a. Pengertian
Mutu
Berbagai batasan mutu produk pelayanan
kesehatan dijelaskan oleh banyak pakar, antara lain :
1) Mutu
adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati
(Winston, 1956).
2) Mutu
adalah sifat yang dimiliki suatu program (Donabedian, 1980).
3) Mutu
adalah totalitas dan wujud serta ciri suatu suatu barang dan jasa, yang
didalamnya terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan
para pengguna (Din ISO 8402).
4) Mutu
adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby, 1984).
Dari keempat batasan ini, mutu pelayanan
kesehatan hanya dapat diketahui apabila sebelumnya telah dilakukan penilaian.
Dalam praktek sehari-hari melakukan penilaian ini tidaklah mudah. Penyebab
utamanya ialah karena mutu pelayanan kesehatan tersebut bersifat
multi-dimensional. Tiap orang tergantung dari latar belakang dan kepentingan
masing-masing, dapat saja melakukan penilaian dan dimensi yang berbeda
(Prawirohardjo, 2006).
b. Beberapa
definisi mutu pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut.
1) Mutu
pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap
pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata
penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode etik profesi
(Azrul Azwar, 1996 dikutip oleh Satrianegara dan Saleha, 2009).
2) Memenuhi
dan melebihi kebutuhan serta harapan pelanggan melalui peningkatan yang
berkelanjutan atas seluruh proses. Pelanggan meliputi pasien, keluarga, dan
lainnya yang datang untuk mendapatkan pelayanan dokter (Mary R. Zimmerman
dikutip oleh Satrianegara dan Saleha, 2009).
Secara umum pengertian mutu pelayanan
kesehatan adalah derajat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya
yang tersedia di rumah sakit atau puskesmas secara wajar, efisien, dan efektif
serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai norma, etika, hukum, dan
sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah, serta
masyarakat konsumen(Satrianegara dan Saleha, 2009).
Selain itu, mutu pelayanan kesehatan diartikan
berbeda sebagai berikut.
1)
Menurut pasien/ masyarakat adalah
empati, menghargai, tanggap, sesuai dengan kebutuhan, dan ramah.
2)
Menurut petugas kesehatan adalah bebas
melakukan segala sesuatu secara profesional sesuai dengan ilmu pengetahuan,
keterampilan, dan peralatan yang memenuhi standar.
3)
Menurut manajer/administrator adalah
mendorong manajer untuk mengatur staf dan pasien/masyarakat dengan baik.
4)
Menurut yayasan/pemilik adalah menuntut
agar memiliki tenaga profesionalyang bermutu dan cukup (Satrianegara dan
Saleha, 2009).
Pelayanan bermutu atau berkualitas
sering dikaitkan dengan biaya. Rosemary E. Cross mengatakan bahwa secara umum
pemikiran tetang kualitas sering dihubungkan dengan kelayakan, kemewahan,
kecantikan, nilai uang, kebebasan dari rasa sakit dan ketidaknyamanan, usia
harapan hidup yang yang panjang, rasa hormat,kebaikan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Inggris Oxford, kualitas adalah “tingkat keunggulan”. Maxwell (1984)
menyebutkan ada enam dimensi kualitas:
1) Acceptability
(dapat
diterima)
2) Equity
(kewajaran)
3) Appropriatenes
(kelayakan)
4) Efficiency
(efisien)
5) Effectiveness
(keefektifan)
6) Accessibility
(mudah
dicapai)
Keenam dimensi tersebut dapat berlaku
secara acak disetiap tahapan asuhan untuk semua penerima/pengguna pelayanan
kesehatan yang diuraikan sebagai berikut.
1) Apakah
penyediaan asuhan nyata, secara khusus dan menyeluruh.
2) Apakah
informasi yang ditawarkan dan diberikan serta bagaimana mendapatkannya.
3) Bagaimana
cara menyampaikan informasi melalui sebuah komunikasi.
4) Bagaimana
sikap tenaga kesehatan profesional dan dukungan tenaga lainnya dalam memberi
asuhan dan konseling.
5) Bagaimana
lingkungan fisik rumah sakit dan tempat pelayanan kesehatan lainnya saat
informasi asuhan diberikan dan diterima (Simantupang, 2008).
Untuk mengatasi adanya perbedaan dimensi
tentang masalah mutu pelayanan kesehatan seharusnya pedoman yang dipakai adalah
hakikat dasar dari diselenggarakannya pelayanan kesehatan tersebut. Yang
dimaksud dengan hakikat dasar tersebut adalah memenuhi kebutuhan dan tuntutan
para pemakai jasa pelayanan kesehatan yang apabila berhasil dipenuhi akan
menimbulkan rasa puas (client
satisfaction) terhadap pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
(Prawirohardjo, 2006).
Jadi yang dimaksud dengan mutu pelayanan
kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam
menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin sempurna kepuasan
tersebut, makin baik pula mutu pelayanan kesehatan. Sekalipun pengertian mutu
yang terkait dengan kepuasan ini telah diterima secara luas, namun penerapannya
tidaklah semudah yang diperkirakan. Masalah pokok yang ditemukan ialah karena
kepuasan tersebut bersifat subjektif. Tiap orang tergantung dari latar belakang
yang dimiliki, dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang berbedauntuk satu mutu
pelayanankesehatan yang sama. Di damping itu, sering pula ditemukan pelayanan
kesehatan yang sekalipun dinilai telah memuaskan pasien, namun ketika ditinjau
dari kode etik serta standar pelayanan profesi, kinerjanya tetap tidak
terpenuhi (Satrianegara dan Saleha, 2009).
Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Berry
(1988) seperti yang dikutip oleh menganalisis dimensi kualitas jasa berdasarkan
5 aspek komponen mutu. Kelima komponen mutu pelayanan dikenal dengan nama ServQual.
Kelima dimensi mutu menurut Parasuraman dkk, meliputi :
1) Bukti
langsung (tangibles)
Mutu jasa pelayanan kesehatan juga dapat
dirasakan secara langsung oleh para penggunanya dengan menyediakan fasilitas
fisik dan perlengkapan yang memadai. Para penyedia layanan kesehatan akan mampu
bekerja secara optimal sesuai dengan keterampilan masing-masing. Dalam hal ini,
perlu dimasukkan perbaikan sarana komunikasi dan perlengkapan pelayanan yang
tidak langsung seperti tempat parkir dan kenyamanan ruang tungg. Karena sifat
produk jasa yang tidak bisa dilihat, dipegang, atau dirasakan, perlu ada ukuran
lain yang bisa dirasakan lebih nyata oleh para pengguna pelayanan. Dalam hal ini,
pengguna jasa menggunakan indranya (mata, telinga, dan rasa) untuk menilai kualitas
jasa pelayanan kesehatan yang diterima, misal ruang penerima pasien yang
bersih, nyaman, dilengkapi dengan kursi, lantai berkeramik, TV, peralatan
kantor yang lengkap, seragam staf yang rapi, menarik dan bersih.
2) Keandalan
(reliability)
Kemampuan untuk memberikan pelayanan
kesehatan dengan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditawarkan (seperti
dalam brosur). Dari kelima dimensi kualitas jasa, reliability dinilai paling
penting oleh para pelanggan berbagai industri jasa. Karena sifat produk jasa
yang nonstandarized output, dan
produknya juga sangat tergantung dari aktivitas manusia sehingga akan sulit
mengharapkan output yang konsisten. Apalagi jasa diproduksi dan dikonsumsi pada
saat yang bersamaan. Untuk meningkatkan reliability di bidang pelayanan
kesehatan, pihak manajemen puncak perlu membangun budaya kerja bermutu yaitu
budaya tidak ada kesalahan atau corporate of no mistake yang diterapkan
mulai dari pimpinan puncak sampai ke front line staff (yang langsung
berhubungan dengan pasien). Budaya kerja seperti ini perlu diterapkan dengan
membentuk kelompok kerja yang kompak dan mendapat pelatihan secara terus
menerus sesuai dengan perkembangan teknologi kedokteran dan ekspektasi pasien.
3) Cepat
tanggap (responsiveness)
Dimensi ini dimasukkan ke dalam
kemampuan petugas kesehatan menolong pelanggan dan kesiapannya melayani sesuai
prosedur dan bisa memenuhi harapan pelanggan. Dimensi ini merupakan penilaian
mutu pelayanan yang paling dinamis. Harapan pelanggan terhadap kecepatan
pelayanan cenderung meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan kemajuan
teknologi dan informasi kesehatan yang dimiliki oleh pelanggan. Nilai waktu
bagi pelanggan menjadi semakin mahal karena masyarakat merasa kegiatan
ekonominya semakin meningkat. Time is money berlaku untuk menilai mutu
pelayanan kesehatan dari aspek ekonomi
para penggunanya. Pelayanan kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan pelanggannya
kebanyakan ditentukan oleh sikap para front-line staff. Mereka secara
langsung berhubungan dengan para pengguna jasa dan keluarganya, baik melalui
tatap muka, komunikasi non-verbal, langsung atau melalui telepon.
4) Jaminan
(assurance)
Kriteria ini berhubugan dengan
pengetahuan, kesopanan, dan sifat petugas yang dapat dipercaya oleh pelanggan.
Pemenuhan terhadapa kriteria pelayanan ini akan mengakibatkan pengguna jasa
merasa terbebas dari resiko. Berdasarkan riset, dimensi ini meliputi faktor
keramahan, kompetensi, kredibilitas dan keamanan. Variabel ini perlu
dikembangkan oleh pihak manajemen institusi pelayanan kesehatan dengan
melakukan investasi, tidak saja dalam bentuk uang melainkan keteladanan
manajemen puncak, perubahan sikap dan kepribadian staf yang positif, dan
perbaikan sistem remunerasinya (pembayaran upah).
5) Empati
(empathy)
Kriteria ini terkait dengan rasa
kepedulian dan perhatian khusus staf kepada setiap pengguna jasa, memahami
kebutuhan mereka dan memberikan kemudahan untuk dihubungi setiap saat jika para
pengguna jasa ingin memeroleh bantuannya. Perana SDM kesehatan sangat
menentukan mutu pelayanan kesehatan karena mereka dapat langsung memenuhi
kepuasan para pengguna jasa pelayanan kesehatan (Muninjaya,2011).
Untuk mengatasi masalah ini, telah
disepakati bahwa pembahasan tentang kepuasan pasien yang dikaitkan dengan mutu
pelayanan kesehatan, bukanlah pembahasan yang bersifat luas, melainkan mengenal
paling tidak dua pembahasan.
1) Pembatasan
pada derajat kepuasan pasien
Untuk menghindari subjektifitas yang
dapat mempersulit pelaksanaan Program Menjaga Mutu, ditetapkan bahwa yang
dimaksud dengan kepuasan disini, sekalipun orientasinya tetap individu, tetapi
ukuran yang dipakai adalah kepuasan rata-rata penduduk. Dengan perkataan lain,
suatu pelayanan kesehatan tersebut memuaskan pasien sesuai dengan kepuasan
rata-rata penduduk.
2) Pembatasan
pada upaya yang dilakukan
Untuk melindungi kepentingan pemakai
jasa pelayanan kesehatan, yang pada umumnya awam terhadap tindakan kedokteran (patient
ignorancy), ditetapkanlah upaya yang dilakukan untuk menimbulkan kepuasan
tersebut harus sesuai dengan kode etik serta standar pelayanan kesehatan
profesi. Suatu pelayanan kesehatan, sekalipun dapat memuaskan pasien, tetapi
apabila diselenggarakan tidak sesuai dengan kode etik serta standar pelayanan
profesi, bukanlah pelayanan kesehatan yang bermutu (Prawiroharjo, 2006).
c. Persepsi
mutu pelayanan
Mutu, pelayanan dan kepuasan pelanggan
ditentukan oleh persepsi pelanggan.
Persepsi pelanggan terhadap kualitas
jasa jasa yang merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan jasa yang
ditawarkan oleh organisasi pelayanan kesehatan berdasarkan pengalaman mereka
sendiri saat bertransaksi atau mendapatkan pelayanan jasa di perusahaan atau
organisasi pelayanan kesehatan tersebut. Persepsi pelanggan terhadap pelayanan
kesehatan digambarkan dengan kepuasan atau ketidakpuasan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
pelanggan terhadap pelayanan kesehatan sebagai berikut.
1) Persepsi
Menurut Philip Koler dan Gary Armstrong
(2001) adalah suatu proses menyeleksi, mengorganisasikan, dan mengartikan
informasi untuk memperoleh gambaran dunia yang berarti.
2) Motivasi
Setiap orang pasti mempunyaikebutuhan
pada waktu tertentu dan biasanya menjadi salah satu faktor yang mendorong
memenuhinya. Sehingga motif adalah kebutuhan yang cukup mendorong seseorang
untuk bertindak.
3) Pengalaman/pembelajaran
Pembelajaran meliputi perubahan perilaku
seseorang yang timbul dari pengalaman. Sebagian perilaku manusia adalah hasil
dari belajar. Ahli teori pembelajaran yakin bahwa pembelajaran dihasilkan
melalui perpaduan kerja antara dorongan, rangsangan, penunjuk, tanggapan, dan
penguatan.
4) Keyakinan
dan sikap
Melalui bertindak dan belajar, orang
mendapatkan keyakinan dan sikap. Keduanya kemudian mempengaruhi perilaku
pembelian mereka.
Keyakinan dalah gambaran pemikiran yang
dianut seseorang tentang suatu hal. Keyakinan mungkin berdasarkan pengetahuan,
pendapat atau kepercayaan dan juga keyakinan membentuk citra produk dan merek,
dan orang akan bertindak berdasarkan citra tersebut.
Sikap adalah evaluasi, perasaan
emosional dan kecenderungan tindakan yang menguntungkan dan bertahan lama dari
seseorang terhadap suatu obyek atas gagasan (Sari, 2010).
d. Strategi
peningkatan mutu pelayanan
Ada empat hal yang perlu diperhatikan
dalam pendekatan untuk mencapai pelayanan prima melalui peningkatan mutu
pelayanan, yaitu sebagai berikut.
1) Pelanggan
dan harapannya
Harapan pelanggan mendorong upaya
peningkatan mutu pelayanan. Organisasi pelayanan kesehatan mempunyai banyak
pelanggan potensial. Harapan mereka harus diidentifikasi dan diprioritaskan
lalu membuat kriteria untuk menilai kesuksesan.
2) Perbaikan
kinerja
Bila harapan pelanggan telah
diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi dan melaksanakan
kinerja staf dan dokter untuk mencapai konseling, adanya pengakuan, dan
pemberian reward.
3) Proses
berbaikan
Proses perbaikan juga penting.
Seringkali kinerja disalahkan karena masalah pelayanan dan ketidakpuasan
pelanggan pada saat proses itu sendiri tidak dirancang dengan baik untuk
mendukung pelayanan. Dengan melibatkan staf dalam dalam proses pelayanan, maka
dapat diidentifikasi masalah proses yang dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan,
mendiagnosis penyebab, mengidentifikasi, dan menguji pemecahan atau perbaikan.
4) Budaya
yang mendukung terus menerus
Untuk mencapai pelayanan prima
diperlukan organisasi yang tertib. Itulah sebabnya perlu untuk memperkuat
budaya organisasi sehingga dapat mendukung peningkatan mutu. Untuk dapat
melakukannya, harus sejalan dengan dorongan peningkatan mutu pelayanan
terus-menerus (Satrianegara dan Saleha, 2009).
No comments:
Post a Comment