-benar melekat dengan figur attachment-nya.
c)      Clear-cut attachment (6 – 8 bulan hingga 18 bulan – 2 tahun), attachment yang spesifik mulai berkembang.
Pada tahap ini, bayi secara aktif mencari kedekatan dengan orang tertentu atau figur attachment-nya. Bayi juga mulai menunjukkan kecemasan dan kekecewaan jika ditinggal oleh figur tersebut. Mereka akan memprotes kepergian orangtuanya dan secara sengaja melakukan sesuatu untuk mempertahankan kehadiran orangtua.
d)     Formationof a reciprocal relationship (18 bulan – 2 tahun, dst) hubungan attachment yang sesungguhnya telah terbentuk.
Pada tahap ini, sikap protes anak pada saat ditinggalkan oleh orangtua menurun dan anak mulai dapat meramalkan kehadiran orangtuanya. Anak juga mampu memodifikasi tingkah lakunya sebagai respon terhadap tingkah laku orangtuanya, misalnya, jika menangis saja tidak cukup untuk membuat orangtua datang menghampirinya, anak akan merangkak atau berlari menuju ke arah orangtuanya.
3)      Klasifikasi Attachment
Secara umum, ada dua pola attachment, yaitu secure dan insecure attachment (Ainsworth, 1990). Tingkah laku mencari kedekatan dan mempertahankan hubungan merupakan ciri dari adanya secure attachment, sedangkan tingkah laku menghindar dan menentang menunjukkan adanya insecureattachment. Insecure attachment sendiri dibagi menjadi dua yaitu avoidant dan ambivalent/ resistant attachment (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Untuk mengetahui pola attachment bayi usia 1-2 tahun, maka beberapa ahli melakukan penelitian yang disebut “strange situation”. Orangtua dan bayi ditempatkan di ruangan bermain yang belum pernah didatangi bayi, kemudian perilaku bayi diobservasi. Dalam penelitian tersebut dihasilkan beberapa pola attachment, yaitu (Papalia, Olds & Feldman, 2009) :
a)      Secure Attachment
Secure attachment menggambarkan adanya keseimbangan antara keterlibatan anak dengan Ibu. Bayi dengan secure attachment akan mencari tahu atau bahkan menangis saat ibunya pergi meninggalkannya dan bahagia saat Ibu kembali. Attachment yang secure dengan pengasuh ditandai oleh adanya keyakinan anak akan responsivitas, sensitivitas, dan keberadaan pengasuh, serta komunikasi yang nyaman dan terbuka (Hildayani, 2007).
Ibu yang lebih sensitif, menerima, kooperatif, hangat, mudah didatangi, berespons secara cepat dan konsisten, lebih ekspresif dalam mengungkapkan kasih sayang, dapat memikirkan hal-hal dari sudut pandang anak, menghargai anak sebagai “orang yang terpisah dari dirinya”, menghargai kemajuan yang diperoleh anak dalam melakukan kegiatan, serta menghindari tindakan menginterupsi anak, akan menghasilkan anak-anak yang mengembangkan secureattachment dengan Ibu (Coffman, Levitt, & Guacci-Franco dalam Santrock, 1997).
b)      Avoidant Attachment
Bayi terlihat tidak responsif terhadap kehadiran orangtuanya. Saat orangtua pergi bayi tidak terlihat stress, mereka bereaksi terhadap orang asing sama seperti bereaksi terhadap orangtuanya. Saat orangtua datang bayi tidak atau pun lambat mendatangi orangtuanya.Ibu yang lebih memperlihatkan sikap penolakan terhadap anak, cenderung tegang, lekas marah, kurang percaya diri, bersikap negatif terhadap sikap keibuannya, tidak sensitif, berespons secara lambat terhadap tawaran sosial yang diberikan anak, menyediakan kontak fisik yang kurang memuaskan, dan mengurus anak sedikit mungkin, diperkirakan akan menghasilkan anak-anak dengan avoidant attachment.
c)      Ambivalent/ Resistant Attachment
Bayi cemas dan terus-menerus menempel orangtuanya serta gagal melakukan eksplorasi, saat orangtua pergi bayi sangat marah. Ketika orangtua kembali bayi sangat sulit ditenangkan, bayi ingin terus menempel pada orangtuanya namun ia juga mendorong atau menggigit orangtuanya.Ibu yang memperlihatkan sikap yang kaku dalam berinteraksi dengan anak, terlihat mengganggu, dan tidak konsisten dalam interaksi yang dibuat memungkinkan terbentuknya resistant attachment.
d)     Disorganized/ Disoriented Attachment
Pola ini menunjukkan insecurity yang sangat hebat. Bayi dengan pola ini tidak memiliki strategi untuk menghadapi situasi asing. Bayi menunjukkan ekspresi bingung, perilaku tidak terarah dan repetitive. Saat Ibu kembali bayi terlihat senang namun ia mendekat dengan datar, ekspresi yang bingung atau bahkan tanpa melihat Ibunya. Bayi terlihat bingung dan takut. Biasanya pola ini terjadi pada bayi dengan gangguan autism dan down syndrome atau pun bayi yang memiliki Ibu yang tidak sensitif, intrusif, melakukan kekerasan, pernah menderita kehilangan yang amat parah dan tidak terselesaikan, serta pecandu narkoba.
e.       Efek Jangka Panjang Attachment
Tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial. Secure attachment berhubungan dengan tingkah laku eksplorasi yang kompleks pada saat anak berusia dua tahun. Anak-anak dengan secure attachment memiliki minat yang kuat dan ketertarikan untuk memecahkan masalah, lebih antusias, tekun, kooperatif, dan efektif dalam pemecahan masalah, memiliki ambang frustasi yang lebih tinggi, kurang sering menangis, serta kurang menunjukkan sikap agresi terhadap Ibu. Mereka juga memiliki kosakata yang lebih banyak dan lebih bisa diterimaoleh teman-teman bermainnya (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Emosi mereka juga lebih positif, empati yang lebih besar, dan menggambarkan dirinya dengan cara yang lebih positif. Pada usia pra sekolah mereka akan lebih resilien, lebih bisa mengembangkan empati, rasa ingin tahu tinggi, lebih percaya diri dan memiliki citra diri positif (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Setelah remaja, anak-anak tersebut juga menjadi lebih percaya diri, mandiri, kurang bermasalah, lebih perhatian dan aktif di dalam kelas, mempertahankan prestasi yang lebih tinggi, melakukan tugas-tugas dengan baik, memiliki hubungan pertemanan yang lebih stabil dan lebih baik dalam penyesuaian diri (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
f.       Attachment Parenting
Attachment parenting merupakan gaya parenting intuitif yang secara aktif mendukung secure attachment melalui tingkah laku parenting yang alamiah dan responsif. Orangtua harus percaya terhadap kemampuannya sebagai orangtua dan mengenal anaknya lebih baik dari siapapun di dunia. Untuk itu, mereka dipaksa untuk mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam pengasuhan anak di bulan-bulan pertama kelahiran (Breazeale, 2001 dalam Hildayani, 2007).
Tiga praktik attachment parenting yang penting dilakukan pada masa bayi adalah breastfeeding, cosleeping, dan “babywearing”. Ketiga kegiatan ini melibatkan sentuhan (touch) yang kritikal untuk bonding, yang mengarah pada pembentukan secure attachment. Breatfeeding merupakan cara nyata untuk mendukung sentuhan antara ibu dan bayi. Kontak antara kulit dengan kulit pada saat breastfeeding diyakini meningkatkan secure attachment. Breastfeeding juga merupakan cara yang lebih cepat dalam berespons terhadap kebutuhan bayi untuk minum daripada penggunaan botol susu. Cosleeping atau menemani anak tidurjuga meningkatkan kesempatan untuk melakukan kontak dari kulit ke kulit selama malam hari (Hildayani, 2007). Kegiatan ini bahkan tidak hanya dapat dilakukan dengan ibu, tetapi juga dengan ayah. Akhirnya, satu lagi kegiatan yang dapat membentuk bonding antara pengasuh dan bayi adalah “babywearing”. Babywearing merupakan kegiatan menggendong bayi dengan kain gendongan.



g.      Keutamaan Bounding Attachment
Keutamaan jalinan kelekatan ini ketika anak dewasa adalah Kelekatan aman (secure attachment) sejak bayi kelak akan sangat berpengaruh pada kompetensi emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak usia dewasa. Semakin anak lekat dengan orangtua sejak usia dini, maka akan semakin mudah anak berinteraksi dengan orang lain. Hal itu terjadi karena sejak bayi ia sudah merasa aman (secure). Anak yang memiliki kelekatan dengan orang tua juga tumbuh menjadi pribadi percaya diri, memiliki harga diri, berani, memiliki persahabatan yang erat  yang dimulai sejak anak usia 3-5 tahun dan aktif dalam berkegiatan.
h.      Skor Penilaian Bounding Attachment
Tabel 2.1
Penilaian Bounding Attachment

GRAY SCORE : Skor Bonding
Skor Bonding
Bagaimana tindakan Ibu terhadap Bayinya
Memandang
Berkata
Melakukan Sesuatu
1.      Sangat (-) tidak tepat
2.      Agak (-) tidak tepat
3.      Agak (+) sesuai
4.      Sangat(+) sesuai
Penampilan umum depresi, ketakutan, marah-marah,
apatis


 



Sangat gembira bahagia,antusias
Membuat suatu sebutan bagi bayi & suami,menunjukkan permusuhan rasa kecewa terhadap bayi


 


Bicarakan langsung pada bayi, menggunakan nama bayi menunjukan reaksi (+)
Memfokuskan perhatian pada dirinya, menolak untuk melihat bayi menangis


 



Mengeluarkan tangan ingin memegang, memeriksa kontak mata
Buku ajar asuhan kebidanan persalinan (Yanti, 2010)

2.      Perilaku Temper Tantrum
a.       Pengertian Temper Tantrum
Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan. (Riana Mashar, 2011).
Umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena pada usia ini anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya. Pada usia 2-4 tahun, karakteristik emosi anak muncul pada ledakan marahnya atau temper tantrum. Sikap yang ditunjukkan untuk menampilkan rasa tidak senangnya, anak melakukan tindakan yang berlebihan, misalnya menangis, menjerit-jerit, melemparkan benda, berguling-guling, memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya (Hurlock, 2000).
Tantrum lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap sulit dengan ciri-ciri memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar yang tidak teratur, sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru, lambat beradaptasi terhadap perubahan, suasana hati lebih sering negatif, mudah terprovokasi, gampang merasa marah dan sulit dialihkan perhatiannya (Zaviera, 2008).
La Forge (dalam Zaviera, 2008) menilai bahwa tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif, dan emosi. Sebagai periode dari perkembangan, tantrum pasti akan berakhir.
Dariyo (2007) mengatakan jika temper tantrum merupakan kondisi yang normal terjadi pada anak-anak berumur 1-3 tahun, apabila tidak ditangani dengan tepat dapat bertambah sampai umur 5-6 tahun. Kemampuan untuk mengolah atau mengatur emosi memegang peranan penting dalam perkembangan kepribadiannya. Oleh karena itu anak yang mudah mengatur emosinya maka ia akan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Berdasarkan teori-teori di atas disimpulkan bahwa temper tantrum merupakan luapan emosi yang meledak-ledak akibat suasana yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh anak. Ledakan emosi tersebut dapat berupa menangis, menjerit-jerit, melemparkan benda, berguling-guling, memukul ibunya atau aktivitas lainnya.
Tantrum yang tidak diatasi dapat membahayakan fisik anak, selain itu anak tidak akan bisa mengendalikan emosinya atau anak akan kehilangan kontrol dan akan lebih agresif. Hal ini akan mengakibatkan anak tidak bisa menghadapi lingkungan luar, tidak bisa beradaptasi, tidak bisa mengatasi masalah, tidak bisa mengambil keputusan dan anak tidak akan tumbuh dewasa, karena melewati tantrum akan membuat anak tumbuh dewasa (Dariyo, 2007).
Akibat yang ditimbulkan dari temper tantrum ini cukup berbahaya, misalnya anak yang melampiaskan kekesalannya dengan cara berguling-guling dilantai yang keras dapat menyebabkan anak menjadi cedera. Anak yang melampiaskan amarahnya dapat menyakiti dirinya sendiri, menyakiti orang lain atau merusak benda yang ada disekitarnya. Jika benda-benda yang ada disekitar anak merupakan benda keras maka akan sangat berbahaya karena anak dapat tersakiti dan mengalami cedera akibat dari tindakan tantrumnya. Anak yang mengalami tantrum ini sebenarnya digunakan untuk mencari perhatian sehingga orangtua sebisa mungkin untuk menjauhkan anak dari perhatian umum ketika mengalami tantrum dan sekaligus menjauhkan anak dari benda-benda yang berbahaya agar anak tidak mengalami cedera.
b.      Jenis Temper Tantrum
Menurut Kidsource.com (dalam Hildayani, 2007) ada 3 jenis tantrum yaitu:
1)      Manipulative tantrum
Manipulative tantrum terjadi ketika seseorang anak tidak memperoleh apa yang diinginkan. Perilaku ini akan berhenti saat keinginan anak dituruti.

2)      Verbal Frustration Tantrum
Tantrum jenis ini terjadi ketika anak tahu apa yang ia inginkan tetapi tidak tahu bagaimana cara menyampaikan keinginannya denagan jelas. Pada kejadian ini anak akan mengalami frustasi. Tantrum jenis ini akan menghilang sejalan dengan peningkatan kemampuan komunikasi anak, dimana anak semakin mampu untuk menjelaskan kesulitan yang dialaminya.
3)      Temperamental Tantrum
Temperamental tantrum terjadi ketika tingkat frustasi anak mencapai tahap yang sangat tinggi, dan anak menjadi sangat tidak terkontrol, sangat emosional. Anak akan merasa sangat lelah dan sangat kecewa. Pada tantrum jenis ini anak sulit untuk berkonsentrasi dan mendapatkan kontrol terhadap dirinya sendiri. Anak tampak bingung dan mengalami disorientasi. Walaupun mereka tidak meminta tolong, tetapi sesungguhnya mereka sangat membutuhkannya.
Menurut Shaefer & Millman, (dalam Hildayani, 2007) perilaku temper tantrum yang ditunjukkan seorang anak dapat muncul dalam bentuk yang bermacam-macam, diantaranya adalah perilaku berteriak, memecahkan benda-benda, atau bergulingan di lantai. Beberapa anak bahkan dapat menyakiti diri sendiri (memukul kepalanya) atau mencoba menyakiti siapapun yang datang mendekatinya. Pada titik yang ekstrim seorang anak dapat menunjukkan perilaku temper tantrum dengan menahan napas mereka selama beberapa saat.
Anak yang menunjukkan temper tantrum berarti sedang memperlihatkan kemarahannya. Hal ini dilakukan Karena mereka tidak dapat menunjukkan atau menjelaskan perasaan dan keinginannya melalui kata-kata hingga akhirnya mereka menjadi frustasi dan marah. Sesungguhnya ada banyak hal yang dapat memicu kemarahan seorang anak diantaranya frustasi, lelah, dan penolakan.
Menurut Lansdown & Walker (dalam Hildayani, 2007) karakteristik anak yang menunjukkan temper tantrum adalah sebagai berikut:
1)      Anak sering berada dalam kelelahan, tekanan, dan kecemasan yang tinggi.
2)      Anak yang memiliki temperamen sulit, sering stress.
3)      Anak yang memiliki orang tua sangat sensitive, dimana orang tua mereka sendiri cenderung sering menunjukkan temper tantrum. Yang penting diingat ialah contoh yang ditunjukkan orang tua sangat besar pengaruhnya pada anak.
Berdasarkan kelompok usia, tantrum dibedakan menjadi (Zaviera, 2008):
1)       Dibawah 3 tahun, anak dengan usia di bawah 3 tahun ini bentuk tantrumnya adalah menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, memekik-mekik, melengkungkan punggung, melempar badan ke lantai, memukul-mukulkan tangan, menahan napas, membentur-benturkan kepala dan melempar-lempar barang (Zaviera, 2008).
2)       Usia 3-4 tahun, anak dengan rentang usia antara 3 tahun sampai dengan 4 tahun bentuk tantrumnya meliputi perilaku pada anak usia di bawah 3 tahun ditambah dengan menghentak-hentakkan kaki, berteriak-teriak, meninju, membanting pintu, mengkritik dan merengek (Zaviera, 2008).
3)       Usia 5 tahun ke atas, bentuk tantrum pada anak usia 5 tahun ke atas semakin meluas yang meliputi perilaku pertama dan kedua ditambah dengan memaki, menyumpah, memukul, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang dengan sengaja dan mengancam (Zaviera, 2008).
Menurut Purnamasari (2005) menyebutkan bahwa setiap anak yang setidaknya telah berusia 18 bulan hingga tiga tahun dan bahkan lebih akan menentang perintah dan menunjukkan individualitasnya sekali waktu. Hal ini merupakan bagian normal balita karena mereka terus menerus mengeksplorasi dan mempelajari batasan-batasan disekelilingnya. Anak akan menunjukkan berbagai macam tingkah laku, seperti keras kepala dan membangkang karena sedang mengembangkan kepribadian dan otonominya.
Tantrum juga merupakan cara normal untuk mengeluarkan semua perasaan yang menumpuk. Seorang anak pada usia ini akan menunjukkan beberapa atau semua tingkah laku sebagai berikut:
1)      Penolakan atas kontrol dalam bentuk apapun
2)      Keinginan untuk mandiri, lebih banyak menuntut dan menunjukkan tingkah laku yang membangkang.
3)      Berganti-ganti antara kemandirian dan bertingkah manja.
4)      Ingin mendapatkan kendali dan ingin mengendalikan
5)      Pada umumnya menunjukkan tantrum.
c.       Penyebab Temper Tantrum
Menurut Zaviera (2008) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum, diantaranya adalah:
1)      Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu
Anak jika menginginkan sesuatu harus selalu terpenuhi, apabila tidak tidak berhasil terpenuhinya keinginan tersebut maka anak sangat dimungkinkan untuk memakai cara tantrum guna menekan orangtua agar mendapatkan apa yang ia inginkan
2)      Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri
Anak-anak mempunyai keterbatasan bahasa, pada saatnya dirinya ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtua pun tidak dapat memahami maka hal ini dapat memicu anak menjadi frustasi dan terungkap dalam bentuk tantrum.

3)      Tidak terpenuhinya kebutuhan
Anak yang aktif membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Apabila suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil, maka anak tersebut akan merasa stress. Salah satu contoh pelepasan stresnya adalah tantrum.
4)      Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapat  apa yang ia inginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku tantrum. Orangtua yang mengasuh anak secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum.
Pola asuh orangtua dalam hal ini sebenarnya lebih pada bagaimana orangtua dapat memberikan contoh atau teladan kepada anak dalam setiap bertingkah laku karena anak akan selalu meniru setiap tingkah laku orangtua. Jika anak melihat orangtua meluapkan kemarahan atau meneriakkan rasa frustasi karena hal kecil, maka anak akan kesulitan untuk mengendalikan diri. Seorang anak perlu melihat bahwa orang dewasa dapat mengatasi frustasi dan kekecewaan tanpa harus lepas kendali, dengan demikian anak dapat belajar untuk mengendalikan diri. Orangtua jangan menghadapkan anak dapat menunjukkan sikap yang tenang jika selalu memberikan contoh yang buruk.
5)      Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit
Kondisi sakit, lelah serta lapar dapat menyebabkan anak menjadi rewel. Anak yang tidak pandai mengungkapkan apa yang dirasakan maka kecenderungan yang timbul adalah rewel, menangis serta bertindak agresif.
6)      Anak sedang stress dan merasa tidak aman
Anak yang merasa terancam, tidak nyaman dan stress apalagi bila tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri ditambah lagi lingkungan sekitar yang tidak mendukung menjadi pemicu anak menjadi temper tantrum.
Pemicu tantrum menurut Purnamasari (2005) menyebutkan antara lain sebagai berikut:
1)      Mencari perhatian
Walaupun tantrum jarang dilakukan hanya untuk memanipulasi orangtua, jika hasil dari tantrum adalah perhatian penuh orang dewasa, hal ini memberi alasan untuk mulai menunjukkan tantrum.

2)      Meminta sesuatu yang tidak bisa ia miliki
Anak memaksa ingin sarapan es krim atau meminta ibunya memeluknya saat menyiapkan makanan.
3)      Ingin menunjukkan kemandirian
Anak ingin mengenakan pakaian yang kurang sesuai dengan cuaca hari itu, seperti kaus di hari-hari yang dingin, atau tidak mau makan makanan yang sudah disiapkan.
4)      Frustasi dengan kemampuan yang terbatas untuk melakukan aktivitas yang ia coba, anak ingin menunjukkan kemampuannya melakukan beberapa hal sendiri, seperti berpakaian, atau menemukan potongan puzzle, tetapi tidak bisa berhasil menyelesaikannya.
5)      Cemburu
Biasanya ditunjukkan kepada kakak, adik atau yang lain. Ia menginginkan mainan atau buku mereka.
6)      Menantang otoritas
Anak tiba-tiba tidak ingin melakukan rutinitas seperti rutinitas sebelum tidur, atau menolak berangkat ke tempat penitipan anak, walaupun ia selalu senang di sana.
7)      Semata-mata keras kepala
Seorang anak bisa saja menunjukkan tantrum apapun yang terjadi.

d.      Penanganan Temper Tantrum
Anak yang masih menunjukkan tantrum setiap kali keinginannya tidak terpenuhi, biasanya dikarenakan tantrum telah menjadi “senjata”baginya untuk memenuhi apa yang diinginkannya.
Menurut Dr. Kesster (dalam Chairani, 2003) (dalam Hildayani, 2007) “Ketika usia anak 4-5 tahun, orang tua benar-benar diuji niatnya untuk menangani rasa marah (yang ditunjuk anak) itu.” Hal ini karena anak-anak diusia 3 tahun sesungguhnya telah mengalami bahasa komunikasi sehingga seharusnya mereka telah mampu mengungkapkan keinginannya dan tidak lagi menunjukkan perilaku tantrum.
Beberapa cara penanganan dalam mengahadapi anak yang temper tantrum yang terjadi pada anak usia prasekolah adalah sebagai berikut:
1)      Mencoba mengerti dan memahami jenis tantrum apa yang terjadi pada saat itu.
a)      Bila anak menunjukan manipulative tantrum maka kita hendaknya mengabaikan perilaku anak pada saat itu, tidak melihat kearah anak, mencoba bersikap tenang dan tetap melakukan pekerjaan. Apabila anak tetap melakukan tantrumnya dan berteriak-teriak untuk menarik perhatian kita, maka yang harus dilakukan adalah memisahkan anak dari teman-temannya. Anak diamankan pada ruangan yang dipastikan aman. Anak diberitahu apabila dia dapat mengendalikan kemarahannya maka anak tersebut dapat kembali keteman-temannya. Sebaiknya sikap kita jangan menunjukkan kemarahannya sehingga anak dapat menghentikan sikapnya tersebut. Beri penjelasan pada anak lain bahwa temannya sedang dihukum agar berhenti berteriak-teriak dan tidak perlu memperhatikan perilaku tersebut dan tetap melanjutkan pekerjaannya.
b)      Bila anak menunjukkan verbal frustration, hendaknya jangan membiarkan atau mengacuhkan anak tersebut serta jangan membiarkannya, bantulah anak itu untuk memecahkan masalah tersebut. Apabila anak kesulitan dalam melakukan sesuatu tetapi tidak dapat mengungkapkannya anak tersebut harus dibantu untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Apabila anak tidak dapat mengungkapkan dorong anak untuk mengungkapkan dengan bahasanya sendiri dan kita dapat mengartikan perasaan dan keinginan anak melalui kata-kata lembut, agar anak merasakan bahwa kita merasakan dan memahami apa yang mereka inginkan.
c)      Bila anak menunjukkan temperamental tantrum, kita hendaknya jangan mengacuhkan karena hal ini tidak dapat menyelesaikan masalah. Kita harus dapat membedakan antara mengontrol kemarahan yang dialami oleh anak dalam menginginkan sesuatu atau kemarahan sebagai rasa frustasi yang menunjukan ekspresi kesalahan dalam mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan padanya. Adakalanya kita membutuhkan bantuan seorang ahli dalam menangani masalah yang dihadapi anak tersebut.
2)      Mencoba mencatat tentang hal-hal yang dapat menyebabkan anak berlaku temper tantrum.
Kita harus memahami penyebab yang terjadi pada anak mungkin saja pada saat itu anak merasa lapar, terlalu lelah, dan terlalu terstimulasi, sehingga harus berhati-hati untuk menghindari diri dari kondisi tersebut.
3)      Mencoba untuk mengendalikan diri
Kita dalam menghadapi perilaku tantrum anak jangan lepas kontrol, karena mereka akan jadi bertingkah. Kendalikan diri dan minta maaf pada anak ini akan membuat emosi anak terkendali. Hampiri anak dengan tenang sambil tersenyum dan perhatikan bahwa guru tetap menghargai anak.
Kita adalah manusia yang memiliki keterbatasan, yang juga merasa tertekan dengan perilaku tantrum anak. Berilah pengertian pada anak, boleh marah tetapi dengan cara yang baik dan berilah reward pada anak misal berupa pujian pada saat anak tidak mengamuk atau marah-marah, tentunya guru harus konsisten.
4)      Jangan berargumentasi atau mencoba menjelaskan tindakan anda kepada anak pra sekolah yang sedang tantrum.
Perilaku anak tantrum ini tidak akan mengerti/mendengar apa yang dikatakan orang tua, bahkan mereka tidak akan menghentikan teriakannya meskipun kita menjelaskan apapun pada anak tersebut.
5)      Jangan memberikan reward terhadap perilaku tantrum.
Orang tua jangan mudah terpengaruh oleh tantrum meskipun bersalah, orang tua harus bisa berkata tidak, walaupun anak segera menunjukkan perilaku tantrumnya karena ini merupakan awal penghentian disiplin anak. Sebagai orang tua harus dapat mengajarkan kepada anak cara mengendalikan diri.
3.      Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun)
a.       Pengertian
Anak usia prasekolah adalah mereka yang berusia 3 – 6 tahun. Mereka biasa mengikuti program prasekolah dan kinderganten. Sedangkan di Indonesia pada umumnya mereka mengikuti program tempat penitipan anak 3 – 5 tahun dan kelompok bermain atau Play Group (usia 3 tahun), sedangkan pada anak usia 4 – 6 tahun biasanya mereka mengikuti program taman kanak-kanak. (Biechler dan Snowman dari Patmonodewo, 2003).
Anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya) (Yusuf, 2011). Batasan  anak usia prasekolah adalah dari setelah kelahiran (0 tahun) hingga usia sekitar 6 tahun (Pratisti, 2008).
Anak prasekolah adalah anak yang berusia antara tiga setengah hingga enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal di sekolah. Anak prasekolah tidak lagi tampak seperti bayi, dia belajar bersikap lebih dewasa dan bisa melakukan hal yang menyenangkan bagi orang-orang dewasa dalam hidupnya ketika dia mendapatkan pengakuan dan pujian atas karyanya (Hagan, 2006). Maka dapat disimpulkan bahwa anak prasekolah adalah anak yang berusia tiga hingga enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal.
b.       Ciri-ciri anak prasekolah
Snowman (1993) dikutip dari Padmonodewo (2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak.
1)      Ciri Fisik
Penampilan atau gerak-gerik prasekolah mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam tahapan sebelumnya.
a)      Anak prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka telah memiliki penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan-kegiatan yang dilakukan sendiri. Berikan kesempatan kepada anak untuk lari, memanjat, dan melompat. Usahakan kegiatan-kegiatan tersebut sebanyak mungkin sesuai dengan kebutuhan anak dan selalu di bawah pengawasan.
b)      Walaupun anak laki-laki lebih besar, namun anak perempuan lebih terampil dalam tugas yang bersifat praktis, khususnya dalam tugas motorik halus, tetapi sebaiknya jangan mengkritik anak lelaki apabila dia tidak terampil. Jauhkan dari sikap membandingkan lelaki-perempuan, juga dalam kompetensi ketrampilan.
2)      Ciri Sosial
Anak prasekolah biasanya mudah bersosialisasi dengan orang di sekitarnya. Umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat yang cepat berganti. Mereka umumnya dapat cepat menyesuaikan diri secara sosial, mereka mau bermain dengan teman. Sahabat yang biasa dipilih biasanya yang sama jenis kelaminnya, tetapi kemudian berkembang menjadi sahabat yang terdiri dari jenis kelamin yang berbeda.
3)      Ciri Emosional
Anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka, sikap marah, iri hati pada anak prasekolah sering terjadi, mereka seringkali memperebutkan perhatian guru atau orang sekitar. Pada usia ini sudah menjadi kebiasaan anak untuk berperilaku lebih agresif dan lemah dalam kontrol diri. Anak-anak dengan emosional tinggi dapat menunjukkan sifatnya tersebut dengan temper tantrum.
4)      Ciri Kognitif
Anak prasekolah umumnya sudah terampil berbahasa, sebagian besar dari mereka senang berbicara, khususnya pada kelompoknya. Sebaliknya anak diberi kesempatan untuk menjadi pendengar yang baik (Padmonodewo, 2003).
c.       Tugas Tumbuh Kembang Anak
Soetjiningsih (2002) mengemukakan bahwa semua tugas perkembangan anak usia 4-6 tahun itu disusun berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam empat kelompok besar yang disebut sektor perkembangan yang meliputi :
1)       Perilaku Sosial
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan kemandirian, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan misalnya, membantu di rumah, mengambil makan, berpakaian tanpa bantuan, menyuapi boneka, menggosok gigi tanpa bantuan, dapat makan sendiri.
2)       Gerakan Motorik Halus
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian tubuh tertentu yang dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat misalnya menggambar garis, lingkaran dan menggambar manusia.
3)       Bahasa
Kemampuan yang memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah, misalnya bicara semua dimengerti, mengenal dan menyebutkan warna, menggunakan kata sifat (besar-kecil).
4)      Gerakan Motorik Kasar
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh, misalnya berdiri dengan satu kaki, berjalan naik tangga dan menendang bola ke depan.
d.       Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
1)      Keturunan
Karakteristik yang diturunkan mempunyai pengaruh besar pada perkembangan jenis kelamin anak, yang ditentukan oleh seleksi acak pada waktu konsepsi, mengarahkan pola pertumbuhan dan perilaku  orang lain terhadap anak. Jenis kelamin dan determinan keturunan lain secara kuat mempengaruhi hasil akhir pertumbuhan dan laju perkembangan untuk mendapatkan hasil akhir tersebut. Terdapat hubungan yang besar antara orang tua dan anak dalam hal sifat seperti tinggi badan, berat badan dan laju pertumbuhan. Kebanyakan karakteristik fisik, termasuk pola dan bentuk gambaran, bangun tubuh dan keganjilan fisik diturunkan dan dapat mempengaruhi cara pertumbuhan dan integrasi anak dengan lingkungan (Soetjiningsih, 2002).
2)      Faktor Neuroendokrin
Penelitian menunjukan kemungkinan adanya pusat pertumbuhan dalam region hipotalamik yang bertanggungjawab untuk mempertahankan pola pertumbuhan yang ditetapkan secara genetic. Beberapa hubungan fungsional diyakini diantara hipotalamus dan system endokrin yang mempengaruhi pertumbuhan.
3)      Nutrisi
Nutrisi mungkin merupakan satu-satunya pengaruh paling penting pada pertumbuhan. Faktor diit mengatur pertumbuhan pada semua tahap perkembangan dan efeknya ditunjukan pada cara yang beragam dan rumit, selama masa bayi dan kanak-kanak. Kebutuhan kalori relative besar dibuktikan oleh peningkatan tinggi dan berat badan(Soetjiningsih, 2002).
4)      Hubungan interpersonal
Hubungan dengan orang terdekat memainkan peran penting dalam perkembangan terutama dalam perkembangan emosi, intelektual dan kepribadian, terutama dalam perkembangan emosi, intelektual dan kepribadian tidak hanya kualitas dan kuantitas kontak dengan orang lain yang memberi pengaruh pada anak yang sedang berkembang tetapi luasnya rentang kontak penting untuk pembelajaran dan perkembangan kepribadian yang sehat.
5)      Tingkat Sosioekonomi
Tingkat sosioekonomi keluarga mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia anak dari kelas atas dan menengah mempunyai tinggi lebih dari anak keluarga dengan strata ekonomi rendah. Keluarga dari sosioekonomi rendah kurang memiliki pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan lingkungan yang aman, menstimulasi dan kaya nutrisi yang membantu perkembangan optimal anak.
6)      Penyakit
Perubahan pertumbuhan dan perkembangan adalah satu menifestasi klinis dalam sejumlah gangguan hereditas. Gangguan pertumbuhan terutama terlihat pada gangguan skeletal, seperti berbagai bentuk duarfisme dan sedikitnya satu anomaly kromosom (sindrom turner) banyak gangguan metabolisme seperti riketsia resisten-vitamin D, mukopoli sekaridosis, dan berbagai gangguan lain, kecendrungannya adalah kearah persentil atas tinggi badan. Gangguan apapun yang dicirikan dengan ketidakmampuan untuk mencerna dan mengabsorsi nutrisi tubuh akan memberi efek merugikan pada pertumbuhan dan perkembangan

7)      Bahaya Lingkungan
Bahaya dilingkungan adalah sumber kekawatiran pemberi asuhan kesehatan dan orang lain yang memperhatikan kesehatan dan keamanan cedera fisik paling sering terjadi akibat bahaya lingkungan, dan berkaitan dengan usia bahaya khusus dan ketidakmampuan fisik (Soetjiningsih, 2002). Anak beresiko tinggi mengalami cedera akibat resiko kimia dan ini berhubungan dengan potensi kardiogenik, efek enzimatik dan akumulasi. Agens berbahaya yang paling sering dikaitkan dengan resiko kesehatan adalah bahan kimia dan radiasi.
8)      Stress pada masa kanak-kanak
Meskipun semua anak mengalami stres beberapa anak muda tampak lebih rentan dibanding yang lain. Usia anak temperamen situasi hidup dan status kesehatan mempengaruhi kerentanan reaksi dan kemampuan mereka mengatasi stres. Orang tua dapat mencoba untuk mengenali tanda stres untuk membantu anak menghadapi stres sebelum menjadi berat (Soetjiningsih, 2002).
9)      Pengaruh media massa
Media dapat memberi  pengaruh besar pada perkembangan anak, media memberi anak suatu cara untuk memperluas pengetahuan mereka tentang dunia tempat mereka hidup dan berkontribusi untuk mempersempit perbedaan antar kelas. Anak dapat mengidentifikasi secara dekat orang atau karakter yang digambarkan dalam materi bacaan, film, video dan program televisi serta iklan (Soetjiningsih, 2002).
4.      Kualitas
a.       Pengertian
Persepsi tentang kualitas atau mutu sangat berbeda-beda karena bersifat sangat subjektif. Banyak pengertian tentang kualitas atau mutu, antara lain berikut ini:
1)      Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati (Winston Dictionary, 1956).
2)      Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program (Donabedian, 1980).
3)      Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri-ciri suatu barang atau jasa yang didalamya terkandung pengertian atau rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna (Din ISO 8402, 1986).
Dari batasan ini, dapat dipahami bahwa mutu atau kualitas hanya dapat diketahui apabila sebelumnya telah dilakukan penilaian. Dalam praktik sehari-hari, melakukan penilaian tidaklah mudah. Penyebab utamanya ialah karena mutu bersifat multi dimensional. Tiap orang, tergantung dari latar belakang kepentingan masing-masing dapat melakukan penilaian dari dimensi berbeda (Sastrianegara dan Saleha, 2009).


b.      Dimensi Kualitas
Rosemary E. Cross mengatakan bahwa secara umum pemikiran tentang kualitas sering dihubungkan dengan kelayakan, kemewahan, kecantikan, nilai uang, kebebasan dari rasa sakit dan ketidaknyamanan, usia harapan hidup yang panjang, rasa hormat, kebaikan. Menurut kamus bahasa Inggris Oxford, kualitas adalah “tingkat keunggulan”. Maxwell (1984) menyebutkan ada enam dimensi kualitas:
1)      Acceptability (dapat menerima)
2)      Equity (kewajaran)
3)      Appropriateness (kelayakan)
4)      Efficiency (efisiensi)
5)      Effectiveness (keefektifan)
6)      Accesibility (mudah dicapai)
Keenam dimensi tersebut harus berlaku secara acak ditiap tahapan asuhan untuk semua penerima atau atau pengguna. Untuk mengatasi adanya perbedaan dimensi tentang masalah mutu harusnya pedoman yang dipakai adalah hakekat dasar dari diselenggarakannya hal tersebut. Yang dimaksud dengan hakekat dasar tersebut adalah memenuhi kebutuhan dan tuntunan para pemakainya yang apabila berhasil dipenuhi akan menimbulkan rasa puas terhadap hal yang diselenggarakan.


c.       Kualitas Bounding Attachment
Telah dipahami sebelumnya bahwa mutu atau kualitas hanya dapat diketahui apabila sebelumnya telah dilakukan penilaian. Oleh karena itu, kualitas bounding atttachment dapat diketahui jika sudah melakukan penilaian. Penilaian untuk mengetahui kualitas bounding attachment ini menggunakan GRAY SCORE. Berikut ini merupakan skor penilaian bounding attachment menggunakan GRAY SCORE:
Tabel 2.2
Kualitas Bounding Attachment

GRAY SCORE : Skor Bonding
Skor Bonding
Bagaimana tindakan Ibu terhadap Bayinya
Memandang
Berkata
Melakukan Sesuatu
5.      Sangat (-) tidak tepat
6.      Agak (-) tidak tepat
7.      Agak (+) sesuai
8.      Sangat(+) sesuai
Penampilan umum depresi, ketakutan, marah-marah,
apatis


 



Sangat gembira bahagia,antusias
Membuat suatu sebutan bagi bayi & suami,menunjukkan permusuhan rasa kecewa terhadap bayi


 


Bicarakan langsung pada bayi, menggunakan nama bayi menunjukan reaksi (+)
Memfokuskan perhatian pada dirinya, menolak untuk melihat bayi menangis


 



Mengeluarkan tangan ingin memegang, memeriksa kontak mata
Buku ajar asuhan kebidanan persalinan (Yanti, 2010)
5.      Perilaku
a.       Pengertian
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan  atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2012).
Berdasarkan Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlakukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Dengan demikian, maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu (Bimo, 2001).
b.      Macam – macam perilaku
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1)      Perilaku tertutup (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 


2)      Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka  (overt). Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktik (practice).
c.       Domain Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor – faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni.
1)      Determinan atau faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yakni bersifat given atau bawaan, misalkan : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2)      Determinan atau faktor eksternal, yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang mewarnai perilaku seseorang.
  1. Temper Tantrum Sebagai Perilaku Disruptive
Selama masa perkembangan anak, kerap muncul perilaku ketidakpatuhan dan agresif pada anak. Perilaku ketidakpatuhan dan agresif dapat disebut juga sebagai perilaku disruptive. Secara luas, perilaku disruptive mengandung beragam perilaku yang meliputi temper tantrum,  menangis atau merengek berlebihan, meminta perhatian, tidak patuh, berperilaku agresif terhadap diri dan orang lain, mencuri, berbohong, merusak perabot, dan menunjukkan perilaku nakal/melanggar aturan (Schroeder & Gordon, 2002). Perilaku disruptive misalnya perilaku temper tantrum pada anak dan perilaku negativistic berupa kecenderungan anak untuk menolak perintah orang dewasa.
Perilaku disruptive atau perilaku yang mengganggu dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari perilaku dicirikan sebagai oposisi, pemberontak, bermusuhan atau negativistic (American Psychiatric Asosiasi, 1994). Contoh perilaku yang mengganggu termasuk penolakan langsung untuk memenuhi permintaan orang dewasa adalah agresi/ menentang secara verbal ataupun fisik, temper tantrum, dan menghancurkan barang-barang. Munculnya perilaku mengganggu umum pada anak-anak usia prasekolah, dan peningkatan frekuensi perilaku ini adalah khas selama tahap ini karena perkembangan anak mulai mengarahkan lebih ke kebebasan. Namun, bentuk perilaku yang mengganggu lebih parah selama di tahun prasekolah, terutama yang melibatkan agresi dan menantang, mungkin menandakan awal dari masalah perilaku yang akan bertahan sepanjang masa (Campbell, 1991; Campbell, Maret, Pierce, Ewing, & Szumowski, 1991; Hinshaw &Melnick, 1995) (dalam Crystal, 1997).
Masalah perilaku yang mengganggu mewakili alasan utama untuk rujukan anak-anak prasekolah ke layanan psikologis (Campbell , 1995). Selain itu, eksternalisasi masalah perilaku sampai di bentuk parah di tahun-tahun prasekolah yang bertahan lama dan jika masalah ini bertahan ke tahun usia sekolah, mereka kemungkinan akan terus berlanjut sampai menjadi remaja (Campbell , 1995). Oleh karena itu, hal ini sangat penting untuk meningkatkan pemahaman kita tentang faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak prasekolah memiliki perilaku mengganggu seperti temper tantrum. Ini merupakan syarat yang diperlukan untuk mengembangkan strategi untuk pencegahan dan pengobatan.
Studi terbaru yang telah diteliti,  perilaku mengganggu (Disruptive behaviour) dan insecure attachment bersamaan di tahun-tahun prasekolah membuktikan keduanya saling berhubungan (Easterbrooks, Davidson, & Chazan, 1993). Banyak faktor yang mungkin berkontribusi terhadap penyebab masalah perilaku disruptive atau perilaku temper tantrum di anak usia prasekolah. Seperti yang mereka lakukan di sebagian besar masalah psikologis dan perilaku dalam anak-anak. Penelitian telah mengidentifikasi banyak faktor berbasis lingkungan yang tampaknya berisiko untuk mengembangkan masalah perilaku yang mengganggu (Moss, Parent, Gosselin, Rousseau, & St.-Laurent, 1996) (dalam Crystal, 1997)
Berbagai faktor risiko dalam upaya untuk menemukan mekanisme yang menyebabkan anak untuk berperilaku mengganggu. Kepuasan perkawinan, praktik pengasuhan atau pola asuh, dan  pola attachment orangtua dan anak  (kualitas bounding attachment) merupakan penyebab perilaku mengganggu (perilaku disruptive) di anak-anak prasekolah (Belsky dkk, 1996). Konflik perkawinan dan praktik pengasuhan yang tidak efektif adalah dua faktor risiko yang juga diakui sebagai penyebab perilaku yang mengganggu pada anak-anak (Crystal, 1997).
  1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Temper Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah
Menurut Belsky & Woodworth, Fagot & Pears, Keenan, & Winslow (dalam Crystal 1997), Faktor yang mempengaruhi perilaku disruptive (temper tantrum) pada anak prasekolah antara lain sebagai berikut:
a.       Kepuasan Perkawinan
Marital satisfaction atau kepuasan perkawinan adalah suatu perasaan kepuasan dan kesenangan dalam suatu perkawinan. Menurut Benin, kepuasan perkawinan meningkat pada saat sebelum memiliki anak dan sesudah anak dilahirkan. Menurut Cowan (dalam Lemme, 1995) bahwa kepuasan perkawinan dapat meningkat pada saat anak pertama dilahirkan. Namun demikian, menurut White dkk (dalam Lemme, 1995), kepuasan perkawinan dapat menurun terutama pada wanita karena bertambahnya pekerjaan serta berkurangnya kebersamaan dengan pasangan. Hurlock juga mengungkapkan bahwa kehadiran anak-anak cenderung menimbulkan ketegangan dalam perkawinan dan perpengaruh terhadap kepuasan perkawinan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Hurlock bahwa keluarga yang jumlah anak lebih dari empat memiliki tingkat ketegangan yang tinggi dalam perkawinan dibandingkan keluarga yang hanya memiliki satu, dua, atau tiga anak.
Ketegangan yang timbul akibat ketidakpuasan perkawinan akan mempengaruhi perkembangan anak karena suasana rumah menjadi tidak kondusif. Ketidakpuasan perkawinan membuat mudah tersulutnya emosi yang dapat berujung pada pertengkaran suami istri, dan hal ini tidak baik dalam perkembangan emosi anak, apalagi jika pertengkaran ini sering terjadi didepan anak.
b.      Praktik Pengasuhan
Praktik pengasuhan atau pola asuh orang tua dapat diartikan sebagai interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pangasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Tarmudji, 2001).
Pola asuh orang tua adalah upaya orang tua dalam mengasuh, merawat, membesarkan dan mendidik seorang anak yang dapat mempengaruhi kualitas anak baik biologis, psikologis atau sosial. Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya (Setyonegoro, 2003).
Cara orang tua mengasuh, mendidik serta merawat anak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain faktor budaya, agama, kebiasaan, status ekonomi dan kepercayaan serta kepribadian orang tua. Selain itu faktor pola asuh yang diterapkan pada anak biasanya sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterima orang tua semasa kecil. Fungsi pola asuh dari orang tua adalah menganjurkan anak dan menerima pengekangan yang dibutuhkan dan membantu mengarahkan emosi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial (Setyonegoro, 2003).
Menurut Shaleh (2009) pemberian rasa sayang, rasa aman, atau dilindungi akan selalu ada pada setiap orang tua. Tidak mungkin orang tua akan mencelakai dan membahayakan kehidupan anaknya, kecuali orang tua tersebut adalah orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak menginginkan kehadiran anak akibat dari kehadirannya yang diproses dengan jalan yang tidak sah. Jangankan manusia, harimau pun tidak akan pernah memakan anaknya sendiri. Oleh karena itu, jelaslah bahwa orang tua selalu mempunyai naluri untuk memberi rasa sayang, rasa aman, melindungi, menafkahi, dan membantu sang anak untuk pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan maksimal.


c.       Kualitas Bounding Attachment
Bayi yang baru lahir yang menunjukkan serba tidak berdaya. Namun dibalik ketidakberdayaannya tersebut pada dirinya terdapat berbagai potensi yang siap berkembang. Bayi akan berkembang dengan baik dan berbagai potensi yang dimiliki berubah menjadi kemampuan nyata bila mendapatkan stimuli dari lingkungannya, terutama lingkungan sosial. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi bayi. Faktor yang sangat diperlukan oleh bayi dari lingkungan ini adalah bonding dan attachment (Kuntjojo, 2010).
Bruce D. Perry (2001) menyatakan bahwa Bonding merupakan hubungan antara seseorang dengan orang yang lain dan melalui bonding terbentuklah attachment. Jika bayi memiliki kualitas bounding attachment yang baik atau memiliki secure attachment maka menggambarkan adanya keseimbangan antara keterlibatan bayi dengan ibu. Jika kualitas bounding attachment antara ibu dan bayi kurang maka tingkat keamanan (secure attachment) kurang. Padahal tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial ketika ia menginjak usia dewasa. Kurang terpenuhi hubungan ini dapat menimbulkan masalah bagi bayi salah satunya dalam hal fungsi emosional sehingga akan mempengaruhi tingkat emosinya dikemudian hari saat usianya mulai bertambah dewasa. Sehingga dapat disimpulkaan bahwa kualitas bounding attachment yang terbentuk berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial anak.
Sedangkan Jeff dan Cindi (2006) memandang bonding sebagai hubungan yang istimewa antara bayi dengan ibunya. Selengkapnya dia menyatakan “Bonding is that beautiful act of a baby and a parent totally falling inlove with each other. Not only is bonding enjoyable, but it is essential for yourbaby's psychological well being. A loving environment produces confidence,trust, and relational skills in your baby. The lack of bonding can cause seriouspsychological problems for your child in the future”
Bonding, menurut Jeff dan Cindi, merupakan kebutuhan esensial bagi bayi. Dengan bonding, bayi belajar mengembangkan rasa percaya diri keterampilan dalam hubungan social. Bila bayi dalam perkembangannya kurang merasakan hubungan tersebut, dirinya dapat mengalami problem psikologis yang serius dikemudian hari.
Berkenaan dengan attachment, Bruce D. Perry (2001) menyatakan “attachment refers to a special bond characterized by the unique qualities of the special bond that forms in maternal-infant or primary caregiver-infant relationships.” Menurut Perry, attachment merupakan suatu hubungan antar manusia (bond) yang ditandai oleh sifat-sifat yang specifik dalam hubungan bayi dan ibunya atau bayi dan pengasuhnya. Selanjutnya Perry menegaskan bahwa attachment terbentuk melalui bonding, dan dalam attachment bond terdapat elemen-elemen sebagai berikut.
1)      an attachment bond is an enduring emotional relationships with specific person;
2)      the relationship brings safety, comfort, soothing and pleasure;
3)      loss or threat of loss of person evokes intense distress.
Sebagai kebutuhan, attachment memerlukan pemenuhan. Bila pengalaman tersebut ternyata tidak atau kurang terpenuhi dapat menimbulkan masalah bagi bayi (Bruce D.Perry, 2001) yaitu : (1) developmental delays, (2) eating, (3)soothing behavior,( 4) emotional function, (5) in-appropriate modeling, dan (6)aggression.
Hubungan bonding dengan attachment dapat digambarkan berikut ini:
Bagan 2.1
Hubungan bonding dengan attachment (Kuntjojo, 2010):

 


 
B.     Kerangka Teori
Bagan 2.2
Kerangka Teori
 




 


BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep- konsep yang ingin diamati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan. (Notoatmodjo, 2010). 
 
Bagan 3.1
Kerangka Konsep

A.    Hipotesis Penelitian
Hipotesa penelitian adalah hipotesa kerja (Hipotesis Alternatif Ha atau H1) yaitu hipotesis yang dirumuskan untuk menjawab permasalahan dengan menggunakan teori-teori yang ada hubungannya (relevan) dengan masalah penelitian dan belum berdasarkan fakta serta dukungan data yang nyata di lapangan. Hipotesa dalam penelitian ini adalah :
Ha          =       Ada hubungan antara kualitas bounding attachment dengan perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah.
Ho          =       Tidak ada hubungan antara kualitas bounding attachment dengan perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah.
B.     Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik korelasional yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan diantara variabel-variabel yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan retrospektif yaitu metode pengambilan data dimana data yang dikumpulkan  berasal dari data yang telah berlalu (Suyanto, 2009). Penelitian ini adalah penelitian yang berusaha melihat kebelakang (backward looking), artinya pengumpulan data dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi (Notoatmodjo, 2010).

C.    Variabel Penelitian
Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota- anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain. Variabel juga didefinisikan sebagai sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep penelitian tertentu (Notoatmodjo, 2010). Variabel dalam penelitian ini meliputi:
1.      Variabel bebas
Variabel bebas adalah merupakan variabel resiko atau sebab (Notoatmodjo, 2010).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kualitas bounding attachment di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati.
2.      Variabel terikat
Variabel terikat adalah variabel terikat atau efek. Variabel ini dipengaruhi oleh variabel bebas (Notoatmodjo, 2010).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku temper tantrum anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati.

D.    Definisi Operasional
Definisi operasional bertujuan untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel diamati/diteliti. Definisi operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument atau alat ukur (Notoatmodjo, 2010).
Tabel 3.1
Definisi Operasional

No
Variabel penelitian
Definisi Operasional
Alat ukur
Hasil ukur
Skala ukur
1.
Variabel bebas: kualitas bounding attachment
Kualitas bounding attachment antara ibu dan anaknya saat bayi dan saat ini yang meliputi perasaan ibu saat memandang anaknya, komunikasi/bicara ibu dengan anaknya, dan tindakan ibu terhadap anaknya
Kuesioner dengan menggunakan GRAY score yang dimodifikasi dengan elemen-elemen bounding (Markum) dengan menggunakan 16 pernyataan. Setiap item diberi nilai 1 sampai 4 sesuai dengan item favourable dan unfavourable. Dan memiliki empat alternatif jawaban yaitu “Sangat Tidak Tepat”,  “ Agak Tidak Tepat”, “Agak Sesuai”, dan “Sangat Sesuai”.
Jika data berdistribusi normal maka,
kategori:
a.       Kurang
[Skor < (Mean-1,0 SD)]

b.      Sedang
[(Mean - 1,0 SD) ≤ skor < (Mean + 1,0 SD)]
           
c.       Baik
[Skor ≥ (Mean + 1,0 SD)]         

Jika data berdistribusi tidak normal maka,
kategori:
a.       Kurang
[Skor < (median-1,0 SD)]

b.      Sedang
[(Median - 1,0 SD) ≤ skor < (median + 1,0 SD)]

c.       Baik
[Skor ≥ (Median + 1,0 SD)]
Ordinal
2.
Variabel terikat: perilaku temper tantrum
Perilaku yang menunjukkan/ mengarah pada perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah baik bersifat fisik seperti menghentakkan kaki, memukul, membenturkan kepala, menendang, membanting pintu, melemparkan dan merusak barang-barang maupun secara verbal seperti menangis dengan keras, merengek, berteriak dan menjerit, serta mengumpat dan memaki.
Kuesioner dengan menggunakan 19 pernyataan. Setiap item diberi nilai 1 sampai 4 sesuai dengan item favourable dan unfavourable. Dan memiliki empat alternatif jawaban yaitu “Tidak Pernah”, “Pernah”, “Jarang”, dan “Sering”.
Jika data berdistribusi normal maka, kategori:
a.       Rendah
[Skor< (Mean - 1,0 SD )]

b.      Sedang
[(Mean - 1,0 SD) ≤ Skor< (Mean + 1,0 SD)]
           
c.       Tinggi
[Skor ≥ (Mean + 1,0 SD)]

Jika data berdistribusi tidak normal maka, kategori:
a.    Rendah
[Skor< (Median - 1,0 SD )]

b.      Sedang
[(Median - 1,0 SD) ≤ Skor< (Median + 1,0 SD)]
           
c.       Tinggi
[Skor ≥ (Median + 1,0 SD)]         

Ordinal

E.     Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati pada bulan Maret 2016.

F.     Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
1.      Populasi
Populasi adalah seluruh subjek atau objek dengan karekteristik tertentu yang akan diteliti, bukan hanya objek atau subjek yang dijelaskan tetapi juga seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek tersebut (Hidayat, 2007).
 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia prasekolah (3-6 tahun) di TK Pertiwi, yaitu sejumlah 36 anak.
2.      Sampel
Menurut Arikunto (2006), sebagai indicator bila subjek kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua sehingga sampel penelitian ini adalah seluruh anak usia prasekolah (3-6 tahun) di TK Pertiwi, yaitu sejumlah 36 anak.


3.      Teknik sampling
Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah nonprobability sampling dengan metode sampling jenuh yaitu seluruh populasi menjadi sampel. (Sugiyono, 2010)

G.    Alat Ukur Penelitian
Alat ukur dalam penelitian ini adalah kuesioner. Jenis kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup, sehingga tinggal memilih jawaban dengan memberikan tanda centang () pada kolom yang tersedia (Arikunto, 2006).

H.    Uji Validitas dan Reliabilitas
Setelah kuesioner sebagai alat pengumpul selesai disusun, belum berarti kuesioner tersebut dapat langsung digunakan untuk mengumpulkan data. Kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian, perlu uji validitas dan reliabilitas untuk itu maka kuesioner tersebut harus dilakukan uji coba dilapangan. (Notoatmodjo, 2010)
Pada penelitian ini kuesioner dibuat sendiri oleh peneliti, belum diuji cobakan kepada responden, maka kuesioner perlu diuji yaitu melakukan uji validitas dan reliabilitas.
1.      Uji validitas
Validitas adalah indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010).
Untuk mengetahui apakah kuesioner yang disusun tersebut mampu mengukur apa hendak kita ukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi antar skor (nilai) tiap-tiap pertanyaan dengan skor total kuesioner tersebut, teknik yang dipakai peneliti adalah kolerasi Product Moment antara belahan item genap dengan ganjil (Hidayat, 2007). Adapun rumusnya yaitu:

Keterangan :
rxy       :  Koefisien korelasi
<          :  Jumlah skor dan setiap item
∑y       :  Jumlah skor total item
Xy       :  Jumlah perkalian skor x dan skor y semua subjek
n          :  Semua responden
Hasil uji akan dibandingkan antara harga r hitung dengan r table dengan taraf signifikan 0,05. Apabila hasil r hitung > r table maka pernyataan dinyatakan valid untuk digunakan penelitian. Selain itu untuk menentukan kevalidan item pernyataan tersebut, maka dapat dilihat juga pada nilai signifikansi. Jika signifikansi < 0,05 maka item pernyataan tersebut valid, tetapi jika signifikansi > 0,05 maka item tidak valid.
Uji validitas dilakukan di TK Mardisiwi pada 20 anak prasekolah. Uji validitas dilakukan pada kuesioner kualitas bounding attachment dengan jumlah pernyataan 20 item dan kuesioner perilaku temper tantrum dengan jumlah pernyataan 20 item. Hasil uji validitasnya sebagai berikut :
Tabel 3.2
Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Kualitas Bounding Attachment dan Perilaku Temper Tantrum
Variabel
R hitung
R Tabel
Keterangan
Kualitas Bounding Attachment


Perilaku Temper Tantrum
0,009 – 0,876

0,217 – 0,812

0,444


0,444
16 Valid dan 4 Tidak Valid

19 Valid dan 1 Tidak Valid

Nilai r tabel pada validitas kuesioner kualitas bounding attachment  tersebut adalah 0,444 sehingga ada 16 item pernyataan yang valid dan 4 item pernyataan yang tidak valid. Maka peneliti melakukan usaha perbaikan instrumen kuesioner dengan cara menghapus pernyataan yang tidak valid. Jadi dalam kuesioner kualitas bounding attachment tersebut tinggal 16 pernyataan yang valid yang nantinya digunakan dalam penelitian.
Nilai r tabel pada validitas kuesioner perilaku temper tantrum tersebut adalah 0,444 sehingga ada 19 item pernyataan yang valid dan 1 item pernyataan yang tidak valid. Maka peneliti melakukan usaha perbaikan instrumen kuesioner dengan cara menghapus pernyataan yang tidak valid. Jadi dalam kuesioner perilaku temper tantrum tersebut tinggal 19 pernyataan yang valid yang nantinya digunakan dalam penelitian.


2.      Mengukur reliabilitas
Setelah mengukur validitas maka perlu mengukur reliabilitas data, apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Dalam penelitian ini uji reliabilitas menggunakan rumus Alpa Cronbach Alpha  Cronbach adalah salah satu koefisien reliabilitas yang paling sering digunakan (Sugiyono, 2011).
Rumus :
Keterangan :
r           : koefisien reabilitas yang dicari
k          : mean kuadrat antar subyek
Si2 : mean kuadrat kesalahan
St2 : Varian total
Uji reliabilitas merupakan kelanjutan dari uji validitas dimana item yang masuk pengujian adalah item pernyataan yang valid saja. Menurut Sekaran (2006), reliabilitas kurang dari 0,6 adalah kurang baik, sedangkan 0,7 dapat diterima, dan di atas 0,8 adalah baik.
Uji reliabilitas dilakukan pada kuesioner kualitas bounding attachment (jumlah pernyataan 16 item valid) dan kuesioner perilaku temper tantrum (jumlah pernyataan 19 item valid) dengan hasil Alpha Cronbach sebagai berikut:


Tabel 3.3
Rekapitulasi Hasil Uji Reliabilitas Instrumen
Variabel
Alpha Cronbach
Keterangan
Kualitas Bounding Attachment

Perilaku Temper tantrum
0,888

0,919
Reliabilitas baik

Reliabilitas baik


Dari tabel di atas diketahui bahwa seluruh instrumen adalah reliabel karena semua nilai Alpha Cronbach > 0,6. Alpha Cronbach kualitas bounding attachment sebesar 0,888 dan Alpha Cronbach perilaku temper tantrum sebesar 0,919 berarti reliabilitasnya baik dan dapat digunakan sebagai instrumen penelitian.

I.       Jenis Data dan Pengumpulan Data
1.      Jenis Data
a.       Data primer
Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari (Saryono, 2008). Data primer diperoleh dari hasil jawaban kuesioner.
b.      Data sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang berhubungan dengan penelitian (Saryono, 2008). Data sekunder dalam penelitian ini adalah data jumlah anak usia prasekolah (3-6 tahun) di TK Pertiwi.
2.      Pengumpulan Data
a.       Izin dari kampus
b.      Izin kepada Kepala Sekolah TK Pertiwi dan pengambilan data
c.       Surat persetujuan responden.
d.      Penjelasan dan pengambilan data kepada responden dengan membagikan kuesioner kepada ibu.
e.       Setelah selesai, kuesioner dikumpulkan dan direkap untuk dianalis.

J.      Metode Pengolahan Data
1.      Mengedit (editing)
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2.      Pengkodean (coding)
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode etik ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer.
3.      Skor (scoring)
Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu diberi skor. Pemberian penilaian pada kualitas bounding attachment dan perilaku temper tantrum adalah sebagai berikut:
a.       Kualitas bounding attachment :
1)      Bila pernyataan positif : nilai 1 untuk jawaban “Sangat Tidak Tepat”, nilai 2 untuk jawaban “Agak Tidak Tepat”, nilai 3 untuk jawaban “Agak Sesuai”, dan nilai 4 untuk jawaban“Sangat Sesuai”.
2)      Bila pernyataan negatif : nilai 1 untuk jawaban “Sangat Sesuai”, nilai 2 untuk jawaban “Agak Sesuai”, nilai 3 untuk jawaban “Agak Tidak Tepat”, dan nilai 4 untuk jawaban“Sangat Tidak Tepat”
b.      Perilaku temper tantrum:
1)      Bila pernyataan positif : nilai 1 untuk jawaban “Sering”, nilai 2 untuk jawaban “Jarang”, nilai 3 untuk jawaban “Pernah”, dan nilai 4 untuk jawaban“Tidak Pernah”.
2)      Bila pernyataan negatif : nilai 1 untuk jawaban “Tidak Pernah”, nilai 2 untuk jawaban “Pernah”, nilai 3 untuk jawaban “Jarang”, dannilai 4 untuk jawaban “Sering”.
Jika data berdistribusi normal, kualitas bounding attachment dikategorikan sebagai berikut :
a.       Bila kualitas bounding attachment baik : Skor ≥ (Mean + 1,0 SD)
b.      Bila kualitas bounding attachment sedang : (Mean - 1,0 SD) ≤ skor < (Mean + 1,0 SD)
c.       Bila kualitas bounding attachment kurang : Skor < (Mean - 1,0 SD)
Jika data berdistribusi tidak normal, kualitas bounding attachment dikategorikan sebagai berikut :
a.       Bila kualitas bounding attachment baik : Skor ≥ (Median + 1,0 SD)
b.      Bila kualitas bounding attachment sedang : (Median - 1,0 SD) ≤ skor < ( Median + 1,0 SD)
c.       Bila kualitas bounding attachment kurang : Skor < (Median - 1,0 SD)
Jika data berdistribusi normal, perilaku temper tantrum dikategorikan sebagai berikut :
a.       Bila perilaku temper tantrum tinggi : Skor ≥ (Mean + 1,0 SD)
b.      Bila perilaku temper tantrum sedang : (Mean - 1,0 SD) ≤ skor < (Mean + 1,0 SD)
c.       Bila perilaku temper tantrum rendah : Skor < (Mean - 1,0 SD)
Jika data berdistribusi tidak normal, perilaku temper tantrum dikategorikan sebagai berikut :
a.       Bila perilaku temper tantrum tinggi : Skor ≥ (Median + 1,0 SD)
b.      Bila perilaku temper tantrum sedang : (Median - 1,0 SD) ≤ skor < (Median + 1,0 SD)
c.       Bila perilaku temper tantrum rendah : Skor < (Median - 1,0 SD)
4.      Tabulasi (tabulating)
Tabulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam tabel yang tersedia sehingga sifat data akan tampak.
5.      Memasukkan data (entry)
Proses memasukkan data kedalam software computer untuk dapat diolah sesuai dengan tujuan penelitian.

K.    Analisis Data
Pengolahan data sekunder yang diperoleh meliputi pemasukan data pembersihan data dan analisis data statistic dilakukan secara komputerisasi yaitu dengan menggunakan program SPSS untuk melakukan analisis univariat dan bivariat.
1.      Analisis univariat
Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variable penelitian dan disajikan dalam bentuk table distribusi frekuensi sebagai informasi untuk menggambarkan semua variabel. Analisa univariat dilakukan terhadap setiap variable dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan prosentase dari setiap variabel.
X = X 100 %          
 
Perubahan data kualitatif menjadi persentase dilakukan dengan membagi frekuensi (f) dengan jumlah seluruh observasi (N) dan dikali kan 100%. Secara matematik hal tersebut dapat ditulis dengan rumus berikut :


Keterangan :
X = hasil persentase
f = frekuensi hasil pencapaian
N = jumlah seluruh observasi
2.      Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2010). Analisis bivariat yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara kualitas bounding attachment dengan perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati adalah dengan menggunakan analisis Spearman.
Spearman Rank bekerja dengan data ordinal atau berjenjang atau ranking,dan bebas distribusi. Sumber data untuk kedua variabel yang akan dikonversikan dapat berasal dari sumber yang tidak sama, jenis data yang dikorelasikan adalah data ordinal, serta data dari kedua variabel tidak harus membentuk distribusi normal (Sugiyono, 2010).
Rumus :
Keterangan :
  = koefisien korelasi Spearman Rank
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS dengan dasar pengambilan keputusannya sebagai berikut:
a)      Menerima Ha (menolak Ho), bila diperoleh nilai signifikansi < 0,05. Berarti ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah.
b)      Menolak Ha (menerima Ho), bila diperoleh nilai signifikansi > 0,05. Berarti tidak ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil Penelitian
1.      Analisa Univariat
a.       Kualitas Bounding Attachment
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Kualitas Bounding Attachment di
TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan MargorejoPati
Tahun 2016

Kualitas Bounding Attachment
Interval
Frekuensi
Persentase (%)
Baik
≥ 59,12
7
19,4
Sedang
48,25 – 59,12
24
66,6
Kurang
< 48,25
5
14
Total

36
100

Berdasarkan  tabel 4.1 di atas diketahui bahwaanak usia prasekolah di TK Pertiwi yang memiliki kualitas bounding attachment baik sebanyak 7 anak (19,4%), kualitas bounding attachment sedang sebanyak 24 anak (66,6%), sedangkan kualitas bounding attachment kurang sebanyak 5 anak (14%).





b.      Perilaku Temper Tantrum
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Perilaku Temper Tantrum di
TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan MargorejoPati
Tahun 2016
Perilaku Temper Tantrum
Interval
Frekuensi
Persentase (%)
Tinggi
≥ 47,7
3
8,3
Sedang
35,17 – 47,7
28
77,7
Rendah
< 35,17
5
14
Total

36
100


Berdasarkan  tabel 4.2 di atas diketahui bahwa anak usia prasekolah di TK Pertiwi yang mengalami perilaku temper tantrum tinggi sebanyak 3 anak (8,3%), perilaku temper tantrum sedang sebanyak 28 anak (77,7%), dan perilaku temper tantrum rendah sebanyak 5 anak (14%).
2.      Analisa Bivariat
a.       Hubungan Kualitas Bounding Attachment terhadap Perilaku Temper Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati
Tabel 4.3
Tabulasi Silang Antara Kualitas Bounding Attachment Terhadap Perilaku Temper Tantrum pada Anak Usia Prasekolah di TK Pertiwi
No
Kualitas Bounding Attachment


Perilaku Temper Tantrum
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
signifikansi
F
%
f
%
F
%
F
%
1
2
3

Baik
Sedang
Kurang
0
3
0
0
8,3
0
4
19
5
11
52,7
14
3
2
0
8,3
5,5
0
7
24
5
19,4
66,6
14
0,378
0,023

Total
3
8,3
24
66,6
5
14
36
100




Tabel 4.3 menjelaskan bahwa anak usia prasekolah yang memiliki kualitas bounding attachment baik yang berperilaku temper tantrum tinggi tidak ada (0%), sedangkan yang berperilaku temper tantrum sedang sebanyak 4 anak (11%), danyang berperilaku temper tantrum rendah sebanyak 3 anak (8,3%).  Kualitas bounding attachment sedang yang berperilaku temper tantrum tinggi sebanyak 3 anak (8,3%), sedangkan yang berperilaku temper tantrum sedang sebanyak 19 anak (52,7%), dan yang berperilaku temper tantrum rendah sebanyak 2 anak (5,5%). Kualitas bounding attachment kurang yang berperilaku temper tantrum tinggi tidak ada (0%), sedangkan yang berperilaku temper tantrum sedang sebanyak 5 anak (14%), dan yang berperilaku temper tantrum rendah tidak ada (0%),
Hasil penelitian dengan uji spearman rank didapatkan hasil nilai signifikansi 0,023. Nilai signifikansinya < 0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak, berarti ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati tahun 2016.
B.     Pembahasan
1.      Analisa Univariat
a.       Kualitas Bounding Attachment
Berdasarkan  hasil penelitian di atas diketahui bahwa anak usia prasekolah di TK Pertiwi yang memiliki kualitas bounding attachment baik sebanyak 7 anak (19,4%), kualitas bounding attachment sedang sebanyak 24 anak (66,6%), sedangkan kualitas bounding attachment kurang sebanyak 5 anak (14%).
Kualitas bounding attachment pada anak prasekolah dilihat dari bounding attachment awal saat bayi pada tahap perkenalan dan bounding, dilanjutkan dengan bounding attachment lanjutan pada saat ini karena pada anak usia prasekolah hubungan attachment sesungguhnya telah terbentuk.
Bounding attachment adalah suatu proses sebagai hasil dari suatu interaksi terus-menerus antara bayi dan orang tua yang bersifat saling mencintai serta memberi keduanya pemenuhan emosional dan saling membutuhkan. Bounding attachment dibagi dalam 3 tahapan yaitu perkenalan (acquaintance), bounding, dan attachment.
Menurut Bruce D. Perry (2001), Bonding merupakan hubungan antara seseorang dengan orang yang lain dan melalui bonding terbentuklah attachment. Attachment merupakan tahapan bounding attachment yang lebih lanjut. Pada saat anak telah berusia 2 tahun, hubungan attachment yang sesungguhnya telah terbentuk.
Berk (2003) mendefinisikan attachment sebagai ikatan afektif yang kuat dengan orang spesial dalam hidup, dengan keberadaan orang tersebut didekat anak maka anak akan merasa lebih nyaman saat menghadapi tekanan serta merasa senang saat berinteraksi dengannya.

Attachment memang tidak berkembang secara tiba-tiba tetapi terjadi dalam serangkaian tahapan. Attachment merupakan ikatan yang terpelihara sepanjang waktu, namun demikian banyak ahli yang memberikan perhatian yang lebih besar terhadap konsep tersebut selama masa-masa awal kehidupan seorang anak. Attachment terbentuk melalui bounding, dan attachment merupakan tahapan lebih lanjut dari bounding attachment sehingga attachment terbentuk melalui proses dari bayi usia 0 hari hingga umur 2 tahun dimana saat umur 2 tahun hubungan attachment yang sesungguhnya telah terbentuk.
Berdasarkan darihasil kuesioner dari 36 responden, sebagian besar kualitas bounding attachment anak prasekolah di TK Pertiwi sedang. Diketahui semua ibu dari anak usia prasekolah ini menyatakan bahwa anak mereka dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) saat bayi. Selain itu, rata-rata ibu mereka saat anaknya masih bayi sering memeluk dan menggendong bayinya sambil mengajak berbicara, juga membelai dan mencium serta merasa gembira dan bahagia melihat bayinya dan merasa antusias terhadap segala hal tentang bayinya.Selain itu rata-rata ibu anak prasekolah ini menyusui anaknya hingga usia 2-3 tahun. Dan bahkan ada yang hingga saat ini masih menyusu pada ibunya. Beberapa ibu juga menyatakan bahwa mereka memiliki sebutan tersendiri untuk anaknya misalnya buah hati atau kesayangan, dan sering berbicara dengan anak mereka, serta merasa khawatir, cemas, dan takut saat melihat anak mereka menangis sambil berguling dilantai.
Hal demikian terjadi dikarenakan bounding attachment terbentuk dari bayi hingga umur 2 tahun sehingga kualitas bounding attachment sudah terbentuk saat anak menginjak usia prasekolah.
b.      Perilaku Temper Tantrum
Berdasarkan  hasil penelitian di atas diketahui bahwa anak usia prasekolah di TK Pertiwi yang mengalami perilaku temper tantrum tinggi sebanyak 3 anak (8,3%), perilaku temper tantrum sedang sebanyak 28 anak (77,7%), dan perilaku temper tantrum rendah sebanyak 5 anak (14%).
Menurut Riana Mashar (2011), Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan.
Menurut Shaefer & Millman, (dalam Hildayani, 2007) perilaku temper tantrum yang ditunjukkan seorang anak dapat muncul dalam bentuk yang bermacam-macam, diantaranya adalah perilaku berteriak, memecahkan benda-benda, atau bergulingan di lantai. Beberapa anak bahkan dapat menyakiti diri sendiri (memukul kepalanya) atau mencoba menyakiti siapapun yang datang mendekatinya. Pada titik yang ekstrim seorang anak dapat menunjukkan perilaku temper tantrum dengan menahan napas mereka selama beberapa saat.
Berdasarkan dari hasil penelitian, rata-rata anak prasekolah di TK Pertiwi berperilaku temper tantrum sedang. Ibu mereka menyatakan bahwa sebagian besar anak mereka merengek bila menginginkan sesuatu dan merengek terus-menerus saat keinginannya tidak terpenuhi, anak mereka rata-rata juga pernah menjerit-jerit saat sedang marah dan akan meminta pulang jika ia bosan saat berada di tempat baru, serta memarahi teman yang merebut mainannya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Riana Mashar (2011) bahwa Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan lainnya.
2.      Analisa Bivariat
a.       Hubungan Kualitas Bounding Attachment Terhadap Perilaku Temper Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah di TK Pertiwi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 responden, anak usia prasekolah yang memiliki kualitas bounding attachment baik dan berperilaku temper tantrum tinggi tidak ada (0%), sedangkan yang berperilaku temper tantrum sedang sebanyak 4 anak (11%), dan yang berperilaku temper tantrum rendah sebanyak 3 anak (8,3%). 
Hasil penelitian dengan uji spearman rank didapatkan hasil nilai signifikansi 0,023. Nilai signifikansinya < 0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak, berarti  ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati tahun 2016.
Menurut Riana Mashar (2011), Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan.
Menurut Belsky dkk (1996), perilaku temper tantrum pada anak prasekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kualitas bounding attachment. Jika anak memiliki kualitas bounding attachment yang baik ia akan memiliki kelekatan aman (secure attachment). Kelekatan (attachment) yang dimiliki anak sejak bayi hingga ia telah berusia 2 tahun akan berpengaruh terhadap emosi yang dimiliki anak.
Menurut Papalia, Olds & Feldman (2009) Tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial. Secure attachment berhubungan dengan tingkah laku eksplorasi yang kompleks pada saat anak berusia dua tahun. Anak-anak dengan secure attachment memiliki minat yang kuat dan ketertarikan untuk memecahkan masalah, lebih antusias, tekun, kooperatif, dan efektif dalam pemecahan masalah, memiliki ambang frustasi yang lebih tinggi, kurang sering menangis, serta kurang menunjukkan sikap agresi terhadap Ibu. Emosi mereka juga lebih positif, empati yang lebih besar, dan menggambarkan dirinya dengan cara yang lebih positif. Pada usia prasekolah mereka akan lebih resilien, lebih bisa mengembangkan empati, rasa ingin tahu tinggi, lebih percaya diri dan memiliki citra diri positif.
Kualitas bounding attachment pada anak prasekolah dilihat dari bounding attachment awal saat bayi pada tahap perkenalan dan bounding, dilanjutkan dengan bounding attachment lanjutan pada saat ini karena pada anak usia prasekolah hubungan attachment sesungguhnya telah terbentuk.
Kelekatan aman (secure attachment) sejak bayi kelak akan sangat berpengaruh pada kompetensi emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak usia dewasa. Semakin anak lekat dengan orangtua sejak usia dini, maka akan semakin mudah anak berinteraksi dengan orang lain. Hal itu terjadi karena sejak bayi ia sudah merasa aman (secure). Anak yang memiliki kelekatan dengan orang tua juga tumbuh menjadi pribadi percaya diri, memiliki harga diri, berani, memiliki persahabatan yang erat  yang dimulai sejak anak usia 3-5 tahun dan aktif dalam berkegiatan.
Jika saat bayi memiliki kualitas bounding attachment yang baik atau memiliki secure attachment maka menggambarkan adanya keseimbangan antara keterlibatan bayi dengan ibu. Jika kualitas bounding attachment antara ibu dan bayi kurang maka tingkat keamanan (secure attachment) kurang. Padahal tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial ketika ia menginjak usia dewasa. Kurang terpenuhi hubungan ini dapat menimbulkan masalah bagi bayi salah satunya dalam hal fungsi emosional sehingga akan mempengaruhi tingkat emosinya dikemudian hari saat usianya mulai bertambah dewasa.
Kualitas bounding attachment yang terbentuk berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial anak.Temper tantrum merupakan suatu bentuk letupan emosi anak. Dari hasil penelitian, anak usia prasekolah di TK Pertiwi yang memiliki kualitas bounding attachment yang baik dan menunjukkan perilaku temper tantrum tinggi tidak ada, sedangkan yang menunjukkan perilaku temper tantrum sedang sebanyak 4 anak, dan yang menunjukkan perilaku temper tantrum rendah sebanyak 3 anak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Belsky dkk (1996) bahwa kualitas bounding attachment salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah.Jika anak memiliki kualitas bounding attachment yang baik ia akan memiliki kelekatan aman (secure attachment). Kelekatan (attachment) yang dimiliki anak  sejak bayi hingga ia telah berusia 2 tahun akan berpengaruh terhadap emosi yang dimiliki anak, dalam hal ini adalah temper tantrum. Jika anak memiliki kualitas bounding attachment baik maka perilaku temper tantrumnya rendah. Jika kualitas bounding attachment anak kurang maka perilaku temper tantrumnya tinggi.
Dari hasil penelitian di TK Pertiwi, anak usia prasekolah yang memiliki kualitas bounding attachment kurang dan berperilaku temper tantrum tinggi tidak ada. Hal ini terjadi dimungkinkan karena ibu mengisi kuesioner dengan mengingat-ingat dari anaknya masih bayi hingga saat ini sehingga memungkinkan responden lupa.
C.    Keterbatasan Penelitian
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti mengalami beberapa keterbatasan penelitian yang terdiri dari:
1.      Penelitian ini hanya dilakukan dilingkup TK Pertiwi di Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati sehingga respondennya sedikit yaitu 36 responden.
2.      Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan retrospektif yaitumetodepengambilan data dimana data yang dikumpulkan  berasal dari data yang telah berlalu, jadi ibu mengisi kuesioner dengan mengingat-ingat dari anaknya masih bayi hingga saat ini sehingga memungkinkan respondenlupa dan mengisinya secara asal-asalan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian hubungan kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati tahun 2016, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Kualitas bounding attachment anak usia prasekolah di TK Pertiwi baik sebanyak 7 anak (19,4%), kualitas bounding attachment sedang sebanyak 24 anak (66,6%), sedangkan kualitas bounding attachment kurang sebanyak 5 anak (14%).
  2. Perilaku temper tantrum anak usia prasekolah di TK Pertiwi tinggi sebanyak 3 anak (8,3%), perilaku temper tantrum sedang sebanyak 28 anak (77,7%), dan perilaku temper tantrum rendah sebanyak 5 anak (14%).
  3. Ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati tahun 2016. Hal ini ditunjukkan nilai signifikansi 0,023 < 0,05.



B.     Saran
1.      Bagi Orang Tua
Sebaiknya orang tua tidak menyerah dalam menangani perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah dan dapat mengajarkan anak untuk mengekspresikan kemarahan anak dengan lebih baik tanpa menunjukkan perilaku temper tantrum.
2.      Bagi Peneliti
Perlunya peningkatan lebih lanjut terhadap beberapa kajian baik secara riset maupun teori yang dapat menambah wawasan peneliti untuk dijadikan bekal dalam melayani masyarakat, dan juga bagi diri peneliti sendiri.
3.      Bagi Tenaga Kesehatan
            Perlu perhatian khusus dari tenaga kesehatan untuk mengembangkan program penanganan perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah sehingga perilaku ini dapat segera ditangani.
  1. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dalam penelitian ini literatur yang membahas tentang kualitas bounding attachment dengan perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah kurang, sebaiknya penelitian selanjutnya lebih banyak literature terbaru yang digunakan sehingga informasi yang diperoleh dapat lebih maksimal.
 
DAFTAR PUSTAKA

Ainsworth, M. D .S. 1990. Some considerations regarding theory and assessment relevant to attachments beyond infancy. In M. T. Greenberg, D. Cicchetti, & E. M. Cummings (Eds.), Attachment in the preschool years: Theory, research, and intervention, (pp. 463-489). Chicago, IL: The University of Chicago Press.

American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Maental Disorder. Washington DC : APA Arlington.VA.

Anggraini, Yetti. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Yogyakarta: Pustaka Rihama.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. 

Azwar, Saifuddin. 2010. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC.

Belsky, J., Woodworth, S., & Cmic, K. (1996). Troubled family interaction during toddlerhood. Development and Psychopathology. 8, 477-495.

Berk, Laura E. 2003. Child Development.USA: Allyn and bacon.

Bimo, Walgito. 2001. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset.

Bowlby, J. (1988). A secure base: Parent-child attachment and healthy human development. New York: Basic Books.

Campbell, S.B. (1995). Behavior problems in preschool children: A review of recent research. Journal of Child Psychology and Psychiatry. 36 (1). 113-149.

Carolyne, Meggit. 2013. Memahami Perkembangan Anak. Jakarta: Indeks.

Dariyo, Agoes. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung: Refika Aditama. 

Devito, Crystal Isaacs. 1997. Mother-Child Attachment And Disruptive Behavior In The Preschool Years. Chicago: Illinois Institute of Technology.

Dinantia, Fadila dkk. 2014. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Frekuensi dan Intensitas Perilaku Temper Tantrum pada Anak Toddler (Studi Kasus di Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru). Jurnal Universitas Riau.

Easterbrooks, M. A., Davidson, C. E., & Chazan, R. (1993). Psychosocial risk, attachment, and behavior problems among school-aged children. Development and Psychopathology. £, 389-402.

Hagan, J.S. 2006. Mendidik Anak Memasuki Usia Prasekolah. Jakarta; Prestasi Pustakarya.

Hasan, Maimunah. 2011. Pendidikan Anak Usia Dini. Jogjakarta: Diva Press.

Hidayat, A.A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.

Hildayani, Rini. 2007. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka.

Hurlock, Elizabeth B. 2000.  Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta:  Erlangga.

Jeff and Cindi. (2006)  “Oh Baby, Bond with Me”   http:// www.envisagedesign. com/ohbaby/ index/html (diakses 15 Oktober 2015).

Kirana, Rizkia S. 2013. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Temper Tantrum pada Anak Prasekolah (Studi kasus di Dusun Ngemplak, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang). Skripsi Universitas Negeri Semarang. 

Kuntjojo. 2010. Perkembangan Peserta Didik. Kediri: Universitas Nusantara PFGRI Kediri.

Lemme, B.H. 1995. Development in Adulthhood. USA: Allyn & Baccon.

Mashar, Riana. 2011. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta: Prenadamedia Group.

Notoadmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Padmonodewo.S. 2003. Pendekatan anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Papalia D.E., Olds. S.W., & Feldman R. D. 2009. Human Development (Perkembangan Manusia). Jakarta: Salemba Humanika.

Perry, Bruce D. (2001) Bonding Attachment in Maltreated Children: Consequences of Emotional Neglect in Childhood.   Booklet

Pratisti, Wiwien Dinar. 2008. Psikologi Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks.

Rulie. 2011. Selesaikan tantrum sejak dini. Http://mommies daily.com/2011/04/18/selesaikan-tantrum-sejak-dini-yuk/html.


Santrock. 1997. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Saryono. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.

Sastrianegara, F. dan Saleha. 2009. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan serta Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.

Schroeder & Gordon. 2002. Assesment and Treatment of Childhood Problems: Aclinician’s Guide. USA: The Guilford Press.

Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business. Jakarta: Salemba Empat.

Setyonegoro, K. 2003. Batasan-batasan Lanjut Usia, Karakteristik Penduduk Lanjut Usia di Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Utara: USU.

Shaleh, A. R. 2009. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Soetjiningsih. 2002. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suyanto. 2009. Riset Kebidanan: Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.

Tarmudji, Tarsis. 2001. Hubungan Pola Asuh dengan Agresivitas Remaja. Http://www.Depdiknas.go.id/journal/html. Diakses tanggal 22 September 2015.

Yanti. 2010. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan. Yogyakarta: Pustaka Rihama.

Yusuf, H. Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Zaviera, Ferdinand. 2008. Mengenali dan Memahami Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta: KATAHATI.