Tuesday 22 March 2016

Mutu Pelayanan


a.       Pengertian Mutu
Berbagai batasan mutu produk pelayanan kesehatan dijelaskan oleh banyak pakar, antara lain :
1)      Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati (Winston, 1956).
2)      Mutu adalah sifat yang dimiliki suatu program (Donabedian, 1980).
3)      Mutu adalah totalitas dan wujud serta ciri suatu suatu barang dan jasa, yang didalamnya terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna (Din ISO 8402).
4)      Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby, 1984).
Dari keempat batasan ini, mutu pelayanan kesehatan hanya dapat diketahui apabila sebelumnya telah dilakukan penilaian. Dalam praktek sehari-hari melakukan penilaian ini tidaklah mudah. Penyebab utamanya ialah karena mutu pelayanan kesehatan tersebut bersifat multi-dimensional. Tiap orang tergantung dari latar belakang dan kepentingan masing-masing, dapat saja melakukan penilaian dan dimensi yang berbeda (Prawirohardjo, 2006).
b.      Beberapa definisi mutu pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut.
1)   Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode etik profesi (Azrul Azwar, 1996 dikutip oleh Satrianegara dan Saleha, 2009).
2)      Memenuhi dan melebihi kebutuhan serta harapan pelanggan melalui peningkatan yang berkelanjutan atas seluruh proses. Pelanggan meliputi pasien, keluarga, dan lainnya yang datang untuk mendapatkan pelayanan dokter (Mary R. Zimmerman dikutip oleh Satrianegara dan Saleha, 2009).
Secara umum pengertian mutu pelayanan kesehatan adalah derajat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit atau puskesmas secara wajar, efisien, dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai norma, etika, hukum, dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah, serta masyarakat konsumen(Satrianegara dan Saleha, 2009).
Selain itu, mutu pelayanan kesehatan diartikan berbeda sebagai berikut.
1)        Menurut pasien/ masyarakat adalah empati, menghargai, tanggap, sesuai dengan kebutuhan, dan ramah.
2)        Menurut petugas kesehatan adalah bebas melakukan segala sesuatu secara profesional sesuai dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan peralatan yang memenuhi standar.
3)        Menurut manajer/administrator adalah mendorong manajer untuk mengatur staf dan pasien/masyarakat dengan baik.
4)        Menurut yayasan/pemilik adalah menuntut agar memiliki tenaga profesionalyang bermutu dan cukup (Satrianegara dan Saleha, 2009).
Pelayanan bermutu atau berkualitas sering dikaitkan dengan biaya. Rosemary E. Cross mengatakan bahwa secara umum pemikiran tetang kualitas sering dihubungkan dengan kelayakan, kemewahan, kecantikan, nilai uang, kebebasan dari rasa sakit dan ketidaknyamanan, usia harapan hidup yang yang panjang, rasa hormat,kebaikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Inggris Oxford, kualitas adalah “tingkat keunggulan”. Maxwell (1984) menyebutkan ada enam dimensi kualitas:
1)      Acceptability (dapat diterima)
2)      Equity (kewajaran)
3)      Appropriatenes (kelayakan)
4)      Efficiency (efisien)
5)      Effectiveness (keefektifan)
6)      Accessibility (mudah dicapai)
Keenam dimensi tersebut dapat berlaku secara acak disetiap tahapan asuhan untuk semua penerima/pengguna pelayanan kesehatan yang diuraikan sebagai berikut.
1)      Apakah penyediaan asuhan nyata, secara khusus dan menyeluruh.
2)      Apakah informasi yang ditawarkan dan diberikan serta bagaimana mendapatkannya.
3)      Bagaimana cara menyampaikan informasi melalui sebuah komunikasi.
4)      Bagaimana sikap tenaga kesehatan profesional dan dukungan tenaga lainnya dalam memberi asuhan dan konseling.
5)      Bagaimana lingkungan fisik rumah sakit dan tempat pelayanan kesehatan lainnya saat informasi asuhan diberikan dan diterima (Simantupang, 2008).
Untuk mengatasi adanya perbedaan dimensi tentang masalah mutu pelayanan kesehatan seharusnya pedoman yang dipakai adalah hakikat dasar dari diselenggarakannya pelayanan kesehatan tersebut. Yang dimaksud dengan hakikat dasar tersebut adalah memenuhi kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan yang apabila berhasil dipenuhi akan menimbulkan rasa puas (client satisfaction) terhadap pelayanan kesehatan yang diselenggarakan (Prawirohardjo, 2006).
Jadi yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin sempurna kepuasan tersebut, makin baik pula mutu pelayanan kesehatan. Sekalipun pengertian mutu yang terkait dengan kepuasan ini telah diterima secara luas, namun penerapannya tidaklah semudah yang diperkirakan. Masalah pokok yang ditemukan ialah karena kepuasan tersebut bersifat subjektif. Tiap orang tergantung dari latar belakang yang dimiliki, dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang berbedauntuk satu mutu pelayanankesehatan yang sama. Di damping itu, sering pula ditemukan pelayanan kesehatan yang sekalipun dinilai telah memuaskan pasien, namun ketika ditinjau dari kode etik serta standar pelayanan profesi, kinerjanya tetap tidak terpenuhi (Satrianegara dan Saleha, 2009).
Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988) seperti yang dikutip oleh menganalisis dimensi kualitas jasa berdasarkan 5 aspek komponen mutu. Kelima komponen mutu pelayanan dikenal dengan nama ServQual. Kelima dimensi mutu menurut Parasuraman dkk, meliputi :
1)      Bukti langsung (tangibles)
Mutu jasa pelayanan kesehatan juga dapat dirasakan secara langsung oleh para penggunanya dengan menyediakan fasilitas fisik dan perlengkapan yang memadai. Para penyedia layanan kesehatan akan mampu bekerja secara optimal sesuai dengan keterampilan masing-masing. Dalam hal ini, perlu dimasukkan perbaikan sarana komunikasi dan perlengkapan pelayanan yang tidak langsung seperti tempat parkir dan kenyamanan ruang tungg. Karena sifat produk jasa yang tidak bisa dilihat, dipegang, atau dirasakan, perlu ada ukuran lain yang bisa dirasakan lebih nyata oleh para pengguna pelayanan. Dalam hal ini, pengguna jasa menggunakan indranya (mata, telinga, dan rasa) untuk menilai kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diterima, misal ruang penerima pasien yang bersih, nyaman, dilengkapi dengan kursi, lantai berkeramik, TV, peralatan kantor yang lengkap, seragam staf yang rapi, menarik dan bersih.
2)      Keandalan (reliability)
Kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditawarkan (seperti dalam brosur). Dari kelima dimensi kualitas jasa, reliability dinilai paling penting oleh para pelanggan berbagai industri jasa. Karena sifat produk jasa yang nonstandarized output,  dan produknya juga sangat tergantung dari aktivitas manusia sehingga akan sulit mengharapkan output yang konsisten. Apalagi jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan. Untuk meningkatkan reliability di bidang pelayanan kesehatan, pihak manajemen puncak perlu membangun budaya kerja bermutu yaitu budaya tidak ada kesalahan atau corporate of no mistake yang diterapkan mulai dari pimpinan puncak sampai ke front line staff (yang langsung berhubungan dengan pasien). Budaya kerja seperti ini perlu diterapkan dengan membentuk kelompok kerja yang kompak dan mendapat pelatihan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan teknologi kedokteran dan ekspektasi pasien.
3)      Cepat tanggap (responsiveness)
Dimensi ini dimasukkan ke dalam kemampuan petugas kesehatan menolong pelanggan dan kesiapannya melayani sesuai prosedur dan bisa memenuhi harapan pelanggan. Dimensi ini merupakan penilaian mutu pelayanan yang paling dinamis. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan cenderung meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan kemajuan teknologi dan informasi kesehatan yang dimiliki oleh pelanggan. Nilai waktu bagi pelanggan menjadi semakin mahal karena masyarakat merasa kegiatan ekonominya semakin meningkat. Time is money berlaku untuk menilai mutu pelayanan  kesehatan dari aspek ekonomi para penggunanya. Pelayanan kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan pelanggannya kebanyakan ditentukan oleh sikap para front-line staff. Mereka secara langsung berhubungan dengan para pengguna jasa dan keluarganya, baik melalui tatap muka, komunikasi non-verbal, langsung atau melalui telepon. 
4)      Jaminan (assurance)
Kriteria ini berhubugan dengan pengetahuan, kesopanan, dan sifat petugas yang dapat dipercaya oleh pelanggan. Pemenuhan terhadapa kriteria pelayanan ini akan mengakibatkan pengguna jasa merasa terbebas dari resiko. Berdasarkan riset, dimensi ini meliputi faktor keramahan, kompetensi, kredibilitas dan keamanan. Variabel ini perlu dikembangkan oleh pihak manajemen institusi pelayanan kesehatan dengan melakukan investasi, tidak saja dalam bentuk uang melainkan keteladanan manajemen puncak, perubahan sikap dan kepribadian staf yang positif, dan perbaikan sistem remunerasinya (pembayaran upah).
5)      Empati (empathy)
Kriteria ini terkait dengan rasa kepedulian dan perhatian khusus staf kepada setiap pengguna jasa, memahami kebutuhan mereka dan memberikan kemudahan untuk dihubungi setiap saat jika para pengguna jasa ingin memeroleh bantuannya. Perana SDM kesehatan sangat menentukan mutu pelayanan kesehatan karena mereka dapat langsung memenuhi kepuasan para pengguna jasa pelayanan kesehatan (Muninjaya,2011).
Untuk mengatasi masalah ini, telah disepakati bahwa pembahasan tentang kepuasan pasien yang dikaitkan dengan mutu pelayanan kesehatan, bukanlah pembahasan yang bersifat luas, melainkan mengenal paling tidak dua pembahasan.
1)      Pembatasan pada derajat kepuasan pasien
Untuk menghindari subjektifitas yang dapat mempersulit pelaksanaan Program Menjaga Mutu, ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan kepuasan disini, sekalipun orientasinya tetap individu, tetapi ukuran yang dipakai adalah kepuasan rata-rata penduduk. Dengan perkataan lain, suatu pelayanan kesehatan tersebut memuaskan pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk.
2)      Pembatasan pada upaya yang dilakukan
Untuk melindungi kepentingan pemakai jasa pelayanan kesehatan, yang pada umumnya awam terhadap tindakan kedokteran (patient ignorancy), ditetapkanlah upaya yang dilakukan untuk menimbulkan kepuasan tersebut harus sesuai dengan kode etik serta standar pelayanan kesehatan profesi. Suatu pelayanan kesehatan, sekalipun dapat memuaskan pasien, tetapi apabila diselenggarakan tidak sesuai dengan kode etik serta standar pelayanan profesi, bukanlah pelayanan kesehatan yang bermutu (Prawiroharjo, 2006).
c.       Persepsi mutu pelayanan
Mutu, pelayanan dan kepuasan pelanggan ditentukan oleh persepsi pelanggan.
Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa jasa yang merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan jasa yang ditawarkan oleh organisasi pelayanan kesehatan berdasarkan pengalaman mereka sendiri saat bertransaksi atau mendapatkan pelayanan jasa di perusahaan atau organisasi pelayanan kesehatan tersebut. Persepsi pelanggan terhadap pelayanan kesehatan digambarkan dengan kepuasan atau ketidakpuasan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap pelayanan kesehatan sebagai berikut.
1)      Persepsi
Menurut Philip Koler dan Gary Armstrong (2001) adalah suatu proses menyeleksi, mengorganisasikan, dan mengartikan informasi untuk memperoleh gambaran dunia yang berarti.
2)      Motivasi
Setiap orang pasti mempunyaikebutuhan pada waktu tertentu dan biasanya menjadi salah satu faktor yang mendorong memenuhinya. Sehingga motif adalah kebutuhan yang cukup mendorong seseorang untuk bertindak.
3)      Pengalaman/pembelajaran
Pembelajaran meliputi perubahan perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. Sebagian perilaku manusia adalah hasil dari belajar. Ahli teori pembelajaran yakin bahwa pembelajaran dihasilkan melalui perpaduan kerja antara dorongan, rangsangan, penunjuk, tanggapan, dan penguatan.
4)      Keyakinan dan sikap
Melalui bertindak dan belajar, orang mendapatkan keyakinan dan sikap. Keduanya kemudian mempengaruhi perilaku pembelian mereka.
Keyakinan dalah gambaran pemikiran yang dianut seseorang tentang suatu hal. Keyakinan mungkin berdasarkan pengetahuan, pendapat atau kepercayaan dan juga keyakinan membentuk citra produk dan merek, dan orang akan bertindak berdasarkan citra tersebut.
Sikap adalah evaluasi, perasaan emosional dan kecenderungan tindakan yang menguntungkan dan bertahan lama dari seseorang terhadap suatu obyek atas gagasan (Sari, 2010).
d.      Strategi peningkatan mutu pelayanan
Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan untuk mencapai pelayanan prima melalui peningkatan mutu pelayanan, yaitu sebagai berikut.
1)      Pelanggan dan harapannya
Harapan pelanggan mendorong upaya peningkatan mutu pelayanan. Organisasi pelayanan kesehatan mempunyai banyak pelanggan potensial. Harapan mereka harus diidentifikasi dan diprioritaskan lalu membuat kriteria untuk menilai kesuksesan. 
2)      Perbaikan kinerja
Bila harapan pelanggan telah diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi dan melaksanakan kinerja staf dan dokter untuk mencapai konseling, adanya pengakuan, dan pemberian reward.
3)      Proses berbaikan
Proses perbaikan juga penting. Seringkali kinerja disalahkan karena masalah pelayanan dan ketidakpuasan pelanggan pada saat proses itu sendiri tidak dirancang dengan baik untuk mendukung pelayanan. Dengan melibatkan staf dalam dalam proses pelayanan, maka dapat diidentifikasi masalah proses yang dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan, mendiagnosis penyebab, mengidentifikasi, dan menguji pemecahan atau perbaikan.
4)      Budaya yang mendukung terus menerus
Untuk mencapai pelayanan prima diperlukan organisasi yang tertib. Itulah sebabnya perlu untuk memperkuat budaya organisasi sehingga dapat mendukung peningkatan mutu. Untuk dapat melakukannya, harus sejalan dengan dorongan peningkatan mutu pelayanan terus-menerus (Satrianegara dan Saleha, 2009).

No comments:

Post a Comment