Wednesday 30 December 2015

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motorik Kasar



1.      Perkembangan Motorik Kasar
Menurut Hurlock (2002) perkembangan motorik adalah perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan halus.
Menurut (Soetjiningsih, 2003) perkembangan gerakan motorik kasar yaitu aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh dan biasanya memerlukan tenaga, karena dilakukan oleh otot-otot tubuh yang lebih besar. Menurut Endah (2008) perkembangan motorik kasar adalah perkembangan gerak gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri. Contohnya: menegakkan kepala, tengkurap, merangkak, berjalan, berlari, dsb.
Menurut (Soetjiningsih, 2003) perkembangan gerakan motorik halus yaitu gerakan yng melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dn dilakukan otot-otot kecil, tetapi diperlukan koordinasi yang cermat. Menurut Endah (2008) perkembangan motorik halus adalah perkembangan gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu. Contohnya: memegang benda kecil dengan jari telunjuk dan ibu jari memasukkan benda kedalam botol, menggambar, dll.
Menurut Wong (2009) keterampilan motorik kasar mayor selama masa todler adalah perkembangan lokomosi. Pada usia 12 sampai 13 bulan todler sudah apat berjalan sendiri dengan jarak kedua kaki melebar untuk keseimbangan ekstra dan pada 18 bulan mereka berusaha lari tetapi mudah terjatuh. Antara usia 2 dan 3 tahun, posisi tegak dengan dua kaki menunjukkan peningkatan koordinasi dan keseimbangan. Pada usia 2 tahun todler adpat berjalan menaiki dan menuruni tangga, dan pada usia 2½ tahun mereka dapat melompat, menggunakan kedua kaki, berdiri pada satu kaki selama satu atau dua detik, dan melakukan beberapa langkah dengan berjinjit. Pada akhir tahun kedua mereka dapat berdiri dengan satu kaki, berjalan jinjit dan menaiki tangga dengan berganti-ganti kaki.
a.      Perkembangan motorik kasar
Perkembangan motorik kasar pada tiap tahap perkembangan anak adalah sebagai berikut.
1)     Masa Neonatus (0 - 28 hari)
Perkembangan motorik kasar yang dapat dicapai pada usia ini diawali dengan tanda gerakan seimbang pada tubuh dan mulai mengangkat kepala.
2)     Masa Bayi (28 hari - 1 tahun)
(a)    Usia 1 - 4 Bulan
Perkembangan motorik kasar pada usia ini dimulai dengan kemampuan rnengangkat kepala saat tengkurap, mencoba duduk sebentar dengan ditopang, rnampu duduk dengan kepala tegak, jatuh terduduk di pangkuan ketika disokong pada posisi berdiri, kontrol kepala sempurna, mengangkat kepala sambil berbaring telentang, berguling dan telentang ke miring, posisi lengan dan tungkai kurang fleksi, dan berusaha untuk merangkak.
(b)    Usia 4 - 8 Bulan
Perkembangan motorik kasar awal bulan ini dapat dilihat pada perubahan dalam aktivitas, seperti posisi telungkup pada alas dan sudah mulai mengangkat kepala dengan melakukan gerakan menekan kedua tangannya. Pada bulan ke-4 sudah mampu memalingkan kepala ke kanan dan ke kiri, duduk dengan kepala tegak; membalikkan badan; bangkit dengan kepala tegak; menumpu beban pada kaki dengan lengan berayun ke depan dan ke belakang; berguling dan telentang ke tengkurap; serta duduk dengan bantuan dalam waktu yang singkat.
Usia 8 - 12 Bulan
Perkembangan motorik kasar dapat diawali dengan duduk tanpa pegangan, berdiri dengan pegangan, bangkit lalu berdiri, berdiri 2 detik, dan berdiri sendiri.
3)     Masa Anak (1 - 2 Tahun)
Dalam perkembangan masa anak terjadi perkembangan motorik kasar secara signifikan. Pada rnasa ini anak sudah mampu melangkah dan berjalan dengan tegak. Sekitar usia 18 bulan anak mampu menaiki tangga dengan cara satu tangan dipegang. Pada akhir tahun ke-2 sudah mampu berlari-lari kecil, menendang bola, dan mulai mencoba melompat.
4)     Masa Prasekolah
Perkembangan motorik kasar masa prasekolah ini dapat diawali dengan kemampuan untuk berdiri dengan satu kaki selama 1 - 5 detik, melompat dengan satu kaki, berjalan dengan tumit ke fari kaki, menjelajah, membuat posisi merangkak, dan berjalan dengan bantuan (Wong, 2000).
b.      Prinsip Perkembangan Motorik
Hurlock (2002) menyatakan dari beberapa studi perkembangan motorik yang diamatinya, ada lima prinsip perkembangan motorik yaitu:.
1)     Perkembangan motorik kasar bergantung pada kematangan otot dan syaraf
Perkembangan motorik sangat dipengaruhi oleh organ otak. Otak mengatur setiap gerakan yang dilakukan anak. Semakin matangnya perkembangan sistem syaraf otak yang mengatur otot, semakin baik kemampuan motorik anak. Hal ini juga didukung oleh kekuatan otot anak yang baik.
2)     Perkembangan yang berlangsung terus menerus
Perkembangan motorik berlangsung secara terus menerus sejak pembuahan. Urutan perkembangan cephalocaudal dapat dilihat pada masa awal bayi, pengendalian gerakan lebih banyak di daerah kepala. Saat perkembangan syaraf semakin baik, pengendalian gerakan dikendalikan oleh batang tubuh kemudian di daerah kaki.
Perkembangan secara proximodistal dimulai dari gerakan sendi utama sampai gerakan bagian tubuh terpencil. Misal bayi menggunakan bahu dan siku dalam bergerak sebelum menggunakan pergelangan tangan dan jari tangan.
3)     Perkembangan motorik memiliki pola yang dapat diramalkan
Perkembangan motorik dapat diramalkan ditunjukkan dengan bukti bahwa usia ketika anak mulai berjalan konsisten dengan laju perkembangan keseluruhannya. Misalnya, anak yang duduknya lebih awal akan berjalan lebih awal ketimbang anak yang  duduknya terlambat.
4)     Reflek primitif akan hilang dan digantikan dengan gerakan yang disadari
Reflek primitif ialah gerakan yang tidak disadari, berlangsung secara otomatis dan pada usia tertentu harus sudah hilang karena dapat menghambat gerakan yang disadari.
5)     Urutan perkembangan pada anak sama tetapi kecepatannya berbeda
Tahap perkembangan motorik setiap anak sama. Akan tetapi kondisi bawaan dan lingkungan mempengaruhi kecepatan perkembangannya.

2.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motorik Kasar
a.      Faktor genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuanttas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat senstivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal. Gangguan pertumbuhan di negara maju lebih sering diakibatkan oleh faktor genetik ini. Sedangkan di negara yang sedang bekembang, gangguan permbuhan selain diakibatkan oleh faktor genetik, juga faktor lingkungan yang kurang memadai untuk tumbuh kembang anak yang optimal, bahkan kedua faktor ini dapat menyebabkan kematian anak-anak sebelum mencapai usia balita. Disamping itu, banyak penyakit keturunan yang disebabkan oleh kelainan kromosom, seperti sindrom Down, sindrom Turner, dll.
b.     Faktor Lingkugan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Lingkungan ini merupakan lingkungan “bio-fisiko-psiko-sosial” yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya
1)     Imunisasi
a)      Definisi Imunisasi
Menurut Riyadi dan Sukarmin (2009) imunisasi merupakan reaksi antara antigen dan antibodi, yang dalam bidang Ilmu Imunologi merupakan kuman atau racun (toxin disebut sebagai antigen). Secara khusus antigen merupakan bagian dari protein kuman atau protein racunnya. Bila antigen untuk pertama kalinya masuk ke dalam tubuh manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti terhadap racun kuman yang disebut dengan antibodi.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan  kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit, dengan memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan. Dengan memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan Zat Antibodi yang pada akhirnaya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh (BKKBN, 1998).
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan tubuh (imunitas) pada bayi atau anak, sehingga terhindar dari penyakit (Depkes, 2000). Imunisasi adalah suatu prosedur rutin yang akan menjaga kesehatan anak. Kebanyakan dari imunisasi ini adalah untuk memberi perlindungan menyeluruh terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya dan sering terjadi pada -tahun-tahun awal kehidupan seorang anak (Suririnah, 2007). Imunisasi adalah memberi vaksin ke dalam tubuh berupa bibit penyakit, yang dilemahkan yang menyebabkan tubuh memproduksi antibodi tetapi tidak menimbulkan penyakit, bahkan anak menjadi kebal (Profil Kesehatan Profinsi Jawa Tengah, 2003).
Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang per­lindungan. Imunisasi diberikan pada bayi antara umur 0­-12 bulan, yang terdiri dari imunisasi BCG, DPT (1,2,3), Polio (1,2,3,4), Hepatitis B (0,1,2,3), dan campak (Pedoman penyelengaraan Imunisasi, 2005).
Imunisasi lanjutan adalah imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan diatas ambang perlindungan atau untuk memperpanjang masa per­lindungan. (Pedoman penyelenggaraan Imunisasi, 2005).
b)      Prinsip Dasar Pemberian Imunisasi
Menurut Riyadi dan Sukarmin (2009) prinsip dasar pemberian imunisasi adalah:
(1)    Bila ada antigen (kuman, bakteri, virus, parasit, racun kuman memasuki tubuh maka tubuh akan berusaha menolaknya, tubuh membuat zat anti berupa antibodI atau anti toxin.
(2)    Reaksi tubuh pertama kali terhadap antien berlangsung secara lambat dan lemah, sehingga tak cukup banyak antibody yang terbentuk.
(3)    Pada reaksi atau respon yang kedua, ketiga, dan seterusnya tubuh sudah mulai lebih mengenal jenis antigen tersebut.
(4)    Setelah beberapa waktu, jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang. Untuk mempertahankan agar tetap kebal, perlu diberikan antigen/suntikan/imunisasi ulang.
(5)    Kadar antibodi yang tinggi dalam tubuh menjamin anak akan sulit untuk terserang penyakit.
c)      Tujuan Imunisasi
Menurut Marimbi (2010) tujuan imunisasi adalah:
(1)    Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang.
(2)    Menghilangkan penyakit tertentu pada populasi.
(3)    Untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit.
d)      Manfaat Imunisasi
Menurut Marimbi (2010) manfaat imunisasi adalah:

(1)    Untuk Anak
Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian.
(2)    Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
(3)    Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.
e)      Macam-Macam Imunisasi
Menurut Riyadi dan Sukarmin (2009) terdapat 2 macam imunisasi yaitu imunisasi pasif dan imunisasi aktif.
(1)    Imunisasi pasif
Disini tubuh tidak membuat sendiri zat anti akan tetapi tubuh mendapatkannya dari luar dengan cara menyuntikkan bahan atau serum yang telah mengandung zat anti. Atau anak tersebut mendapatkannya dari ibu saat dalam kandungan.
(2)    Imunisasi aktif
Merupakan imunisasi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan antigen ke dalam tubuh sehingga tubuh anak sendiri yang akan membuat zat antibody yang akan bertahan bertahun-tahun lamanya. Imunisasi aktif ini akan lebih bertahan lama daripada imunisasi pasif.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai pemberian vaksin dalam kaitannya dengan imunisasi aktif (Riyadi dan Sukarmin, 2009):
(a)    Vaksin Polio
Bibit penyakit yang menyebabkan polio adalah virus. Vaksin yang digunakan oleh banyak negara adalah vaksin hidup (yang telah dilemahkan), vaksin ini berbentuk cair, kemasannya sebanyak 1 cc atu 2 cc dalam flakon yang dilengkapi dengan pipet untuk meneteskan vaksin. Permberian secara oral sebanyak 2 tetes langsung dari botol ke mulut bayi dengan tanpa menyentuh mulut bayi. Vaksin polio oral ini mudah dan cepat rusak jika terkena panas apabila dibandingkan dengan vaksin lainnya.
(b)    Vaksin Campak
Bibit penyakit yang menyebabkan campak (meales) adalah virus. Vaksin yang digunakan adalah vaksin hidup yang sudah dilemahkan. Kemasan dalam flakon dalah berbentuk gumpalan-gumpalan yang beku dan kering untuk kemudian dilarutkan dalam 5 cc cairan. Potensi vaksin yang sudah dilarutkan akan cepat menurun, vaksin ini mudah rusak oleh panas.
(c)    Vaksin BCG (Bacillus Calmet Guirnet)
Vaksin BCG melindungi anak terhadap tuberkulosis (TBC), dibuat dari bibit penyakit hidup yang telah dilemahkan. Vaksin ini berasal dari bakteri, bentuknya beku, kering seperti campak, jika telah dilarutkan harus segera digunakan maksimal 3 jam, mudah rusak jika terkena sinar matahari langsung, sehingga kemasannya terbuat dari botol yang berwarna gelap.
(d)    Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus)
Terdiri dari toxoid difteri, bakteri pertusis dan tetanus toxoid, apat disimpan dalam suhu 2-8 derajat celcius. Kemasan yang digunakan adalah 5 cc untuk DPT, 5 cc untuk TT dan 25 cc untuk DT.
(e)    Vaksin Toxoid Difteri
Merupakan bagian dari vaksin DPT atau DT, vaksin dibuat dari toxoid yang merupakan racun yang telah dilemahkan, ini akan rusak jika dibekukan dan juga bisa rusak oleh panas.



f)       Jadwal Imunisasi
Jadwal imunisasi dasar lengkap sesuai Buku Kesehatan Ibu dan Anak dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pati adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap
Umur
Jenis Imunisasi
0-7 hari
Hepatitis B 1
1 bulan
BCG
2 bulan
Hepatitis B 2, DPT 1, Polio 1
3 bulan
Hepatitis B 3, DPT 2, Polio 2
4 bulan
DPT 3, Polio 3
9 bulan
Campak, Polio 4

2)     Status Gizi
a)      Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient. Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diit (Supariasa, 2002).
Status Gizi merupakan ekspresi satu aspek atau lebih dari nutriture seorang individu dalam suatu variabel (Hadi, 2002). Status Gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, merupakan indeks yang statis dan agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat terjadinya perubahan dalam waktu penduduk misalnya bulanan (Anonim, 2007). Sedangkan menurut Ibnu Fajar dkk (2002), status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu.
Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini, bersifat irreversible (tidak dapat pulih). Data tahun 2007 memperlihatkan 4 juta balita Indonesia kekurangan gizi, 700 ribu diantaranya mengalami gizi buruk. Sementara yang mendapat program makanan tambahan hanya 39 ribu anak. Ditinjau dari tinggi badan, sebanyak 25,8 persen anak balita Indonesia pendek (SKRT 2004). Ukuran tubuh yang pendek ini merupakan tanda kurang gizi yang berkepanjangan. Lebih jauh, kekurangan gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak anak. Padahal, otak tumbuh selama masa balita. Fase cepat tumbuh otak berlangsung mulai dari janin usia 30 minggu sampai bayi 18 bulan.
Menurut ahli gizi dari IPB, Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS, standar acuan status gizi balita adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), dan Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Sementara klasifikasinya adalah normal, underweight (kurus), dan gemuk. Untuk acuan yang menggunakan tinggi badan, bila kondisinya kurang baik disebut stunted (pendek). Pedoman yang digunakan adalah standar berdasar tabel WHO-NCHS (National Center for Health Statistics). Status gizi pada balita dapat diketahui dngan cara mencocokkan umur anak (dalam bulan) dengan berat badan standar tabel WHO-NCIdS, bila berat badannya kurang, maka status gizinya kurang.
Di Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), telah disediakan Kartu Menuju Sehat (KMS) yarg juga bisa digunakan untuk memprediksi status gizi anak berdasarkan kurva KMS. Perhatikan dulu umur anak, kemudian plot berat badannya dalam kurva KMS. Bila masih dalam batas garis hijau maka status gizi baik, bila di bawah garis merah, maka status gizi buruk. Bedanya dengan balita, status gizi orang dewasa menggunakan acuan Indeks Massa Tubuh (IMT) atau disebut juga Body Mass Index (BMI). Nilai IMT diperoleh dengan menghitung berat badan (dalam kg) dibagi tinggi badan kuadrat (dalam meter persegi). IMT normal bila angkanya antara 18,5 dan 25; kurus bila kurang dari 18,5; dan gemuk bila lebih dari 25. Sebagai contoh orang bertinggi 1,6 meter, maka berat badan ideal adalah 48-64 kg. Parameter yang umum digunakan untuk menentukan status gizi pada balita adalah berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala. Lingkar kepala sering digunakan sebagai ukuran status gizi untuk menggambarkan perkembangan otak. Sementara parameter status gizi balita yang umum digunakan di Indonesia adalah berat badan menurut umur. Parameter ini dipakai menyeluruh di Posyandu.
b)      Kebutuhan Gizi Balita
Menurut Marimbi (2010) kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan pada umumnya. Secara garis besar, kebutuhan gizi ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan. Antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik. Status gizi balita dapat dipantau dengan menimbang anak setiap bulan dan dicocokkan dengan Kartu Menuju Sehat (KMS).
(1)    Kebutuhan energi bayi dan balita relatif besar dibandingkan dengan orang dewasa, sebab pada usia tersebut pertumbuhannya masih sangat pesat. Kecukupannya akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia.
(2)    Kebutuhan zat pembangun.
(3)    Secara fisiologis, balita sedang dalam masa pertumbuhan sehingga kebutuhannya relatif lebih besar daripada orang dewasa. Namun, jika dibandingkan dengan bayi yang usianya kurang dari satu tahun, kebutuhannya relatif lebih kecil. (lihat daftar tabel II).
(4)    Kebutuhan zat pengatur.
(5)    Kebutuhan air bayi dan balita dalam sehari berfluktuasi seiring dengan bertambahnya usia.
(6)    Beberapa hal yang mendorong terjadinya gangguan gizi. Ada beberapa hal yang sering merupakan penyebab terjadinya gangguan gizi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai penyebab langsung gangguan gizi, khususnya gangguan gizi pada bayi dan anak usia dibawah lima tahun (balita) adalah tidak sesuainya jumlah gizi yang mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka.
c)      Metode Penilaian Status Gizi
Menurut Marimbi (2010) penilaian status gizi dapat dibagi 2 (dua):
(1)    Penilaian status gizi secara langsung      
(a)    Antropometri
(b)    Biokimia
(c)    Biofisik
(2)    Penilaian status gizi secara tidak langsung
(a)    Survei konsumsi makanan
(b)    Statistik vital
(c)    Faktor Ekologi

d)      Penilaian Status Gizi Anak
Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain. Variabel tersebut adalah sebagai berikut : 
(1)    Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderunagn untuk memilih angka yang  mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan (Depkes RI, 2004).


(2)    Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Djumadias Abunain, 1990).
(3)    Tinggi Badan
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U (tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi  badan yang lambat dan biasanya  hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI, 2004).
Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (M.Khumaidi, 1994).
Penggunaan berat badan dan tinggi badan akan lebih jelas dan sensitive/peka dalam menunjukkan  keadaan gizi kurang bila  dibandingkan dengan penggunaan BB/U. Dinyatakan dalam BB/TB, menurut standar WHO bila prevalensi  kurus/wasting < - 2SD diatas 10% menunjukan suatu daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius  dan berhubungan langsung dengan  angka kesakitan.








Tabel 2.3.  Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB  Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS

No
Indeks yang dipakai
Batas Pengelompokan
Sebutan Status Gizi
1.
BB/U
-     <-3 SD
-     -3 s/d <-2 SD
-     -2 s/d +2 SD
-     > +2 SD
-        Gizi buruk
-        Gizi kurang
-        Gizi baik
-        Gizi lebih

2.
TB/U
-     < -3 SD
-     -3 s/d <-2 SD
-     -2 s/d +2 SD
-     >+2 SD
-        Sangat Pendek
-        Pendek
-        Normal
-        Tinggi
3.
BB/TB
-     <- SD
-     -3 s/d <-2 SD
-     -2 s/d +2 SD
-     >+2 Sd
-        Sangat kurus
-        Kurus
-        Normal
-        Gemuk
Sumber: Depkes RI, 2004
Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan dua versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standar deviation score = z). Menurut Waterlow,et,al, gizi anak-anak dinegara-negara yang populasinya relatif baik (well-nourished), sebaiknya digunakan “presentil”, sedangkan di negara untuk anak-anak yang populasinya relatif kurang (under nourished) lebih baik menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan (Supariasa, 2002).


3)     Pola Asuh Orang Tua
a)      Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua dapat diartikan sebagai interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pangasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Tarmudji, 2001).
Pola asuh orang tua adalah upaya orang tua dalam mengasuh, merawat, membesarkan dan mendidik seorang anak yang dapat mempengaruhi kualitas anak baik biologis, psikologis atau sosial . Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya (Setyo-negoro, 2003).
Cara orang tua mengasuh, mendidik serta merawat anak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain faktor budaya, agama, kebiasaan, status ekonomi dan kepercayaan serta kepribadian orang tua. Selain itu faktor pola asuh yang diterapkan pada anak biasanya sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterima orang tua semasa kecil. Fungsi pola asuh dari orang tua adalah menganjurkan anak dan menerima pengekangan yang dibutuhkan dan membantu mengarahkan emosi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial (Setyonegoro, 2003).
Menurut Shaleh (2009) pemberian rasa sayang, rasa aman, atau dilindungi akan selalu ada pada setiap orang tua. Tidak mungkin orang tua akan mencelakai dan membahayakan kehidupan anaknya, kecuali orang tua tersebut adalah orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak menginginkan kehadiran anak akibat dari kehadirannya yang diproses dengan jalan yang tidak sah. Jangankan manusia, harimau pun tidak akan pernah memakan anaknya sendiri. Oleh karena itu, jelaslah bahwa orang tua selalu mempunyai naluri untuk memberi rasa sayang, rasa aman, melindungi, menafkahi, dan membantu sang anak untuk pertumbuhan dn perkembangan secara optimal dan maksimal.
Namun, hal yang menjadi perhatian disini adalah bagaimana melakukan perilaku asah terhadap anak, sebab tidak semua orang tua bisa melakukannya dengan tepat dan sesuai. Oleh karena itu, dibutuhkan orang tua yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, kesabaran, dan ketekunan untuk memberikan perilaku asah tersebut. Tanpa hal itu, semua orang tua tidak akan mengetahui tentang cara memberikan stimulasi dan rangsangan terhadap anak. Mungkin saja, orang tua secara naluri telah melakukan perilaku yang asah tersebut, tetapi hal itu tidak disadari dan tanpa perencanaan, serta ia tidak mengetahui manfaatnya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang stimulasi dini dan manfaatnya menjadi sangat penting agar pemberian perilaku asah terhadap anak bisa berjalan secara maksimal dan optimal.
b)      Tipe- tipe Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind (2002) ada tiga macam jenis pola asuh orang tua yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial remaja antara lain:
(1)    Pola asuh autoritarian atau pola asuh otoriter
Adalah gaya pola asuh orang tua yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan otoriter ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang cakap. Remaja dengan orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter biasanya seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai sesuatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah.


(2)    Pola asuh autoritatif (demokratis)
Dimana pola asuh tersebut mendorong untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung secara dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Pengasuhan dengan sistem demokratis berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten. Remaja dengan pola asuh ini akan mmempunyai kesadaran diri dan tanggung jawab sosial yang cukup tinggi.
(3)    Pola asuh permisif
Pola asuh permisif ini dapat dibedakan menjadi dua macam :
(a)    Pola asuh permisif tidak peduli (Premissive-indiifferent parenting) adalah suatu pola di mana orang tua tidak mau ikut campur dalam kehidupan remaja. Remaja sangat membutuhkan perhatian orang tua mereka, orang tua yang menerapkan pola asuh ini mendapat kesan bahwa aspek lain dari kehidupan orang tua lebih penting daripada anaknya. Remaja dengan pola asuh permisif - tidak peduli biasanya tidak cakap secara sosial, mereka menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik.
(b)    Pola asuh permisif-memanjakan (permissive-indulgent parenting) adalah suatu pola asuh dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permissife-memanjakan berkaitan dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kekurangannya dalam mengendalikan diri.
c)      Pemberian Stimulasi Kepada Anak
Menurut Shaleh (2009) stimulasi dini adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi baru lahir (bahkan sebaiknya sejak janin enam bulan berada di dalam kandungan) dan dilakukan setiap hari untuk merangsang semua sistem indra (pendengaran, penglihatan, peraba, pembau, pengecap). Selain itu, orang tua harus merangsang gerak kasar dan halus pada kaki, tangan, dan jari-jari; mengajak berkomunikasi; serta merangsang perasaan yang menyenangkan pada pikiran bayi dan balita.
Sebaiknya, stimulasi dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan bayi atau balita. Misalnya, ketika memandikan, mengganti popok, menyusui, menyuapi makanan, menggendong, mengajak berjalan-jalan, bermain, menonton televisi, di dalam kendaraan, atau menjelang tidur.
Rangsangan dan stimulasi yang dilakukan dengan suasana bermain dan kasih sayang sejak lahir, secara terus-menerus dan bervariasi, akan merangsang pembentukan cabang-cabang sel-sel otak dan melipatgandakan jumlah hubungan antar sel otak, sehingga membentuk sirkuit otak lebih kompleks dan canggih. Semakin sering, bervariasi, dan berkelanjutanm maka semakin canggih dan kuat sirkuit yang terbentuk, sehingga akan memacu berbagai aspek kecerdasan (kecerdasan majemuk) pda anak, yaitu kecerdasan logika matematis, emosi, komunikasi bahasa, musikal, gerak (kinestetik), visual-spasial, atau seni rupa.
Untuk memberikan stimulasi yang tepat dan optimal, berikut ini beberapa stimulasi yang bisa diberikan pada anak sejak dini hingga berusia 3 atau 4 tahun:
(1)    Stimulasi untuk anak berumur 0-3 bulan adalah dengan cara mengusahakan rasa nyaman, aman, menyenangkan, memeluk, menggendong, menatap mata bayi, mengajak tersenyum, berbicara, membunyikan berbagai suara atau musik secara bergantian, menggantung dan menggerakkan benda berwarna mencolok (lingkaran atau kotak hitam-putih), benda-benda berbunyi, menggulingkan bayi ke kanan dan ke kiri, tengkurap dan terlentang, serta dirangsang untuk meraih dan memegang mainan.
(2)    Stimulasi untuk anak berumur 3-6 bulan ditambah dengan bermain cilukba, melihat wajah bayi dan pengasuh di cermin, dirangsang untuk tengkurap, terlentang bolak-balik, dan duduk.
(3)    Stimulasi untuk anak berumur 6-9 bulan ditambah dengan memanggil namanya, mengajak bersalaman, bertepuk tangan, membacakan dongeng, merangsang duduk, dan dilatih berdiri dengan berpegangan.
(4)    Stimulasi untuk anak berumur 9-12 bulan ditambah dengan mengulang-ulang menyebutkan nama mama-papa, kakak, memasukkan mainan ke dalam wadah, minum dari gelas, menggelindingkan bola, dilatih berdiri, dan berjalan dengan berpegangan.
(5)    Stimulasi untuk anak berumur 12-18 bulan ditambah dengan latihan mencoret-coret menggunakan pensil warna, menyusun kubus, balok-balok, potongan gambar sederhana (puzzle), memasukkan dan mengeluarkan benda-benda kecil dari wadahnya, bermain dengan boneka, sendok, piring, gelas, teko, sapu, dan lap. Latihlah berjalan tanpa berpegangan, berjalan mundur, memanjat tangga, menendang bola, melepas celanam mengerti dan melakukan perintah-perintah sederhana (misalnya, dimana bolanya, peganglah ini, masukkan itu, ambillah itu), menyebutkan nama atau menunjukkan benda-benda.
(6)    Stimulasi untuk anak berumur 18-24 bulan ditambah dengan menanyakan, menyebutkan, dan menunjukkan bagian-bagian tubuh (misalnya, mata, hidung, telinga atau mulut) menanyakan gambar atau menyebutkan nama binatang dan benda-benda disekitar rumah, mengajak bicara tentang kegiatan sehari-hari (misalnya, makan, minum, mandi, main atau meminta), latihan menggambar garis-garis, mencuci tangan, memakai celana dan baju, bermain dan melempar bola, serta melompat.
(7)    Stimulasi untuk anak berumur dua tahun ditambah dengan mengenal dan menyebutkan warna, menggunakan kata sifat (misalnya, besar-kecil, panas-dingin, tinggi-rendah, atau banyak-sedikit), menyebutkan nama-nama teman, menghitung benda-benda, memakai baju, menyikat gigi, bermain kartu, boneka, masak-masakan, menggambar garis, lingkaran, manusia, latihan berdiri di satu kaki, atau membuang air kecil atau besar di toilet.
(8)    Stimulasi untuk anak berumur tiga tahun adalah mengembangkan kemampuan-kemampuan pada umur sebelumnya. Selain itu, stimulasi juga diarahkan untuk kesiapan bersekolah, seperti memegang pensil dengan baik, menulis, mengenal huruf dan angka, berhitung sederhana, mengerti perintah sederhana (misalnya, buang air kecil atau besar di toilet), kemandirian (misalnya, ditinggalkan disekolah), atau berbagi dengan teman. Perangsangan dapat dilakukan secara professional di kelompok bermain atau taman kanak-kanak. Akan tetapi, harus dilanjutkan di rumah oleh pengasuh dan keluarga,
Stimulasi tersebut harus selalu dilakukan setiap ada kesempatan berinteraksi dengan anak, stimulasi dilakukan dengan bervariasi dan disesuaikan dengan umur perkembangan kemampuan anak. Stimulasi ini dilakukan oleh keluarga, terutama ibu atau pengasuh. Stimulasi harus dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Jangan memberikan stimulasi dengan terburu-buru, memaksakan kehendak pengasuhm atau tidak memperhatikan minat atau keinginan anak.
Ibu atau pengasuh juga harus mengetahui kondisi anak. Misalnya, pakah anak sedang mengantuk, bosam, atau ingin bermain yang lain. Jika pengasuh atau ibu tidak mengetahuinya, maka suasana menjadi tidak memungkinkan untuk dilakukannya stimulasi. Apalagi, jika ibu atau pengasuh sedang marah, bosan, atau sebal karena melihat perilaku anak yang sudah tidak merespons lagi dengan permainan yang dilakukan. Selain itu, jika ibu atau pengasuh menampakkan sikap atau mental yang negatif, maka tanpa disadari ibu atau pengasuh tersebut justru memberikan rangsang secara emosional yang negatif kepada anak. Pada prinsipnya, semua ucapan, sikap, perbuatan, serta bahasa tubuh ibu atau pengasuh merupakan stimulasi yang direkam, diingat dan akan ditiru oleh anak.
Oleh karena itu, interaksi antara pengasuh dan anak harus dilakukan dalam suasana pola asuh yang demokratis dan otoritatif. Artinya, pengasuh harus peka terhadap isyarat-isyarat anak, yaitu memperhatikan minat, keinginan, atau pendapat anak, tidak memaksakan kehendak, selalu penuh kasih sayang dan kegembiraan, menciptakan rasa aman dan nyaman, memberi contoh tanpa memaksa, mendorong keberanian untuk mencoba berkreasi, memberikan penghargaan atau pujian atas keberhasilan atau perilaku yang baik, serta memberikan koreksi dan bukan ancaman atau hukuman bila anak tidak dapat melakukan sesuatu atau ketika melakukan kesalahan. Pada intinya, sikap pengasuh atau ibu haruslah mengedepankan kasih sayang dan pengertian yang mendalam, tidak mengedepankan hukuman, bentakan, atau pun sikap kasar dihadapan anak. Hal ini penting diperhatikan sebab pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi taruhannya, baik itu dari segi kejiwaan, fisik, maupun mentalnya.

No comments:

Post a Comment