BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Anak merupakan makhluk yang
membutuhkan perhatian, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, selain itu
anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberikan kesempatan bagi
anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang baik. Anak
usia prasekolah adalah mereka yang berusia 3 – 6 tahun. Mereka biasa mengikuti program
prasekolah dan kindergarten. Perkembangan emosi anak usia prasekolah di mulai
dari anak usia 3 tahun, anak sudah memiliki rasa takut karena anak sudah dapat
mampu untuk berpura-pura, sebagai contoh anak akan merasa takut terhadap gelap
karena imajinasinya berjalan-jalan dan membayangkan hal yang mengerikan.
Memasuki usia 4 tahun, anak sudah dapat mandiri dan bersikap keras kepala.
Memiliki determinasi diri, yaitu mampu untuk membantah dan berdebat serta
menunjukkan sikap agresif (Meggitt, 2013).
Rentang usia 0-6 tahun merupakan
masa emas perkembangan anak, yang apabila pada masa tersebut anak diberi
pendidikan dan pengasuhan yang tepat akan menjadi modal penting bagi
perkembangan anak di kemudian hari. Anak mulai berkenalan dan belajar
menghadapi rasa kecewa saat apa yang dikehendaki tidak dapat terpenuhi. Rasa
kecewa, marah, sedih dan sebagainya merupakan suatu rasa yang wajar dan
natural. Namun seringkali, tanpa disadari orang tua menyumbat emosi yang
dirasakan oleh anak. Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orangtua dengan
berbagai cara berusaha menghibur, mengalihkan perhatian, memarahi demi
menghentikan tangisan anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tak
tersalurkan dengan lepas. Jika hal ini berlangsung terus menerus, akibatnya
timbullah yang disebut dengan tumpukan emosi. Tumpukan emosi inilah yang
nantinya dapat meledak tak terkendali dan muncul sebagai temper tantrum.
Temper
tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak
yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistik atau
penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan
keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul,
menendang, dan berbagai kegiatan. (Riana Mashar, 2011).
Dariyo (2007) mengatakan jika temper tantrum merupakan kondisi yang
normal terjadi pada anak-anak berumur 1-3 tahun, apabila tidak ditangani dengan
tepat dapat bertambah sampai umur 5-6 tahun. Kemampuan untuk mengolah atau
mengatur emosi memegang peranan penting dalam perkembangan kepribadiannya. Perkembangan
aspek social-emosional yang optimal dapat mempengaruhi perkembangan serta
pertumbuhan aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu anak yang mudah mengatur
emosinya maka ia akan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Tantrum yang tidak diatasi dapat
membahayakan fisik anak, selain itu anak tidak akan bisa mengendalikan emosinya
atau anak akan kehilangan kontrol dan akan lebih agresif. Hal ini akan
mengakibatkan anak tidak bisa menghadapi lingkungan luar, tidak bisa
beradaptasi, tidak bisa mengatasi masalah, tidak bisa mengambil keputusan dan
anak tidak akan tumbuh dewasa, karena melewati tantrum akan membuat anak tumbuh
dewasa (Dariyo, 2007).
Perwujudan tantrum pada anak dapat
menimbulkan resiko cedera berupa menjatuhkan badan ke lantai, memukul kepala,
atau melempar barang. Usia anak bertambah serta semakin besar anak, tenaga juga
semakin kuat dan akan semakin sulit bagi orang tua untuk mengendalikan atau
mencegah tingkah lakunya yang tak terkendali. (Rulie, 2011).
Attachment atau kelekatan merupakan
suatu konsep yang berkaitan dengan ikatan (bounding) antara anak dengan figur
attachment. Attachment adalah sebuah ikatan (bonding) afektif yang terus
bertahan, yang ditandai oleh kecenderugan untuk mencari dan memelihara
kedekatan dengan orang tertentu, khususnya ketika seseorang berada dibawah
situasi tertekan/stress (Bowlby, 1988).
Bounding
attachment adalah suatu proses sebagai hasil dari suatu
interaksi terus-menerus antara bayi dan orang tua yang bersifat saling
mencintai serta memberi keduanya pemenuhan emosional dan saling membutuhkan. Kelekatan
aman (secure attachment) sejak bayi kelak akan sangat berpengaruh pada
kompetensi emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak usia dewasa. Semakin
anak lekat dengan orangtua sejak usia dini, maka akan semakin mudah anak
berinteraksi dengan orang lain. Hal itu terjadi karena sejak bayi ia sudah
merasa aman (secure). Anak yang memiliki kelekatan dengan orangtua juga tumbuh
menjadi pribadi percaya diri, memiliki harga diri, berani, memiliki
persahabatan yang erat yang dimulai
sejak anak usia 3-5 tahun dan aktif dalam berkegiatan.
Pada bayi baru lahir menunjukkan
serba tidak berdaya, namun dibalik ketidakberdayaannya tersebut pada dirinya
terdapat berbagai potensi yang siap berkembang. Bayi akan berkembang dengan
baik dan berbagai potensi yang dimiliki berubah menjadi kemampuan nyata bila
mendapatkan stimuli dari lingkungannya, terutama lingkungan sosial. Keluarga
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi bayi. Faktor yang sangat diperlukan
oleh bayi dari lingkungan ini adalah bonding dan attachment. Bonding merupakan
hubungan antara seseorang dengan orang yang lain dan melalui bonding
terbentuklah attachment (Kuntjojo,2010).
Bonding, menurut Jeff dan Cindi,
merupakan kebutuhan esensial bagi bayi. Dengan bonding, bayi belajar
mengembangkan rasa percaya diri keterampilan dalam hubungan social. Bila bayi
dalam perkembangannya kurang merasakan hubungan tersebut, dirinya dapat
mengalami problem psikologis yang serius dikemudian hari. attachment terbentuk
melalui bonding. Bila pengalaman tersebut ternyata tidak atau kurang
terpenuhi dapat menimbulkan masalah bagi bayi yaitu keterlambatan perkembangan
makan, perilaku menenangkan, fungsi emosional, pemodelan yang tidak pantas, dan
agresi (Bruce D. Perry, 2001).
Hubungan bounding attachment antara
bayi dan figur attachment (ibu/pengasuh) akan memberi keamanan, kenyamanan,
ketenangan, dan kesenangan, selain itu hubungan ini merupakan sebuah hubungan
emosional abadi dengan orang tersebut, serta kehilangan atau ancaman hilangnya
orang tersebut akan memberikan kesusahan yang intens (Bruce D. Perry,
2001).
Tingkat keamanan (security) dalam
attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial.
Anak-anak dengan secure attachment memiliki minat yang kuat dan ketertarikan
untuk memecahkan masalah, lebih antusias, tekun, kooperatif, dan efektif dalam
pemecahan masalah, memiliki ambang frustasi yang lebih tinggi, kurang sering
menangis, serta kurang menunjukkan sikap agresi terhadap Ibu. Emosi mereka juga
lebih positif, empati yang lebih besar, dan menggambarkan dirinya dengan cara
yang lebih positif. Pada usia prasekolah mereka akan lebih resilien, lebih bisa
mengembangkan empati, rasa ingin tahu tinggi, lebih percaya diri dan memiliki
citra diri positif (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Dari studi pendahuluan yang
dilakukan di TK Pertiwi, dari 10 ibu yang memiliki anak berusia 3-6 tahun,
diketahui 5 anak diantaranya mengalami tindakan-tindakan seperti
menjerit-jerit, menangis dengan keras, memukul, menendang-nendang, melemparkan
barang, dan berguling-guling di lantai saat sedang marah. Selain itu, 5 anak
yang menunjukkan perilaku ini diketahui orang tuanya jarang bicara dengan
anaknya dan ketika diajak bicara orangtuanya ia hanya menjawab sedikit-sedikit
atau tidak banyak bicara, ia juga jarang bercerita kepada orang tuanya tentang
hal-hal yang dilakukannya, dan ketika dipanggil orang tuanya ia tidak segera
merespon. 4 Ibu dari 5 ibu anak tersebut mengatakan dulu dilakukan inisiasi
menyusu dini (IMD) tapi cuma sebentar sedangkan satu ibu mengatakan tidak
dilakukan IMD. Tindakan ibunya saat anak tersebut bayi meliputi memandang,
berkata dan melakukan sesuatu, 3 ibu mengatakan bingung, takut bahkan marah
saat bayi menangis, ia merasa biasa saja saat melihat bayinya, ibu juga jarang
mengajak bicara bayi bahkan lebih memperhatikan diriya sendiri serta kadang
membiarkan bayinya saat menangis dan juga jarang memeluk dan menggendong
bayinya, 2 ibu mengatakan khawatir saat bayinya menangis, sering mengajak
bicara bayinya serta memeluk dan menggendong bayi saat menenangkan dan
menidurkan bayinya.
Sedangkan 3 anak lainnya lebih
banyak diam saat marah dan setelah reda baru mau ditanya baik-baik oleh ibunya.
Diketahui orang tua mereka sering berbicara dengan mereka dan anak merespon
setiap perkataan dengan baik dan bersemangat, anak juga sering bercerita kepada
orang tuanya tentang hal-hal yang dilakukannya dan ketika dipanggil orang
tuanya mereka segera merespon. Selain itu, ibunya mengatakan dulu dilakukan
Inisiasi menyusu dini (IMD) selama ± 1 jam. Tindakan ibunya saat anak bayi
meliputi memandang, berkata dan melakukan sesuatu, ibunya mengatakan cemas,
khawatir saat bayi menangis, merasa senang, gembira bahagia saat melihat
bayinya, juga sering mengajak bicara bayi dan segera melihat kondisi bayinya
saat menangis serta sering memeluk dan membelai bayinya.
Dan 2 anak lainnya saat marah diberi
penjelasan oleh ibu langsung menurut tidak marah lagi. Diketahui orang tua
mereka sering berbicara dengan mereka dan anak merespon setiap perkataan dengan
baik dan bersemangat, anak juga sering bercerita kepada orang tuanya tentang
hal-hal yang dilakukannya dan ketika dipanggil orang tuanya ia segera datang
menghampiri. Selain itu, ibunya mengatakan dulu dilakukan inisiasi menyusu dini
(IMD) selama > 1 jam. Tindakan ibunya saat anaknya bayi meliputi memandang,
berkata dan melakukan sesuatu, ibunya mengatakan khawatir saat bayi menangis,
merasa senang, gembira bahagia saat melihat bayinya, juga sering mengajak
bicara bayi dan segera melihat kondisi
bayinya dan menggendongnya saat menangis, serta sering mencium dan membelai
bayinya sambil mengajaknya bicara.
Akibat yang ditimbulkan dari
tindakan anak saat marah cukup berbahaya, misalnya anak yang melampiaskan
kekesalannya dengan cara berguling-guling dilantai yang keras dapat menyebabkan
anak menjadi cedera. Anak yang melampiaskan amarahnya dapat menyakiti dirinya
sendiri, menyakiti orang lain atau merusak benda yang ada disekitarnya. Jika
benda-benda yang ada disekitar anak merupakan benda keras maka akan sangat
berbahaya karena anak dapat tersakiti dan mengalami cedera akibat dari
tindakannya.
Saat anak berusia lebih dari 2
tahun, hubungan Attachment yang sesungguhnya telah terbentuk. Attachment
terbentuk melalui bonding. Tingkat keamanan (security) dalam attachment
berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif, dan sosial anak. Kelekatan
aman (secure attachment) sejak bayi akan sangat berpengaruh pada kompetensi
emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak usia dewasa. Jika saat bayi memiliki
kualitas bounding attachment yang
baik atau memiliki secure attachment maka menggambarkan adanya keseimbangan
antara keterlibatan bayi dengan ibu. Jika kualitas bounding attachment antara ibu dan bayi kurang maka tingkat
keamanan (secure attachment) kurang. Bila bayi dalam perkembangannya kurang
merasakan hubungan tersebut, dirinya dapat mengalami problem psikologis yang
serius dikemudian hari, kurang terpenuhi hubungan ini dapat menimbulkan masalah
bagi bayi salah satunya dalam hal fungsi emosional sehingga akan mempengaruhi
tingkat emosinya dikemudian hari saat usianya mulai bertambah dewasa. Sehingga dapat
disimpulkaan bahwa kualitas bounding attachment yang terbentuk berpengaruh
terhadap kompetensi emosional, kognitif dan sosial anak.
Berdasarkan uraian diatas, penulis
tertarik untuk meneliti “Hubungan Kualitas Bounding
Attachment Terhadap Perilaku Temper
Tantrum pada Anak Usia Prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan
Margorejo, Pati.”
B. Rumusan
Masalah
Dari studi pendahuluan yang
dilakukan di TK Pertiwi, dari 10 ibu yang memiliki anak berusia 3-6 tahun,
diketahui 5 anak diantaranya mengalami tindakan-tindakan seperti
menjerit-jerit, menangis dengan keras, memukul, menendang-nendang, melemparkan
barang, dan berguling-guling di lantai saat sedang marah. Selain itu, 5 anak
yang menunjukkan perilaku ini diketahui orang tuanya jarang bicara dengan anaknya
dan ketika diajak bicara orangtuanya ia hanya menjawab sedikit-sedikit atau
tidak banyak bicara, ia juga jarang bercerita kepada orang tuanya tentang
hal-hal yang dilakukannya, dan ketika dipanggil orang tuanya ia tidak segera
merespon. 4 Ibu dari 5 ibu anak tersebut mengatakan dulu dilakukan inisiasi
menyusu dini (IMD) tapi cuma sebentar sedangkan satu ibu mengatakan tidak
dilakukan IMD. Tindakan ibunya saat anak tersebut bayi meliputi memandang,
berkata dan melakukan sesuatu, 3 ibu mengatakan bingung, takut bahkan marah
saat bayi menangis, ia merasa biasa saja saat melihat bayinya, ibu juga jarang
mengajak bicara bayi bahkan lebih memperhatikan diriya sendiri serta kadang
membiarkan bayinya saat menangis dan juga jarang memeluk dan menggendong
bayinya, 2 ibu mengatakan khawatir saat bayinya menangis, sering mengajak
bicara bayinya serta memeluk dan menggendong bayi saat menenangkan dan
menidurkan bayinya.
Sedangkan 3 anak lainnya lebih
banyak diam saat marah dan setelah reda baru mau ditanya baik-baik oleh ibunya.
Diketahui orang tua mereka sering berbicara dengan mereka dan anak merespon
setiap perkataan dengan baik dan bersemangat, anak juga sering bercerita kepada
orang tuanya tentang hal-hal yang dilakukannya dan ketika dipanggil orang
tuanya mereka segera merespon. Selain itu, ibunya mengatakan dulu dilakukan
Inisiasi menyusu dini (IMD) selama ± 1 jam. Tindakan ibunya saat anak bayi
meliputi memandang, berkata dan melakukan sesuatu, ibunya mengatakan cemas,
khawatir saat bayi menangis, merasa senang, gembira bahagia saat melihat
bayinya, juga sering mengajak bicara bayi dan segera melihat kondisi bayinya
saat menangis serta sering memeluk dan membelai bayinya.
Dan 2 anak lainnya saat marah
diberi penjelasan oleh ibu langsung menurut tidak marah lagi. Diketahui orang
tua mereka sering berbicara dengan mereka dan anak merespon setiap perkataan
dengan baik dan bersemangat, anak juga sering bercerita kepada orang tuanya
tentang hal-hal yang dilakukannya dan ketika dipanggil orang tuanya ia segera
datang menghampiri. Selain itu, ibunya mengatakan dulu dilakukan inisiasi
menyusu dini (IMD) selama > 1 jam. Tindakan ibunya saat anaknya bayi
meliputi memandang, berkata dan melakukan sesuatu, ibunya mengatakan khawatir
saat bayi menangis, merasa senang, gembira bahagia saat melihat bayinya, juga
sering mengajak bicara bayi dan segera
melihat kondisi bayinya dan menggendongnya saat menangis, serta sering mencium
dan membelai bayinya sambil mengajaknya bicara.
Akibat yang ditimbulkan dari
tindakan anak saat marah cukup berbahaya, misalnya anak yang melampiaskan
kekesalannya dengan cara berguling-guling dilantai yang keras dapat menyebabkan
anak menjadi cedera. Anak yang melampiaskan amarahnya dapat menyakiti dirinya
sendiri, menyakiti orang lain atau merusak benda yang ada disekitarnya. Jika
benda-benda yang ada disekitar anak merupakan benda keras maka akan sangat
berbahaya karena anak dapat tersakiti dan mengalami cedera akibat dari
tindakannya.
Saat anak berusia lebih dari 2
tahun, hubungan Attachment yang sesungguhnya telah terbentuk. Attachment
terbentuk melalui bonding. Tingkat keamanan (security)
dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif, dan
sosial anak. Kelekatan aman (secure attachment) sejak bayi akan sangat
berpengaruh pada kompetensi emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak
usia dewasa. Jika saat bayi memiliki kualitas bounding attachment yang baik atau memiliki secure attachment maka
menggambarkan adanya keseimbangan antara keterlibatan bayi dengan ibu. Jika
kualitas bounding attachment antara
ibu dan bayi kurang maka tingkat keamanan (secure attachment) kurang. Bila bayi
dalam perkembangannya kurang merasakan hubungan tersebut, dirinya dapat
mengalami problem psikologis yang serius dikemudian hari, kurang terpenuhi
hubungan ini dapat menimbulkan masalah bagi bayi salah satunya dalam hal fungsi
emosional sehingga akan mempengaruhi tingkat emosinya dikemudian hari saat
usianya mulai bertambah dewasa. Sehingga dapat disimpulkaan bahwa kualitas
bounding attachment yang terbentuk berpengaruh terhadap kompetensi emosional,
kognitif dan sosial anak.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Adakah
hubungan antara kualitas bounding
attachment terhadap perilaku temper
tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan
Margorejo, Pati?
C. Tujuan
Penelitian
1. Tujuan
Umum
Untuk
mengetahui hubungan antara kualitas bounding
attachment terhadap perilaku temper
tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan
Margorejo, Pati.
2. Tujuan
Khusus
a. Mengetahui
kualitas bounding attachment pada
anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.
b. Mengetahui
perilaku temper tantrum pada anak
usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.
c. Menganalisis
hubungan kualitas bounding attachment
terhadap perilaku temper tantrum pada
anak usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.
D.
Manfaat Penelitian
1. Bagi
Orang Tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai
temper tantrum
pada
anak
usia prasekolah (3-6 tahun). Supaya kemudian dapat dikaji kembali mengenai penanganan-penanganan yang seharusnya
diberikan
kepada
anak yang mengalami
temper tantrum.
2. Bagi
Peneliti
Dapat
digunakan sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan tentang
perilaku temper tantrum.
3. Bagi
Institusi
Sebagai
masukan dalam bahan bacaan untuk memberikan sumber dan pengembangan ilmu
pengetahuan untuk peneliti selanjutnya sehingga dapat memahami tentang perilaku
temper tantrum.
E.
Keaslian
Penelitian
Penelitian dengan judul “Hubungan
Kualitas Bounding Attachment Terhadap
Perilaku Temper Tantrum Pada Anak
Usia Prasekolah Di TK Pertiwi, Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Kabupaten
Pati” belum pernah diteliti sebelumnya. Beberapa penelitian sejenis yang
sebelumnya dilakukan yaitu:
Tabel 1.1
Keaslian Penelitian
No.
|
Judul dan Peneliti
(Tahun)
|
Variabel
|
Tujuan
|
Metode
|
Hasil
|
1.
|
Hubungan
Pola Asuh Orang Tua dengan Temper
Tantrum pada Anak Pra Sekolah di Dusun Ngemplak, Kecamatan Bawen,
Kabupaten Semarang (Rizkia Sekar Kirana, 2013)
|
Variabel bebas : pola
asuh orang tua
Variabel terikat : temper
tantrum pada anak Prasekolah
|
Mengetahui
hubungan pola asuh orang tua dengan temper tantrum pada anak pra sekolah di
Dusun Ngemplak, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang
|
Pendekatan
crossectional
studi
korelatif
|
Ada hubungan
antara
model
pola asuh tertentu dengan intensitas temper tantrum pada anak pra sekolah di
Dusun Ngemplak
|
2.
|
Hubungan
pola asuh orang tua dengan frekuensi dan intensitas perilaku temper tantrum pada anak toddler di
kelurahan Sidomulyo Barat, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru (Fadila Dinantia
dkk, 2014)
|
Variabel bebas : pola
asuh orang tua
Variabel terikat : frekuensi
dan intensitas perilaku temper tantrum pada anak toddler
|
Mengidentifikasi
hubungan Pola asuh orang tua dengan frekuensi dan intensitas perilaku temper
tantrum pada anak toddler di Kelurahan Sidomulyo Barat, Kecamatan Tampan,
Kota Pekanbaru
|
Pendekatan
crossectional
studi
korelatif
|
Ada hubungan
antara
pola
asuh orang tua dengan frekuensi dan intensitas perilaku temper tantrum pada
anak toddler di Kelurahan Sidomulyo Barat
|
3.
|
Hubungan
kualitas bounding attachment
terhadap perilaku temper tantrum
pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo
Pati (Anysweet, 2016)
|
Variabel
Bebas:
Kualitas
bounding attachment
Variabel
Terikat:
Perilaku
temper tantrum pada anak usia
prasekolah
|
Mengetahui
hubungan kualitas bounding attachment terhadap
perilaku temper tantrum pada anak
usia prasekolah di TK Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Pati.
|
Pendekatan
retrospektif
studi
korelatif
|
Ada
hubungan antara kualitas bounding
attachment terhadap perilaku temper
tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Keacamatan
Margorejo Pati
|
F.
Ruang
Lingkup Penelitian
1. Lingkup
Masalah
Masalah yang diangkat adalah
hubungan kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah (3-6
tahun) di TK Pertiwi.
2. Lingkup
Ilmu
Lingkup
keilmuan penelitian ini termasuk dalam penelitian psikologi anak.
3. Lingkup
Lokasi
Penelitian
ini dilaksanakan di TK Pertiwi di Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten
Pati.
4. Lingkup
Sasaran
Sasaran penelitian ini adalah orang
tua yang memiliki anak usia prasekolah (3-6 tahun) di TK Pertiwi.
G. Lokasi
dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TK
Pertiwi, Desa Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati pada bulan Oktober 2015 sampai Maret 2016.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Landasan
Teori
1.
Konsep
Dasar Bounding Attachment
a. Pengertian
Bounding Attachment
Pengertian bounding attachment menurut beberapa ahli (dalam Bahiyatun, 2008),
antara lain:
1)
Menurut Klause dan Kenell (1983), bounding attachment adalah interaksi orang tua dan bayi secara
nyata, baik fisik, emosi, maupun sensori pada beberapa menit dan jam pertama
segera setelah bayi lahir.
2)
Menurut Nelson (1986), bounding adalah dimulainya interaksi emosi sensorik fisik antara
orang tua dan bayi segera setelah lahir, sedangkan attachment adalah ikatan yang terjalin diantara individu yang
meliputi pencurahan perhatian, yaitu hubungan emosi dan fisik yang akrab.
3)
Menurut Bennet dan Brown (1999), bounding adalah terjadinya hubugan orang tua dan bayi sejak awal
kehidupan, sedangkan attachment
adalah pencurahan kasih sayang di antara individu.
4)
Menurut Brazelton (1999), bounding attachment adalah permulaan saling mengikat antara
orang-orang seperti antara orang tua dan anak pada pertemuan pertama.
5)
Menurut Parmi (2000), bounding attachment adalah suatu usaha untuk memberikan kasih
sayang dan suatu proses yang saling merespons antara orang tua dan bayi lahir.
6)
Menurut Perry (2002), bounding adalah proses pembentukan attachment atau membangun ikatan, sedangkan attachment adalah suatu ikatan khusus yang dikarakteristikkan
dengan kualitas-kualitas yang terbentuk dalam hubungan orang tua dan bayi.
7)
Menurut Subroto (cit Lestari, 2002), bounding attachment adalah sebuah
peningkatan hubungan kasih sayang dengan keterikatan batin antara orang tua dan
bayi.
8)
Menurut Hesty W. (2009), bounding adalah proses pembentukan sedangkan attachment (membangun ikatan). Jadi, bounding attachment adalah sebuah peningkatan hubungan kasih sayang
dengan keterikatan batin antara orangtua dan bayi. Hal ini merupakan proses
dimana sebagai hasil dari suatu interaksi terus-menerus antara bayi dan orang
tua yang bersifat saling mencintai memberikan keduanya pemenuhan emosional dan
saling membutuhkan.
Jadi dapat disimpulkan, bounding
attachment adalah suatu proses sebagai hasil dari suatu interaksi
terus-menerus antara bayi dan orang tua yang bersifat saling mencintai serta
memberi keduanya pemenuhan emosional dan saling membutuhkan.
Sejalan dengan perkembangan pada beberapa bulan pertama kehidupan, bayi dan
ibunya saling mengadakan hubungan dan ikatan batin. Jika seorang ibu konsisten
dalam responnya terhadap kebutuhan bayi dan mampu menafsirkan dengan tepat
isyarat seorang bayi, perkembangan bayi akan terpacu dan terbentuk ikatan batin
yang kokoh. Keberhasilan dalam hubungan dan ikatan batin antara bayi dan ibunya
dapat mempengaruhi hubungan sepanjang masa (Bahiyatun, 2008).
b. Tahap-Tahap
Bounding Attachment
Menurut Depkes (dalam
Yetti, 2010), tahap-tahap bounding
attachment antara lain:
1) Perkenalan
(acquaintance) dengan melakukan
kontak mata, menyentuh, berbicara, dan mengeksplorasi segera setelah mengenal
bayinya.
2) Bounding
(keterikatan)
3) Attachment,
perasaan sayang yang mengikat individu dengan individu lain
c. Elemen-Elemen
Bounding Attachment
Menurut Markum (dalam
Yetti, 2010), elemen-elemen bounding
attachment antara lain:
1) Sentuhan
Sentuhan, atau indera
peraba, dipakai secara ekstensif oleh orang tua dan pengasuh lain sebagai suatu
sarana untuk mengenali bayi baru lahir dengan cara mengeksplorasi tubuh bayi
dengan ujung jarinya. Penelitian telah menemukan suatu pola sentuhan yang hampir
sama yakni pengasuh memulai eksplorasi jari tangan ke bagian kepala dan tungkai
kaki. Tidak lama kemudian pengasuh memakai telapak tangannya untuk mengelus
badan bayi dan akhirnya memeluk dengan tangannya. Gerakan ini dipakai
menenangkan bayi.
2) Kontak mata (Eye to Eye Contact)
Beberapa ibu berkata begitu bayinya
bisa memandang mereka, mereka merasa lebih dekat dengan bayinya. Orang tua dan
bayi akan menggunakan lebih banyak waktu untuk saling
memandang. Seringkali dalam posisi bertatapan.Bayi baru lahir dapat diletakkan lebih dekat untuk
dapat melihat pada orang tuanya. Kesadaran untuk membuat kontak mata dilakukan
kemudian dengan segera. Kontak mata mempunyai efek yang erat terhadap
perkembangan dimulainya hubungan dan rasa percaya sebagai faktor yang penting
dalam hubungan manusia pada umumnya.
3)
Suara (Voice)
Mendengar dan merenspon suara antara
orang tua dan bayinya sangatpenting. Orang tua menunggu tangisan pertama bayi
mereka dengan tegang. Suara tersebut membuat mereka yakin bahwa bayinya dalam
keadaan sehat. Tangis tersebut membuat mereka melakukan tindakan menghibur.
Sewaktu orang tua berbicara dengan nada suara tinggi, bayi akan menjadi tenang
dan berpaling kearah mereka. Respon antara ibu dan bayi berupa suara
masing-masing. Orang tua akan menantikan tangisan pertama bayinya. Dari
tangisan itu, ibu menjadi tenang karena merasa bayinya baik-baik saja (hidup).
Bayi dapat mendengar sejak dalam rahim, jadi tidak mengherankan jika ia dapat
mendengarkan suara-suara dan membedakan nada dan kekuatan sejak lahir, meskipun
suara-suara itu terhalang selama beberapa hari oleh cairan amniotik dari rahim
yang melekat dalam telinga.
4)
Aroma / Odor (Bau Badan)
Setiap anak memiliki aroma yang unik
dan bayi belajar dengan cepat untuk mengenali aroma susu ibunya. Indera penciuman
pada bayi baru lahir sudah berkembang dengan baik dan masih memainkan peran
dalam nalurinya untuk mempertahankan hidup. Indera penciuman bayi akan sangat
kuat, jika seorang ibu dapat memberikan bayinya ASI pada waktu tertentu.
5)
Gaya bahasa (Entrainment)
Bayi mengembangkan irama akibat
kebiasaan. Bayi baru lahir bergerak-gerak sesuai dengan struktur pembicaraan
orang dewasa. Mereka menggoyangkan tangan, mengangkat kepala,
menendang-nendangkan kaki. Entrainment
terjadi pada saat anak mulai bicara. Bayi
baru lahir menemukan perubahan struktur pembicaraan dari orang dewasa. Artinya
perkembangan bayi dalam bahasa dipengaruhi kultur, jauh sebelum ia menggunakan
bahasa dalam berkomunikasi. Dengan demikian terdapat salah satu yang akan lebih
banyak dibawanya dalam memulai berbicara (gaya bahasa). Selain itu juga
mengisyaratkan umpan balik positif bagi orang tua dan membentuk komunikasi yang
efektif.
6) Bioritme (Biorhythmicity)
Salah satu tugas bayi baru lahir
adalah membentuk ritme personal (bioritme).
Orang tua dapat membantu proses ini dengan memberi kasih sayang yang konsisten
dan dengan memanfaatkan waktu saat bayi mengembangkan perilaku yang responsif.
Janin dalam rahim dapat dikatakan menyesuaikan diri dengan irama alamiah ibunya
seperti halnya denyut jantung. Salah satu tugas bayi setelah lahir adalah
menyesuaikan irama dirinya sendiri. Orang tua dapat membantu proses ini dengan
memberikan perawatan penuh kasih sayang secara konsisten dan dengan menggunakan
tanda keadaan bahaya bayi untuk mengembangkan respon bayi dan interaksi sosial
serta kesempatan untuk belajar.
7)
Inisiasi Dini
Setelah bayi lahir, dengan segera
bayi ditempatkan diatas ibu. Ia akan merangkak dan mencari puting susu ibunya.
Dengan demikian, bayi dapat melakukan reflek sucking dengan segera. Menurut
Klaus, Kennel, ada beberapa keuntungan fisiologis yang dapat diperoleh dari
kontak dini :
a)
Kadar oksitosin dan prolaktin meningkat.
b)
Reflek menghisap dilakukan dini.
c)
Pembentukkan kekebalan aktif dimulai.
d)
Mempercepat proses ikatan antara orang tua dan anak body warmth (kehangatan tubuh), waktu
pemberian kasih sayang, stimulasi hormonal.
d. Attachment
1) Pengertian
Attachment
atau kelekatan merupakan satu konsep yang berkaitan dengan ikatan (bonding) antara anak dengan figur
attachment. Attachment adalah sebuah ikatan (bonding)
afektif yang terus bertahan, yang ditandai oleh kecenderungan untuk mencari dan
memelihara kedekatan dengan orang tertentu, khususnya ketika seseorang berada
di bawah situasi menekan/stres (Bowlby, 1988).
Berk (2003)
mendefinisikan attachment sebagai
ikatan afektif yang kuat dengan orang spesial dalam hidup, dengan keberadaan
orang tersebut didekat anak maka anak akan merasa lebih nyaman saat menghadapi
tekanan serta merasa senang saat berinteraksi dengannya. Attachment juga diartikan sebagai hubungan antara dua orang yang
memiliki perasaan kuat satu dengan yang lain dan kedua orang tersebut melakukan
sejumlah aktivitas untuk melanjutkan hubungan.
Dari pengertian diatas,
maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut: pertama attachment merupakan
ikatan emosional (emotional bonding).
Perilaku
attachment yang ditunjukkan untuk
memelihara ikatan tersebut adalah menangis, menyentuh, memanggil, dan
tersenyum. Kedua, attachment merupakan sebuah hubungan yang berlangsung lama.
Jadi, bukan merupakan kesenangan sesaat terhadap kebersamaan dengan orang lain.
Ketiga, attachment ditujukan kepada
orang tertentu. Orang tersebut biasanya adalah orang yang selalu ada ketika
dibutuhkan dan kehilangan orang tersebut menimbulkan kerinduan. Umumnya yang menjadi
figur attachment adalah orangtua, terutama ibu.
Attachment
memang tidak berkembang secara tiba-tiba tetapi terjadi dalam serangkaian
tahapan. Attachment merupakan ikatan
yang terpelihara sepanjang waktu, namun demikian banyak ahli yang memberikan
perhatian yang lebih besar terhadap konsep tersebut selama masa-masa awal
kehidupan seorang anak.
2) Tahapan
attachment
Menurut Bowlby (dalam
Berk, 2003), hubungan antara bayi dan orangtua diawali dengan serangkaian tanda
bawaan yang membuat orangtua beranjak mendekati bayi. Secara khusus,
pembentukan attachment berlangsung
dalam empat tahap, yaitu:
a) Preattachment phase
(lahir hingga 6 minggu).
Pada tahap ini,
berbagai tanda yang dibangun, seperti menangis, tersenyum, dan menatap orang
dewasa, membantu bayi untuk memasuki hubungan yang dekat dengan orang lain.
Sekali orang dewasa berespons, bayi berusaha untuk tetap dekat dengan orang
tersebut karena ia merasa nyaman ketika digendong dan diajak bicara. Di usia
tersebut, bayi mampu mengenal bau dan suara ibunya namun pembentukan attachment
yang sesungguhnya belum terbentuk. Dengan demikian, respons-respons yang
dilakukan bayi pada tahap ini masih belum ditujukan kepada orang tertentu.
b) Attachment-in-the-making
(6 minggu hingga 6 – 8 bulan).
Dalam tahap ini, bayi
secara berangsur-angsur mulai belajar untuk membedakan orang yang ia kenal dan
tidak ia kenal. Bayi mulai berespons secara berbeda terhadap pengasuh dan orang
yang asing baginya, misalnya ia akan berceloteh lebih bebas ketika berinteraksi
dengan ibunya atau menjadi lebih bisa ditenangkan jika digendong oleh ibu. Pada
masa ini, bayi mulai mengembangkan rasa percaya, yaitu harapan bahwa pengasuh
akan berespons terhadap tanda-tanda yang ditampilkan bayi. Sekalipun demikian,
bayi masih belum memprotes jika ibu meninggalkannya. Dapat dikatakan bahwa pada
tahap ini bayi belum benar-benar melekat dengan figur attachment-nya.
c) Clear-cut attachment
(6 – 8 bulan hingga 18 bulan – 2 tahun), attachment
yang spesifik mulai berkembang.
Pada tahap ini, bayi
secara aktif mencari kedekatan dengan orang tertentu atau figur attachment-nya. Bayi juga mulai menunjukkan kecemasan dan
kekecewaan jika ditinggal oleh figur tersebut. Mereka akan memprotes kepergian
orangtuanya dan secara sengaja melakukan sesuatu untuk mempertahankan kehadiran
orangtua.
d) Formationof a reciprocal
relationship (18 bulan – 2 tahun, dst) hubungan
attachment yang sesungguhnya telah terbentuk.
Pada tahap ini, sikap
protes anak pada saat ditinggalkan oleh orangtua menurun dan anak mulai dapat
meramalkan kehadiran orangtuanya. Anak juga mampu memodifikasi tingkah lakunya
sebagai respon terhadap tingkah laku orangtuanya, misalnya, jika menangis saja
tidak cukup untuk membuat orangtua datang menghampirinya, anak akan merangkak
atau berlari menuju ke arah orangtuanya.
3) Klasifikasi
Attachment
Secara umum, ada dua
pola attachment, yaitu secure dan insecure attachment (Ainsworth, 1990).
Tingkah laku mencari kedekatan dan mempertahankan hubungan merupakan ciri dari
adanya secure attachment, sedangkan
tingkah laku menghindar dan menentang menunjukkan adanya insecureattachment. Insecure
attachment sendiri dibagi menjadi dua yaitu avoidant dan ambivalent/ resistant attachment (Papalia, Olds
& Feldman, 2009).
Untuk mengetahui pola attachment bayi usia 1-2 tahun, maka
beberapa ahli melakukan penelitian yang disebut “strange situation”. Orangtua dan bayi ditempatkan di ruangan
bermain yang belum pernah didatangi bayi, kemudian perilaku bayi diobservasi.
Dalam penelitian tersebut dihasilkan beberapa pola attachment, yaitu (Papalia, Olds & Feldman, 2009) :
a) Secure Attachment
Secure
attachment menggambarkan adanya keseimbangan antara
keterlibatan anak dengan Ibu. Bayi dengan secure
attachment akan mencari tahu atau bahkan menangis saat ibunya pergi
meninggalkannya dan bahagia saat Ibu kembali. Attachment yang secure
dengan pengasuh ditandai oleh adanya keyakinan anak akan responsivitas, sensitivitas, dan keberadaan pengasuh, serta
komunikasi yang nyaman dan terbuka (Hildayani, 2007).
Ibu yang lebih
sensitif, menerima, kooperatif, hangat, mudah didatangi, berespons secara cepat
dan konsisten, lebih ekspresif dalam mengungkapkan kasih sayang, dapat
memikirkan hal-hal dari sudut pandang anak, menghargai anak sebagai “orang yang
terpisah dari dirinya”, menghargai kemajuan yang diperoleh anak dalam melakukan
kegiatan, serta menghindari tindakan menginterupsi anak, akan menghasilkan
anak-anak yang mengembangkan secureattachment
dengan Ibu (Coffman, Levitt, & Guacci-Franco dalam Santrock, 1997).
b) Avoidant Attachment
Bayi terlihat tidak
responsif terhadap kehadiran orangtuanya. Saat orangtua pergi bayi tidak
terlihat stress, mereka bereaksi terhadap orang asing sama seperti bereaksi
terhadap orangtuanya. Saat orangtua datang bayi tidak atau pun lambat
mendatangi orangtuanya.Ibu yang lebih memperlihatkan sikap penolakan terhadap
anak, cenderung tegang, lekas marah, kurang percaya diri, bersikap negatif
terhadap sikap keibuannya, tidak sensitif, berespons secara lambat terhadap
tawaran sosial yang diberikan anak, menyediakan kontak fisik yang kurang memuaskan,
dan mengurus anak sedikit mungkin, diperkirakan akan menghasilkan anak-anak
dengan avoidant attachment.
c) Ambivalent/ Resistant Attachment
Bayi cemas dan
terus-menerus menempel orangtuanya serta gagal melakukan eksplorasi, saat
orangtua pergi bayi sangat marah. Ketika orangtua kembali bayi sangat sulit
ditenangkan, bayi ingin terus menempel pada orangtuanya namun ia juga mendorong
atau menggigit orangtuanya.Ibu yang memperlihatkan sikap yang kaku dalam
berinteraksi dengan anak, terlihat mengganggu, dan tidak konsisten dalam
interaksi yang dibuat memungkinkan terbentuknya resistant attachment.
d) Disorganized/ Disoriented
Attachment
Pola ini menunjukkan
insecurity yang sangat hebat. Bayi dengan pola ini tidak memiliki strategi
untuk menghadapi situasi asing. Bayi menunjukkan ekspresi bingung, perilaku
tidak terarah dan repetitive. Saat Ibu kembali bayi terlihat senang namun ia
mendekat dengan datar, ekspresi yang bingung atau bahkan tanpa melihat Ibunya.
Bayi terlihat bingung dan takut. Biasanya pola ini terjadi pada bayi dengan
gangguan autism dan down syndrome
atau pun bayi yang memiliki Ibu yang tidak sensitif, intrusif, melakukan
kekerasan, pernah menderita kehilangan yang amat parah dan tidak terselesaikan,
serta pecandu narkoba.
e. Efek
Jangka Panjang Attachment
Tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi emosional, kognitif dan
sosial. Secure attachment berhubungan
dengan tingkah laku eksplorasi yang kompleks pada saat anak berusia dua tahun.
Anak-anak dengan secure attachment
memiliki minat yang kuat dan ketertarikan untuk memecahkan masalah, lebih
antusias, tekun, kooperatif, dan efektif dalam pemecahan masalah, memiliki
ambang frustasi yang lebih tinggi, kurang sering menangis, serta kurang
menunjukkan sikap agresi terhadap Ibu. Mereka juga memiliki kosakata yang lebih
banyak dan lebih bisa diterimaoleh teman-teman bermainnya (Papalia, Olds &
Feldman, 2009).
Emosi mereka juga lebih
positif, empati yang lebih besar, dan menggambarkan dirinya dengan cara yang
lebih positif. Pada usia pra sekolah mereka akan lebih resilien, lebih bisa
mengembangkan empati, rasa ingin tahu tinggi, lebih percaya diri dan memiliki
citra diri positif (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Setelah remaja,
anak-anak tersebut juga menjadi lebih percaya diri, mandiri, kurang bermasalah,
lebih perhatian dan aktif di dalam kelas, mempertahankan prestasi yang lebih
tinggi, melakukan tugas-tugas dengan baik, memiliki hubungan pertemanan yang
lebih stabil dan lebih baik dalam penyesuaian diri (Papalia, Olds, &
Feldman, 2009).
f. Attachment Parenting
Attachment
parenting merupakan gaya parenting intuitif yang secara aktif
mendukung secure attachment melalui
tingkah laku parenting yang alamiah dan responsif. Orangtua harus percaya
terhadap kemampuannya sebagai orangtua dan mengenal anaknya lebih baik dari
siapapun di dunia. Untuk itu, mereka dipaksa untuk mengambil tanggung jawab
sepenuhnya dalam pengasuhan anak di bulan-bulan pertama kelahiran (Breazeale,
2001 dalam Hildayani, 2007).
Tiga praktik attachment parenting yang penting
dilakukan pada masa bayi adalah breastfeeding,
cosleeping, dan “babywearing”. Ketiga kegiatan ini melibatkan sentuhan (touch) yang kritikal untuk bonding, yang mengarah pada pembentukan secure attachment. Breatfeeding merupakan cara nyata untuk mendukung sentuhan antara
ibu dan bayi. Kontak antara kulit dengan kulit pada saat breastfeeding diyakini meningkatkan secure attachment. Breastfeeding
juga merupakan cara yang lebih cepat dalam berespons terhadap kebutuhan bayi
untuk minum daripada penggunaan botol susu. Cosleeping
atau menemani anak tidurjuga meningkatkan kesempatan untuk melakukan kontak
dari kulit ke kulit selama malam hari (Hildayani, 2007). Kegiatan ini bahkan
tidak hanya dapat dilakukan dengan ibu, tetapi juga dengan ayah. Akhirnya, satu
lagi kegiatan yang dapat membentuk bonding antara pengasuh dan bayi adalah “babywearing”. Babywearing merupakan
kegiatan menggendong bayi dengan kain gendongan.
g. Keutamaan
Bounding Attachment
Keutamaan jalinan kelekatan ini ketika anak dewasa adalah Kelekatan
aman (secure attachment) sejak bayi kelak akan sangat
berpengaruh pada kompetensi emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak usia dewasa. Semakin anak lekat dengan orangtua sejak usia
dini, maka akan semakin mudah anak berinteraksi dengan orang lain. Hal itu
terjadi karena sejak bayi ia sudah merasa aman (secure). Anak
yang memiliki kelekatan dengan orang tua juga tumbuh menjadi pribadi percaya
diri, memiliki harga diri, berani, memiliki persahabatan yang erat yang
dimulai sejak anak usia 3-5 tahun dan aktif dalam berkegiatan.
h. Skor Penilaian Bounding
Attachment
Tabel 2.1
Penilaian Bounding Attachment
GRAY SCORE : Skor Bonding
|
||||||||||||
Skor Bonding
|
Bagaimana tindakan Ibu terhadap Bayinya
|
|||||||||||
Memandang
|
Berkata
|
Melakukan Sesuatu
|
||||||||||
1. Sangat (-) tidak tepat
2. Agak (-) tidak tepat
3. Agak (+) sesuai
4. Sangat(+) sesuai
|
Penampilan
umum depresi, ketakutan, marah-marah,
apatis
Sangat
gembira bahagia,antusias
|
Membuat
suatu sebutan bagi bayi & suami,menunjukkan permusuhan rasa kecewa
terhadap bayi
Bicarakan
langsung pada bayi, menggunakan nama bayi menunjukan reaksi (+)
|
Memfokuskan
perhatian pada dirinya, menolak untuk melihat bayi menangis
Mengeluarkan
tangan ingin memegang, memeriksa kontak mata
|
Buku ajar asuhan kebidanan
persalinan (Yanti,
2010)
2.
Perilaku
Temper Tantrum
a. Pengertian
Temper Tantrum
Temper
tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering
terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistik
atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis
dengan keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang,
memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan. (Riana Mashar, 2011).
Umumnya anak kecil
lebih emosional daripada orang dewasa karena pada usia ini anak masih relatif
muda dan belum dapat mengendalikan emosinya. Pada usia 2-4 tahun, karakteristik
emosi anak muncul pada ledakan marahnya atau temper tantrum. Sikap yang ditunjukkan untuk menampilkan rasa tidak
senangnya, anak melakukan tindakan yang berlebihan, misalnya menangis,
menjerit-jerit, melemparkan benda, berguling-guling, memukul ibunya atau
aktivitas besar lainnya (Hurlock, 2000).
Tantrum
lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap sulit dengan ciri-ciri
memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar yang tidak teratur, sulit
menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru, lambat beradaptasi terhadap
perubahan, suasana hati lebih sering negatif, mudah terprovokasi, gampang
merasa marah dan sulit dialihkan perhatiannya (Zaviera, 2008).
La Forge (dalam
Zaviera, 2008) menilai bahwa tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong
normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam
perkembangan fisik, kognitif, dan emosi. Sebagai periode dari perkembangan,
tantrum pasti akan berakhir.
Dariyo (2007)
mengatakan jika temper tantrum
merupakan kondisi yang normal terjadi pada anak-anak berumur 1-3 tahun, apabila
tidak ditangani dengan tepat dapat bertambah sampai umur 5-6 tahun. Kemampuan
untuk mengolah atau mengatur emosi memegang peranan penting dalam perkembangan
kepribadiannya. Oleh karena itu anak yang mudah mengatur emosinya maka ia akan
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Berdasarkan teori-teori
di atas disimpulkan bahwa temper tantrum merupakan
luapan emosi yang meledak-ledak akibat suasana yang tidak menyenangkan yang
dirasakan oleh anak. Ledakan emosi tersebut dapat berupa menangis,
menjerit-jerit, melemparkan benda, berguling-guling, memukul ibunya atau
aktivitas lainnya.
Tantrum yang tidak
diatasi dapat membahayakan fisik anak, selain itu anak tidak akan bisa
mengendalikan emosinya atau anak akan kehilangan kontrol dan akan lebih
agresif. Hal ini akan mengakibatkan anak tidak bisa menghadapi lingkungan luar,
tidak bisa beradaptasi, tidak bisa mengatasi masalah, tidak bisa mengambil
keputusan dan anak tidak akan tumbuh dewasa, karena melewati tantrum akan
membuat anak tumbuh dewasa (Dariyo, 2007).
Akibat yang ditimbulkan
dari temper tantrum ini cukup
berbahaya, misalnya anak yang melampiaskan kekesalannya dengan cara
berguling-guling dilantai yang keras dapat menyebabkan anak menjadi cedera.
Anak yang melampiaskan amarahnya dapat menyakiti dirinya sendiri, menyakiti
orang lain atau merusak benda yang ada disekitarnya. Jika benda-benda yang ada
disekitar anak merupakan benda keras maka akan sangat berbahaya karena anak
dapat tersakiti dan mengalami cedera akibat dari tindakan tantrumnya. Anak yang
mengalami tantrum ini sebenarnya digunakan untuk mencari perhatian sehingga
orangtua sebisa mungkin untuk menjauhkan anak dari perhatian umum ketika
mengalami tantrum dan sekaligus menjauhkan anak dari benda-benda yang berbahaya
agar anak tidak mengalami cedera.
b. Jenis
Temper Tantrum
Menurut Kidsource.com
(dalam Hildayani, 2007) ada 3 jenis tantrum yaitu:
1) Manipulative tantrum
Manipulative
tantrum terjadi ketika seseorang anak tidak memperoleh apa
yang diinginkan. Perilaku ini akan berhenti saat keinginan anak dituruti.
2) Verbal Frustration Tantrum
Tantrum jenis ini
terjadi ketika anak tahu apa yang ia inginkan tetapi tidak tahu bagaimana cara
menyampaikan keinginannya denagan jelas. Pada kejadian ini anak akan mengalami
frustasi. Tantrum jenis ini akan menghilang sejalan dengan peningkatan
kemampuan komunikasi anak, dimana anak semakin mampu untuk menjelaskan
kesulitan yang dialaminya.
3) Temperamental Tantrum
Temperamental
tantrum terjadi ketika tingkat frustasi anak mencapai tahap
yang sangat tinggi, dan anak menjadi sangat tidak terkontrol, sangat emosional.
Anak akan merasa sangat lelah dan sangat kecewa. Pada tantrum jenis ini anak
sulit untuk berkonsentrasi dan mendapatkan kontrol terhadap dirinya sendiri.
Anak tampak bingung dan mengalami disorientasi. Walaupun mereka tidak meminta
tolong, tetapi sesungguhnya mereka sangat membutuhkannya.
Menurut Shaefer &
Millman, (dalam Hildayani, 2007) perilaku temper
tantrum yang ditunjukkan seorang anak dapat muncul dalam bentuk yang
bermacam-macam, diantaranya adalah perilaku berteriak, memecahkan benda-benda,
atau bergulingan di lantai. Beberapa anak bahkan dapat menyakiti diri sendiri
(memukul kepalanya) atau mencoba menyakiti siapapun yang datang mendekatinya.
Pada titik yang ekstrim seorang anak dapat menunjukkan perilaku temper tantrum
dengan menahan napas mereka selama beberapa saat.
Anak yang menunjukkan temper tantrum berarti sedang
memperlihatkan kemarahannya. Hal ini dilakukan Karena mereka tidak dapat
menunjukkan atau menjelaskan perasaan dan keinginannya melalui kata-kata hingga
akhirnya mereka menjadi frustasi dan marah. Sesungguhnya ada banyak hal yang
dapat memicu kemarahan seorang anak diantaranya frustasi, lelah, dan penolakan.
Menurut Lansdown &
Walker (dalam Hildayani, 2007) karakteristik anak yang menunjukkan temper tantrum adalah sebagai berikut:
1) Anak
sering berada dalam kelelahan, tekanan, dan kecemasan yang tinggi.
2) Anak
yang memiliki temperamen sulit, sering stress.
3) Anak
yang memiliki orang tua sangat sensitive, dimana orang tua mereka sendiri
cenderung sering menunjukkan temper tantrum. Yang penting diingat ialah contoh
yang ditunjukkan orang tua sangat besar pengaruhnya pada anak.
Berdasarkan kelompok usia, tantrum dibedakan menjadi
(Zaviera, 2008):
1) Dibawah
3 tahun, anak dengan usia di bawah 3 tahun ini bentuk tantrumnya adalah
menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, memekik-mekik, melengkungkan
punggung, melempar badan ke lantai, memukul-mukulkan tangan, menahan napas,
membentur-benturkan kepala dan melempar-lempar barang (Zaviera, 2008).
2) Usia
3-4 tahun, anak dengan rentang usia antara 3 tahun sampai dengan 4 tahun bentuk
tantrumnya meliputi perilaku pada anak usia di bawah 3 tahun ditambah dengan
menghentak-hentakkan kaki, berteriak-teriak, meninju, membanting pintu,
mengkritik dan merengek (Zaviera, 2008).
3) Usia
5 tahun ke atas, bentuk tantrum pada anak usia 5 tahun ke atas semakin meluas
yang meliputi perilaku pertama dan kedua ditambah dengan memaki, menyumpah,
memukul, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang dengan sengaja dan
mengancam (Zaviera, 2008).
Menurut Purnamasari (2005) menyebutkan bahwa setiap
anak yang setidaknya telah berusia 18 bulan hingga tiga tahun dan bahkan lebih
akan menentang perintah dan menunjukkan individualitasnya sekali waktu. Hal ini
merupakan bagian normal balita karena mereka terus menerus mengeksplorasi dan
mempelajari batasan-batasan disekelilingnya. Anak akan menunjukkan berbagai
macam tingkah laku, seperti keras kepala dan membangkang karena sedang
mengembangkan kepribadian dan otonominya.
Tantrum juga merupakan cara normal untuk
mengeluarkan semua perasaan yang menumpuk. Seorang anak pada usia ini akan
menunjukkan beberapa atau semua tingkah laku sebagai berikut:
1) Penolakan
atas kontrol dalam bentuk apapun
2) Keinginan
untuk mandiri, lebih banyak menuntut dan menunjukkan tingkah laku yang
membangkang.
3) Berganti-ganti
antara kemandirian dan bertingkah manja.
4) Ingin
mendapatkan kendali dan ingin mengendalikan
5) Pada
umumnya menunjukkan tantrum.
c. Penyebab
Temper Tantrum
Menurut Zaviera (2008)
terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum,
diantaranya adalah:
1) Terhalangnya
keinginan anak mendapatkan sesuatu
Anak jika menginginkan
sesuatu harus selalu terpenuhi, apabila tidak tidak berhasil terpenuhinya
keinginan tersebut maka anak sangat dimungkinkan untuk memakai cara tantrum
guna menekan orangtua agar mendapatkan apa yang ia inginkan
2) Ketidakmampuan
anak mengungkapkan diri
Anak-anak mempunyai
keterbatasan bahasa, pada saatnya dirinya ingin mengungkapkan sesuatu tapi
tidak bisa, dan orangtua pun tidak dapat memahami maka hal ini dapat memicu
anak menjadi frustasi dan terungkap dalam bentuk tantrum.
3) Tidak
terpenuhinya kebutuhan
Anak yang aktif
membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa
diam dalam waktu yang lama. Apabila suatu saat anak tersebut harus menempuh
perjalanan panjang dengan mobil, maka anak tersebut akan merasa stress. Salah
satu contoh pelepasan stresnya adalah tantrum.
4) Pola
asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh
anak juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan
selalu mendapat apa yang ia inginkan,
bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Anak yang terlalu
dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa tantrum ketika
suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dan didominasi oleh
orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua
dengan perilaku tantrum. Orangtua yang mengasuh anak secara tidak konsisten
juga bisa menyebabkan anak tantrum.
Pola asuh orangtua
dalam hal ini sebenarnya lebih pada bagaimana orangtua dapat memberikan contoh
atau teladan kepada anak dalam setiap bertingkah laku karena anak akan selalu
meniru setiap tingkah laku orangtua. Jika anak melihat orangtua meluapkan
kemarahan atau meneriakkan rasa frustasi karena hal kecil, maka anak akan
kesulitan untuk mengendalikan diri. Seorang anak perlu melihat bahwa orang
dewasa dapat mengatasi frustasi dan kekecewaan tanpa harus lepas kendali,
dengan demikian anak dapat belajar untuk mengendalikan diri. Orangtua jangan
menghadapkan anak dapat menunjukkan sikap yang tenang jika selalu memberikan
contoh yang buruk.
5) Anak
merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit
Kondisi sakit, lelah
serta lapar dapat menyebabkan anak menjadi rewel. Anak yang tidak pandai
mengungkapkan apa yang dirasakan maka kecenderungan yang timbul adalah rewel,
menangis serta bertindak agresif.
6) Anak
sedang stress dan merasa tidak aman
Anak yang merasa
terancam, tidak nyaman dan stress apalagi bila tidak dapat memecahkan
permasalahannya sendiri ditambah lagi lingkungan sekitar yang tidak mendukung
menjadi pemicu anak menjadi temper tantrum.
Pemicu tantrum menurut Purnamasari (2005)
menyebutkan antara lain sebagai berikut:
1) Mencari
perhatian
Walaupun tantrum jarang
dilakukan hanya untuk memanipulasi orangtua, jika hasil dari tantrum adalah
perhatian penuh orang dewasa, hal ini memberi alasan untuk mulai menunjukkan
tantrum.
2) Meminta
sesuatu yang tidak bisa ia miliki
Anak memaksa ingin
sarapan es krim atau meminta ibunya memeluknya saat menyiapkan makanan.
3) Ingin
menunjukkan kemandirian
Anak ingin mengenakan
pakaian yang kurang sesuai dengan cuaca hari itu, seperti kaus di hari-hari
yang dingin, atau tidak mau makan makanan yang sudah disiapkan.
4) Frustasi
dengan kemampuan yang terbatas untuk melakukan aktivitas yang ia coba, anak
ingin menunjukkan kemampuannya melakukan beberapa hal sendiri, seperti
berpakaian, atau menemukan potongan puzzle, tetapi tidak bisa berhasil
menyelesaikannya.
5) Cemburu
Biasanya ditunjukkan
kepada kakak, adik atau yang lain. Ia menginginkan mainan atau buku mereka.
6) Menantang
otoritas
Anak tiba-tiba tidak
ingin melakukan rutinitas seperti rutinitas sebelum tidur, atau menolak
berangkat ke tempat penitipan anak, walaupun ia selalu senang di sana.
7) Semata-mata
keras kepala
Seorang anak bisa saja
menunjukkan tantrum apapun yang terjadi.
d. Penanganan
Temper Tantrum
Anak yang masih
menunjukkan tantrum setiap kali keinginannya tidak terpenuhi, biasanya
dikarenakan tantrum telah menjadi “senjata”baginya untuk memenuhi apa yang
diinginkannya.
Menurut Dr. Kesster
(dalam Chairani, 2003) (dalam Hildayani, 2007) “Ketika usia anak 4-5 tahun,
orang tua benar-benar diuji niatnya untuk menangani rasa marah (yang ditunjuk
anak) itu.” Hal ini karena anak-anak diusia 3 tahun sesungguhnya telah
mengalami bahasa komunikasi sehingga seharusnya mereka telah mampu
mengungkapkan keinginannya dan tidak lagi menunjukkan perilaku tantrum.
Beberapa cara
penanganan dalam mengahadapi anak yang temper tantrum yang terjadi pada anak
usia prasekolah adalah sebagai berikut:
1) Mencoba
mengerti dan memahami jenis tantrum apa yang terjadi pada saat itu.
a) Bila
anak menunjukan manipulative tantrum maka kita hendaknya mengabaikan perilaku
anak pada saat itu, tidak melihat kearah anak, mencoba bersikap tenang dan
tetap melakukan pekerjaan. Apabila anak tetap melakukan tantrumnya dan
berteriak-teriak untuk menarik perhatian kita, maka yang harus dilakukan adalah
memisahkan anak dari teman-temannya. Anak diamankan pada ruangan yang
dipastikan aman. Anak diberitahu apabila dia dapat mengendalikan kemarahannya
maka anak tersebut dapat kembali keteman-temannya. Sebaiknya sikap kita jangan
menunjukkan kemarahannya sehingga anak dapat menghentikan sikapnya tersebut.
Beri penjelasan pada anak lain bahwa temannya sedang dihukum agar berhenti
berteriak-teriak dan tidak perlu memperhatikan perilaku tersebut dan tetap
melanjutkan pekerjaannya.
b) Bila
anak menunjukkan verbal frustration, hendaknya jangan membiarkan atau
mengacuhkan anak tersebut serta jangan membiarkannya, bantulah anak itu untuk
memecahkan masalah tersebut. Apabila anak kesulitan dalam melakukan sesuatu
tetapi tidak dapat mengungkapkannya anak tersebut harus dibantu untuk dapat
menyelesaikan masalah tersebut. Apabila anak tidak dapat mengungkapkan dorong
anak untuk mengungkapkan dengan bahasanya sendiri dan kita dapat mengartikan
perasaan dan keinginan anak melalui kata-kata lembut, agar anak merasakan bahwa
kita merasakan dan memahami apa yang mereka inginkan.
c) Bila
anak menunjukkan temperamental tantrum, kita hendaknya jangan mengacuhkan
karena hal ini tidak dapat menyelesaikan masalah. Kita harus dapat membedakan
antara mengontrol kemarahan yang dialami oleh anak dalam menginginkan sesuatu
atau kemarahan sebagai rasa frustasi yang menunjukan ekspresi kesalahan dalam
mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan padanya. Adakalanya kita membutuhkan
bantuan seorang ahli dalam menangani masalah yang dihadapi anak tersebut.
2) Mencoba
mencatat tentang hal-hal yang dapat menyebabkan anak berlaku temper tantrum.
Kita harus memahami
penyebab yang terjadi pada anak mungkin saja pada saat itu anak merasa lapar,
terlalu lelah, dan terlalu terstimulasi, sehingga harus berhati-hati untuk
menghindari diri dari kondisi tersebut.
3) Mencoba
untuk mengendalikan diri
Kita dalam menghadapi
perilaku tantrum anak jangan lepas kontrol, karena mereka akan jadi bertingkah.
Kendalikan diri dan minta maaf pada anak ini akan membuat emosi anak
terkendali. Hampiri anak dengan tenang sambil tersenyum dan perhatikan bahwa
guru tetap menghargai anak.
Kita adalah manusia
yang memiliki keterbatasan, yang juga merasa tertekan dengan perilaku tantrum
anak. Berilah pengertian pada anak, boleh marah tetapi dengan cara yang baik
dan berilah reward pada anak misal berupa pujian pada saat anak tidak mengamuk
atau marah-marah, tentunya guru harus konsisten.
4) Jangan
berargumentasi atau mencoba menjelaskan tindakan anda kepada anak pra sekolah
yang sedang tantrum.
Perilaku anak tantrum
ini tidak akan mengerti/mendengar apa yang dikatakan orang tua, bahkan mereka
tidak akan menghentikan teriakannya meskipun kita menjelaskan apapun pada anak
tersebut.
5) Jangan
memberikan reward terhadap perilaku tantrum.
Orang tua jangan mudah
terpengaruh oleh tantrum meskipun bersalah, orang tua harus bisa berkata tidak,
walaupun anak segera menunjukkan perilaku tantrumnya karena ini merupakan awal
penghentian disiplin anak. Sebagai orang tua harus dapat mengajarkan kepada
anak cara mengendalikan diri.
3.
Anak
Usia Prasekolah (3-6 Tahun)
a. Pengertian
Anak usia prasekolah
adalah mereka yang berusia 3 – 6 tahun. Mereka biasa mengikuti program
prasekolah dan kinderganten. Sedangkan di Indonesia pada umumnya mereka
mengikuti program tempat penitipan anak 3 – 5 tahun dan kelompok bermain atau
Play Group (usia 3 tahun), sedangkan pada anak usia 4 – 6 tahun biasanya mereka
mengikuti program taman kanak-kanak. (Biechler dan Snowman dari Patmonodewo,
2003).
Anak usia prasekolah
merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak memiliki
kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam
buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya
(mencelakakan dirinya) (Yusuf, 2011). Batasan
anak usia prasekolah adalah dari setelah kelahiran (0 tahun) hingga usia
sekitar 6 tahun (Pratisti, 2008).
Anak prasekolah adalah
anak yang berusia antara tiga setengah hingga enam tahun, sebelum anak memulai
pendidikan formal di sekolah. Anak prasekolah tidak lagi tampak seperti bayi,
dia belajar bersikap lebih dewasa dan bisa melakukan hal yang menyenangkan bagi
orang-orang dewasa dalam hidupnya ketika dia mendapatkan pengakuan dan pujian
atas karyanya (Hagan, 2006). Maka dapat disimpulkan bahwa anak prasekolah
adalah anak yang berusia tiga hingga enam tahun, sebelum anak memulai
pendidikan formal.
b. Ciri-ciri
anak prasekolah
Snowman (1993) dikutip
dari Padmonodewo (2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah meliputi aspek
fisik, sosial, emosi dan kognitif anak.
1) Ciri
Fisik
Penampilan atau
gerak-gerik prasekolah mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam tahapan
sebelumnya.
a) Anak
prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka telah memiliki penguasaan (kontrol)
terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan-kegiatan yang dilakukan sendiri.
Berikan kesempatan kepada anak untuk lari, memanjat, dan melompat. Usahakan
kegiatan-kegiatan tersebut sebanyak mungkin sesuai dengan kebutuhan anak dan
selalu di bawah pengawasan.
b) Walaupun
anak laki-laki lebih besar, namun anak perempuan lebih terampil dalam tugas
yang bersifat praktis, khususnya dalam tugas motorik halus, tetapi sebaiknya
jangan mengkritik anak lelaki apabila dia tidak terampil. Jauhkan dari sikap
membandingkan lelaki-perempuan, juga dalam kompetensi ketrampilan.
2) Ciri
Sosial
Anak prasekolah
biasanya mudah bersosialisasi dengan orang di sekitarnya. Umumnya anak pada
tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat yang cepat berganti. Mereka umumnya
dapat cepat menyesuaikan diri secara sosial, mereka mau bermain dengan teman.
Sahabat yang biasa dipilih biasanya yang sama jenis kelaminnya, tetapi kemudian
berkembang menjadi sahabat yang terdiri dari jenis kelamin yang berbeda.
3) Ciri
Emosional
Anak prasekolah
cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka, sikap marah, iri
hati pada anak prasekolah sering terjadi, mereka seringkali memperebutkan
perhatian guru atau orang sekitar. Pada usia ini sudah menjadi kebiasaan anak
untuk berperilaku lebih agresif dan lemah dalam kontrol diri. Anak-anak dengan
emosional tinggi dapat menunjukkan sifatnya tersebut dengan temper tantrum.
4) Ciri
Kognitif
Anak prasekolah umumnya
sudah terampil berbahasa, sebagian besar dari mereka senang berbicara,
khususnya pada kelompoknya. Sebaliknya anak diberi kesempatan untuk menjadi
pendengar yang baik (Padmonodewo, 2003).
c. Tugas
Tumbuh Kembang Anak
Soetjiningsih (2002)
mengemukakan bahwa semua tugas perkembangan anak usia 4-6 tahun itu disusun
berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam empat kelompok besar yang
disebut sektor perkembangan yang meliputi :
1) Perilaku
Sosial
Aspek yang berhubungan
dengan kemampuan kemandirian, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan
misalnya, membantu di rumah, mengambil makan, berpakaian tanpa bantuan,
menyuapi boneka, menggosok gigi tanpa bantuan, dapat makan sendiri.
2) Gerakan
Motorik Halus
Aspek yang berhubungan
dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang
melibatkan bagian tubuh tertentu yang dilakukan otot-otot kecil, tetapi
memerlukan koordinasi yang cermat misalnya menggambar garis, lingkaran dan
menggambar manusia.
3) Bahasa
Kemampuan yang
memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah, misalnya bicara semua
dimengerti, mengenal dan menyebutkan warna, menggunakan kata sifat
(besar-kecil).
4) Gerakan
Motorik Kasar
Aspek yang berhubungan
dengan pergerakan dan sikap tubuh, misalnya berdiri dengan satu kaki, berjalan
naik tangga dan menendang bola ke depan.
d. Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan
1) Keturunan
Karakteristik yang
diturunkan mempunyai pengaruh besar pada perkembangan jenis kelamin anak, yang
ditentukan oleh seleksi acak pada waktu konsepsi, mengarahkan pola pertumbuhan
dan perilaku orang lain terhadap anak.
Jenis kelamin dan determinan keturunan lain secara kuat mempengaruhi hasil
akhir pertumbuhan dan laju perkembangan untuk mendapatkan hasil akhir tersebut.
Terdapat hubungan yang besar antara orang tua dan anak dalam hal sifat seperti
tinggi badan, berat badan dan laju pertumbuhan. Kebanyakan karakteristik fisik,
termasuk pola dan bentuk gambaran, bangun tubuh dan keganjilan fisik diturunkan
dan dapat mempengaruhi cara pertumbuhan dan integrasi anak dengan lingkungan
(Soetjiningsih, 2002).
2) Faktor
Neuroendokrin
Penelitian menunjukan
kemungkinan adanya pusat pertumbuhan dalam region hipotalamik yang
bertanggungjawab untuk mempertahankan pola pertumbuhan yang ditetapkan secara
genetic. Beberapa hubungan fungsional diyakini diantara hipotalamus dan system
endokrin yang mempengaruhi pertumbuhan.
3) Nutrisi
Nutrisi mungkin
merupakan satu-satunya pengaruh paling penting pada pertumbuhan. Faktor diit
mengatur pertumbuhan pada semua tahap perkembangan dan efeknya ditunjukan pada
cara yang beragam dan rumit, selama masa bayi dan kanak-kanak. Kebutuhan kalori
relative besar dibuktikan oleh peningkatan tinggi dan berat
badan(Soetjiningsih, 2002).
4) Hubungan
interpersonal
Hubungan dengan orang
terdekat memainkan peran penting dalam perkembangan terutama dalam perkembangan
emosi, intelektual dan kepribadian, terutama dalam perkembangan emosi,
intelektual dan kepribadian tidak hanya kualitas dan kuantitas kontak dengan
orang lain yang memberi pengaruh pada anak yang sedang berkembang tetapi
luasnya rentang kontak penting untuk pembelajaran dan perkembangan kepribadian
yang sehat.
5) Tingkat
Sosioekonomi
Tingkat sosioekonomi
keluarga mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada
semua usia anak dari kelas atas dan menengah mempunyai tinggi lebih dari anak
keluarga dengan strata ekonomi rendah. Keluarga dari sosioekonomi rendah kurang
memiliki pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan
lingkungan yang aman, menstimulasi dan kaya nutrisi yang membantu perkembangan
optimal anak.
6) Penyakit
Perubahan pertumbuhan
dan perkembangan adalah satu menifestasi klinis dalam sejumlah gangguan
hereditas. Gangguan pertumbuhan terutama terlihat pada gangguan skeletal,
seperti berbagai bentuk duarfisme dan sedikitnya satu anomaly kromosom (sindrom
turner) banyak gangguan metabolisme seperti riketsia resisten-vitamin D,
mukopoli sekaridosis, dan berbagai gangguan lain, kecendrungannya adalah kearah
persentil atas tinggi badan. Gangguan apapun yang dicirikan dengan
ketidakmampuan untuk mencerna dan mengabsorsi nutrisi tubuh akan memberi efek
merugikan pada pertumbuhan dan perkembangan
7) Bahaya
Lingkungan
Bahaya dilingkungan
adalah sumber kekawatiran pemberi asuhan kesehatan dan orang lain yang
memperhatikan kesehatan dan keamanan cedera fisik paling sering terjadi akibat
bahaya lingkungan, dan berkaitan dengan usia bahaya khusus dan ketidakmampuan
fisik (Soetjiningsih, 2002). Anak beresiko tinggi mengalami cedera akibat
resiko kimia dan ini berhubungan dengan potensi kardiogenik, efek enzimatik dan
akumulasi. Agens berbahaya yang paling sering dikaitkan dengan resiko kesehatan
adalah bahan kimia dan radiasi.
8) Stress
pada masa kanak-kanak
Meskipun semua anak
mengalami stres beberapa anak muda tampak lebih rentan dibanding yang lain.
Usia anak temperamen situasi hidup dan status kesehatan mempengaruhi kerentanan
reaksi dan kemampuan mereka mengatasi stres. Orang tua dapat mencoba untuk
mengenali tanda stres untuk membantu anak menghadapi stres sebelum menjadi
berat (Soetjiningsih, 2002).
9) Pengaruh
media massa
Media dapat
memberi pengaruh besar pada perkembangan
anak, media memberi anak suatu cara untuk memperluas pengetahuan mereka tentang
dunia tempat mereka hidup dan berkontribusi untuk mempersempit perbedaan antar
kelas. Anak dapat mengidentifikasi secara dekat orang atau karakter yang
digambarkan dalam materi bacaan, film, video dan program televisi serta iklan
(Soetjiningsih, 2002).
4.
Kualitas
a. Pengertian
Persepsi tentang
kualitas atau mutu sangat berbeda-beda karena bersifat sangat subjektif. Banyak
pengertian tentang kualitas atau mutu, antara lain berikut ini:
1) Mutu
adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati
(Winston Dictionary, 1956).
2) Mutu
adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program (Donabedian, 1980).
3) Mutu
adalah totalitas dari wujud serta ciri-ciri suatu barang atau jasa yang
didalamya terkandung pengertian atau rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para
pengguna (Din ISO 8402, 1986).
Dari batasan ini, dapat
dipahami bahwa mutu atau kualitas hanya dapat diketahui apabila sebelumnya
telah dilakukan penilaian. Dalam praktik sehari-hari, melakukan penilaian
tidaklah mudah. Penyebab utamanya ialah karena mutu bersifat multi dimensional.
Tiap orang, tergantung dari latar belakang kepentingan masing-masing dapat
melakukan penilaian dari dimensi berbeda (Sastrianegara dan Saleha, 2009).
b. Dimensi
Kualitas
Rosemary E. Cross mengatakan
bahwa secara umum pemikiran tentang kualitas sering dihubungkan dengan
kelayakan, kemewahan, kecantikan, nilai uang, kebebasan dari rasa sakit dan
ketidaknyamanan, usia harapan hidup yang panjang, rasa hormat, kebaikan.
Menurut kamus bahasa Inggris Oxford, kualitas adalah “tingkat keunggulan”.
Maxwell (1984) menyebutkan ada enam dimensi kualitas:
1) Acceptability
(dapat menerima)
2) Equity
(kewajaran)
3) Appropriateness
(kelayakan)
4) Efficiency
(efisiensi)
5) Effectiveness
(keefektifan)
6) Accesibility
(mudah dicapai)
Keenam dimensi tersebut
harus berlaku secara acak ditiap tahapan asuhan untuk semua penerima atau atau
pengguna. Untuk mengatasi adanya perbedaan dimensi tentang masalah mutu
harusnya pedoman yang dipakai adalah hakekat dasar dari diselenggarakannya hal
tersebut. Yang dimaksud dengan hakekat dasar tersebut adalah memenuhi kebutuhan
dan tuntunan para pemakainya yang apabila berhasil dipenuhi akan menimbulkan
rasa puas terhadap hal yang diselenggarakan.
c. Kualitas
Bounding Attachment
Telah dipahami sebelumnya
bahwa mutu atau kualitas hanya dapat diketahui apabila sebelumnya telah
dilakukan penilaian. Oleh karena itu, kualitas bounding atttachment dapat
diketahui jika sudah melakukan penilaian. Penilaian untuk mengetahui kualitas
bounding attachment ini menggunakan GRAY SCORE. Berikut ini merupakan skor
penilaian bounding attachment
menggunakan GRAY SCORE:
Tabel 2.2
Kualitas Bounding Attachment
GRAY SCORE : Skor Bonding
|
||||||||||||
Skor Bonding
|
Bagaimana tindakan Ibu terhadap Bayinya
|
|||||||||||
Memandang
|
Berkata
|
Melakukan Sesuatu
|
||||||||||
5. Sangat (-) tidak tepat
6. Agak (-) tidak tepat
7. Agak (+) sesuai
8. Sangat(+) sesuai
|
Penampilan
umum depresi, ketakutan, marah-marah,
apatis
Sangat
gembira bahagia,antusias
|
Membuat
suatu sebutan bagi bayi & suami,menunjukkan permusuhan rasa kecewa terhadap
bayi
Bicarakan
langsung pada bayi, menggunakan nama bayi menunjukan reaksi (+)
|
Memfokuskan
perhatian pada dirinya, menolak untuk melihat bayi menangis
Mengeluarkan
tangan ingin memegang, memeriksa kontak mata
|
Buku ajar
asuhan kebidanan persalinan (Yanti, 2010)
5.
Perilaku
a. Pengertian
Perilaku adalah
tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang
sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja,
kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo,
2012).
Berdasarkan
Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme
terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada
sesuatu yang diperlakukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut
rangsangan. Dengan demikian, maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan
reaksi atau perilaku tertentu (Bimo, 2001).
b. Macam
– macam perilaku
Dilihat dari
bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu :
1) Perilaku
tertutup (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini
masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang
terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
2) Perilaku
terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
nyata atau terbuka (overt). Respons
terhadap stimulus tersebut sudah jelas bentuk tindakan atau praktik (practice),
yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu
disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktik (practice).
c. Domain
Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi
terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam
memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor – faktor
lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama
yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat
dibedakan menjadi dua, yakni.
1) Determinan
atau faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yakni
bersifat given atau bawaan, misalkan : tingkat kecerdasan, tingkat emosional,
jenis kelamin, dan sebagainya.
2) Determinan
atau faktor eksternal, yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang mewarnai
perilaku seseorang.
- Temper Tantrum Sebagai Perilaku Disruptive
Selama masa
perkembangan anak, kerap muncul perilaku ketidakpatuhan dan agresif pada anak.
Perilaku ketidakpatuhan dan agresif dapat disebut juga sebagai perilaku
disruptive. Secara luas, perilaku disruptive mengandung beragam perilaku yang
meliputi temper tantrum, menangis atau
merengek berlebihan, meminta perhatian, tidak patuh, berperilaku agresif
terhadap diri dan orang lain, mencuri, berbohong, merusak perabot, dan
menunjukkan perilaku nakal/melanggar aturan (Schroeder & Gordon, 2002).
Perilaku disruptive misalnya perilaku temper tantrum pada anak dan perilaku negativistic berupa kecenderungan anak
untuk menolak perintah orang dewasa.
Perilaku disruptive
atau perilaku yang mengganggu dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari
perilaku dicirikan sebagai oposisi, pemberontak, bermusuhan atau negativistic
(American Psychiatric Asosiasi, 1994). Contoh perilaku yang mengganggu termasuk
penolakan langsung untuk memenuhi permintaan orang dewasa adalah agresi/
menentang secara verbal ataupun fisik, temper tantrum, dan menghancurkan
barang-barang. Munculnya perilaku mengganggu umum pada anak-anak usia
prasekolah, dan peningkatan frekuensi perilaku ini adalah khas selama tahap ini
karena perkembangan anak mulai mengarahkan lebih ke kebebasan. Namun, bentuk
perilaku yang mengganggu lebih parah selama di tahun prasekolah, terutama yang
melibatkan agresi dan menantang, mungkin menandakan awal dari masalah perilaku
yang akan bertahan sepanjang masa (Campbell, 1991; Campbell, Maret, Pierce,
Ewing, & Szumowski, 1991; Hinshaw &Melnick, 1995) (dalam Crystal,
1997).
Masalah perilaku yang
mengganggu mewakili alasan utama untuk rujukan anak-anak prasekolah ke layanan
psikologis (Campbell , 1995). Selain itu, eksternalisasi masalah perilaku
sampai di bentuk parah di tahun-tahun prasekolah yang bertahan lama dan jika
masalah ini bertahan ke tahun usia sekolah, mereka kemungkinan akan terus
berlanjut sampai menjadi remaja (Campbell , 1995). Oleh karena itu, hal ini
sangat penting untuk meningkatkan pemahaman kita tentang faktor-faktor yang
menyebabkan anak-anak prasekolah memiliki perilaku mengganggu seperti temper
tantrum. Ini merupakan syarat yang diperlukan untuk mengembangkan strategi
untuk pencegahan dan pengobatan.
Studi terbaru yang
telah diteliti, perilaku mengganggu
(Disruptive behaviour) dan insecure attachment bersamaan di tahun-tahun
prasekolah membuktikan keduanya saling berhubungan (Easterbrooks, Davidson,
& Chazan, 1993). Banyak faktor yang mungkin berkontribusi terhadap penyebab
masalah perilaku disruptive atau perilaku temper tantrum di anak usia
prasekolah. Seperti yang mereka lakukan di sebagian besar masalah psikologis
dan perilaku dalam anak-anak. Penelitian telah mengidentifikasi banyak faktor
berbasis lingkungan yang tampaknya berisiko untuk mengembangkan masalah
perilaku yang mengganggu (Moss, Parent, Gosselin, Rousseau, & St.-Laurent,
1996) (dalam Crystal, 1997)
Berbagai faktor risiko
dalam upaya untuk menemukan mekanisme yang menyebabkan anak untuk berperilaku
mengganggu. Kepuasan perkawinan, praktik pengasuhan atau pola asuh, dan pola attachment orangtua dan anak (kualitas bounding attachment) merupakan
penyebab perilaku mengganggu (perilaku disruptive) di anak-anak prasekolah
(Belsky dkk, 1996). Konflik perkawinan dan praktik pengasuhan yang tidak
efektif adalah dua faktor risiko yang juga diakui sebagai penyebab perilaku
yang mengganggu pada anak-anak (Crystal, 1997).
- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Temper Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah
Menurut Belsky &
Woodworth, Fagot & Pears, Keenan, & Winslow (dalam Crystal 1997),
Faktor yang mempengaruhi perilaku disruptive (temper tantrum) pada anak
prasekolah antara lain sebagai berikut:
a. Kepuasan
Perkawinan
Marital satisfaction
atau kepuasan perkawinan adalah suatu perasaan kepuasan dan kesenangan dalam
suatu perkawinan. Menurut Benin, kepuasan perkawinan meningkat pada saat
sebelum memiliki anak dan sesudah anak dilahirkan. Menurut Cowan (dalam Lemme,
1995) bahwa kepuasan perkawinan dapat meningkat pada saat anak pertama
dilahirkan. Namun demikian, menurut White dkk (dalam Lemme, 1995), kepuasan
perkawinan dapat menurun terutama pada wanita karena bertambahnya pekerjaan
serta berkurangnya kebersamaan dengan pasangan. Hurlock juga mengungkapkan
bahwa kehadiran anak-anak cenderung menimbulkan ketegangan dalam perkawinan dan
perpengaruh terhadap kepuasan perkawinan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Hurlock
bahwa keluarga yang jumlah anak lebih dari empat memiliki tingkat ketegangan
yang tinggi dalam perkawinan dibandingkan keluarga yang hanya memiliki satu,
dua, atau tiga anak.
Ketegangan yang timbul
akibat ketidakpuasan perkawinan akan mempengaruhi perkembangan anak karena
suasana rumah menjadi tidak kondusif. Ketidakpuasan perkawinan membuat mudah
tersulutnya emosi yang dapat berujung pada pertengkaran suami istri, dan hal
ini tidak baik dalam perkembangan emosi anak, apalagi jika pertengkaran ini
sering terjadi didepan anak.
b. Praktik
Pengasuhan
Praktik pengasuhan atau
pola asuh orang tua dapat diartikan sebagai interaksi antara anak dan orang tua
selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pangasuhan ini berarti orang tua mendidik,
membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan
sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Tarmudji, 2001).
Pola asuh orang tua
adalah upaya orang tua dalam mengasuh, merawat, membesarkan dan mendidik
seorang anak yang dapat mempengaruhi kualitas anak baik biologis, psikologis
atau sosial. Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak
dipengaruhi oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan
lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas
perkembangannya (Setyonegoro, 2003).
Cara orang tua
mengasuh, mendidik serta merawat anak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
antara lain faktor budaya, agama, kebiasaan, status ekonomi dan kepercayaan
serta kepribadian orang tua. Selain itu faktor pola asuh yang diterapkan pada
anak biasanya sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterima orang tua semasa
kecil. Fungsi pola asuh dari orang tua adalah menganjurkan anak dan menerima
pengekangan yang dibutuhkan dan membantu mengarahkan emosi anak ke dalam jalur
yang berguna dan diterima secara sosial (Setyonegoro, 2003).
Menurut Shaleh (2009)
pemberian rasa sayang, rasa aman, atau dilindungi akan selalu ada pada setiap
orang tua. Tidak mungkin orang tua akan mencelakai dan membahayakan kehidupan
anaknya, kecuali orang tua tersebut adalah orang yang tidak bertanggung jawab
dan tidak menginginkan kehadiran anak akibat dari kehadirannya yang diproses
dengan jalan yang tidak sah. Jangankan manusia, harimau pun tidak akan pernah memakan
anaknya sendiri. Oleh karena itu, jelaslah bahwa orang tua selalu mempunyai
naluri untuk memberi rasa sayang, rasa aman, melindungi, menafkahi, dan
membantu sang anak untuk pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan
maksimal.
c. Kualitas
Bounding Attachment
Bayi yang baru lahir
yang menunjukkan serba tidak berdaya. Namun dibalik ketidakberdayaannya
tersebut pada dirinya terdapat berbagai potensi yang siap berkembang. Bayi akan
berkembang dengan baik dan berbagai potensi yang dimiliki berubah menjadi
kemampuan nyata bila mendapatkan stimuli dari lingkungannya, terutama
lingkungan sosial. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi bayi.
Faktor yang sangat diperlukan oleh bayi dari lingkungan ini adalah bonding dan
attachment (Kuntjojo, 2010).
Bruce D. Perry (2001)
menyatakan bahwa Bonding merupakan hubungan antara seseorang dengan orang yang
lain dan melalui bonding terbentuklah attachment. Jika bayi memiliki kualitas bounding attachment yang baik atau
memiliki secure attachment maka menggambarkan adanya keseimbangan antara
keterlibatan bayi dengan ibu. Jika kualitas bounding
attachment antara ibu dan bayi kurang maka tingkat keamanan (secure
attachment) kurang. Padahal tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi
emosional, kognitif dan sosial ketika ia menginjak usia dewasa. Kurang
terpenuhi hubungan ini dapat menimbulkan masalah bagi bayi salah satunya dalam
hal fungsi emosional sehingga akan mempengaruhi tingkat emosinya dikemudian
hari saat usianya mulai bertambah dewasa. Sehingga dapat disimpulkaan bahwa
kualitas bounding attachment yang terbentuk berpengaruh terhadap kompetensi
emosional, kognitif dan sosial anak.
Sedangkan Jeff dan
Cindi (2006) memandang bonding sebagai hubungan yang istimewa antara bayi
dengan ibunya. Selengkapnya dia menyatakan “Bonding is that beautiful act of
a baby and a parent totally falling inlove with each other. Not only is bonding
enjoyable, but it is essential for yourbaby's psychological well being. A
loving environment produces confidence,trust, and relational skills in your
baby. The lack of bonding can cause seriouspsychological problems for your
child in the future”
Bonding, menurut Jeff
dan Cindi, merupakan kebutuhan esensial bagi bayi. Dengan bonding, bayi belajar
mengembangkan rasa percaya diri keterampilan dalam hubungan social. Bila bayi
dalam perkembangannya kurang merasakan hubungan tersebut, dirinya dapat
mengalami problem psikologis yang serius dikemudian hari.
Berkenaan dengan
attachment, Bruce D. Perry (2001) menyatakan “attachment refers to a special
bond characterized by the unique qualities of the special bond that forms in
maternal-infant or primary caregiver-infant relationships.” Menurut Perry,
attachment merupakan suatu hubungan antar manusia (bond) yang ditandai oleh
sifat-sifat yang specifik dalam hubungan bayi dan ibunya atau bayi dan
pengasuhnya. Selanjutnya Perry menegaskan bahwa attachment terbentuk
melalui bonding, dan dalam
attachment bond terdapat elemen-elemen sebagai berikut.
1) an
attachment bond is an enduring emotional relationships with specific person;
2)
the relationship brings safety,
comfort, soothing and pleasure;
3)
loss or threat of loss of person
evokes intense distress.
Sebagai
kebutuhan, attachment memerlukan pemenuhan. Bila pengalaman tersebut ternyata
tidak atau kurang terpenuhi dapat menimbulkan masalah bagi bayi (Bruce D.Perry,
2001) yaitu : (1) developmental delays, (2) eating, (3)soothing behavior,(
4) emotional function, (5) in-appropriate modeling, dan (6)aggression.
Hubungan
bonding dengan attachment dapat digambarkan berikut ini:
Bagan 2.1
Hubungan bonding dengan attachment (Kuntjojo,
2010):
B.
Kerangka Teori
|
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-
konsep yang ingin diamati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan. (Notoatmodjo, 2010).
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
A.
Hipotesis Penelitian
Hipotesa penelitian adalah hipotesa kerja (Hipotesis Alternatif Ha atau H1) yaitu hipotesis yang dirumuskan untuk menjawab permasalahan dengan menggunakan teori-teori
yang ada hubungannya
(relevan) dengan masalah penelitian dan belum berdasarkan fakta serta dukungan
data yang nyata di lapangan. Hipotesa dalam penelitian ini adalah :
Ha = Ada hubungan antara kualitas bounding
attachment dengan
perilaku temper tantrum pada anak
usia prasekolah.
Ho = Tidak ada hubungan antara kualitas bounding attachment dengan perilaku temper tantrum pada anak usia
prasekolah.
B.
Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik korelasional yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan diantara variabel-variabel yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan retrospektif
yaitu metode pengambilan
data dimana data yang dikumpulkan berasal
dari data yang telah berlalu (Suyanto, 2009). Penelitian ini adalah penelitian yang berusaha melihat kebelakang
(backward looking), artinya pengumpulan data dimulai dari efek atau akibat yang
telah terjadi (Notoatmodjo, 2010).
C. Variabel Penelitian
Variabel adalah ukuran atau ciri
yang dimiliki oleh anggota- anggota suatu kelompok
yang berbeda dengan
yang dimiliki oleh kelompok lain. Variabel juga didefinisikan sebagai sesuatu yang digunakan sebagai ciri,
sifat, atau ukuran
yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep penelitian tertentu (Notoatmodjo,
2010). Variabel dalam penelitian ini meliputi:
1.
Variabel bebas
Variabel bebas adalah merupakan variabel resiko atau sebab (Notoatmodjo, 2010).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kualitas bounding
attachment di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati.
2.
Variabel terikat
Variabel terikat adalah variabel terikat atau efek. Variabel ini dipengaruhi oleh variabel bebas
(Notoatmodjo, 2010).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku temper
tantrum anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati.
D.
Definisi Operasional
Definisi operasional bertujuan untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel diamati/diteliti. Definisi operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument atau alat ukur
(Notoatmodjo, 2010).
Tabel 3.1
Definisi Operasional
No
|
Variabel penelitian
|
Definisi Operasional
|
Alat ukur
|
Hasil ukur
|
Skala ukur
|
1.
|
Variabel bebas: kualitas bounding attachment
|
Kualitas bounding
attachment antara ibu dan anaknya saat bayi dan saat ini yang meliputi
perasaan ibu saat memandang anaknya, komunikasi/bicara ibu dengan anaknya,
dan tindakan ibu terhadap anaknya
|
Kuesioner dengan menggunakan GRAY
score yang dimodifikasi dengan elemen-elemen bounding (Markum) dengan
menggunakan 16 pernyataan. Setiap item diberi nilai 1 sampai 4 sesuai dengan
item favourable dan unfavourable. Dan memiliki empat
alternatif jawaban yaitu “Sangat Tidak Tepat”, “ Agak Tidak Tepat”, “Agak Sesuai”, dan
“Sangat Sesuai”.
|
Jika data berdistribusi normal
maka,
kategori:
a.
Kurang
[Skor < (Mean-1,0 SD)]
b.
Sedang
[(Mean
- 1,0 SD) ≤ skor < (Mean + 1,0 SD)]
c.
Baik
[Skor ≥ (Mean +
1,0 SD)]
Jika data berdistribusi tidak
normal maka,
kategori:
a.
Kurang
[Skor < (median-1,0 SD)]
b.
Sedang
[(Median
- 1,0
SD) ≤ skor < (median
+ 1,0 SD)]
c.
Baik
[Skor ≥ (Median
+ 1,0
SD)]
|
Ordinal
|
2.
|
Variabel terikat: perilaku
temper tantrum
|
Perilaku yang menunjukkan/ mengarah pada perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah
baik bersifat fisik seperti menghentakkan kaki, memukul, membenturkan kepala,
menendang, membanting pintu, melemparkan dan merusak barang-barang maupun
secara verbal seperti menangis dengan keras, merengek, berteriak dan
menjerit, serta mengumpat dan memaki.
|
Kuesioner dengan menggunakan 19
pernyataan. Setiap
item diberi nilai 1 sampai 4 sesuai dengan item favourable dan unfavourable.
Dan memiliki empat alternatif jawaban yaitu “Tidak Pernah”, “Pernah”,
“Jarang”, dan “Sering”.
|
Jika
data berdistribusi normal maka, kategori:
a.
Rendah
[Skor< (Mean - 1,0 SD )]
b.
Sedang
[(Mean - 1,0 SD) ≤ Skor< (Mean + 1,0 SD)]
c.
Tinggi
[Skor ≥ (Mean +
1,0 SD)]
Jika
data berdistribusi tidak normal maka, kategori:
a.
Rendah
[Skor< (Median - 1,0 SD )]
b.
Sedang
[(Median - 1,0 SD) ≤ Skor< (Median + 1,0 SD)]
c.
Tinggi
[Skor
≥ (Median +
1,0 SD)]
|
Ordinal
|
E. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TK Pertiwi, Desa
Dadirejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati pada bulan Maret 2016.
F. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
1.
Populasi
Populasi adalah seluruh subjek atau objek dengan karekteristik tertentu yang akan diteliti, bukan hanya objek atau subjek
yang dijelaskan tetapi juga seluruh karakteristik atau sifat
yang dimiliki subjek atau objek tersebut (Hidayat, 2007).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia prasekolah (3-6 tahun) di TK Pertiwi,
yaitu sejumlah
36 anak.
2.
Sampel
Menurut Arikunto (2006), sebagai indicator bila subjek kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua sehingga sampel penelitian ini adalah seluruh anak
usia prasekolah (3-6 tahun) di TK Pertiwi, yaitu sejumlah 36 anak.
3.
Teknik
sampling
Teknik sampling yang
digunakan pada penelitian ini adalah nonprobability
sampling dengan metode sampling
jenuh yaitu seluruh populasi menjadi sampel.
(Sugiyono, 2010)
G. Alat Ukur Penelitian
Alat ukur dalam penelitian ini adalah kuesioner. Jenis kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup, sehingga tinggal memilih jawaban dengan memberikan tanda centang (√) pada kolom yang tersedia (Arikunto, 2006).
H. Uji Validitas dan Reliabilitas
Setelah kuesioner sebagai alat pengumpul selesai disusun, belum berarti kuesioner tersebut dapat langsung digunakan untuk mengumpulkan data. Kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian, perlu uji validitas dan reliabilitas untuk itu maka kuesioner tersebut harus dilakukan uji coba dilapangan. (Notoatmodjo, 2010)
Pada penelitian ini kuesioner dibuat sendiri oleh peneliti, belum diuji cobakan kepada responden, maka kuesioner perlu diuji yaitu melakukan uji validitas dan reliabilitas.
1.
Uji validitas
Validitas adalah indeks
yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010).
Untuk mengetahui apakah kuesioner yang disusun tersebut mampu mengukur apa hendak kita ukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi antar skor
(nilai) tiap-tiap pertanyaan
dengan skor
total kuesioner tersebut,
teknik yang dipakai peneliti adalah kolerasi Product
Moment antara belahan
item genap dengan ganjil (Hidayat, 2007). Adapun rumusnya yaitu:
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image002.gif)
Keterangan :
rxy : Koefisien korelasi
< :
Jumlah skor dan setiap
item
∑y : Jumlah skor total item
Xy : Jumlah perkalian skor x
dan skor y semua subjek
n : Semua responden
Hasil uji akan dibandingkan antara harga r hitung dengan r table dengan taraf signifikan 0,05. Apabila hasil r hitung > r table maka pernyataan dinyatakan valid untuk digunakan penelitian. Selain
itu untuk menentukan kevalidan item pernyataan tersebut, maka dapat dilihat
juga pada nilai signifikansi. Jika signifikansi < 0,05 maka item pernyataan
tersebut valid, tetapi jika signifikansi > 0,05 maka item tidak valid.
Uji validitas dilakukan di TK Mardisiwi pada 20 anak prasekolah. Uji
validitas dilakukan pada kuesioner kualitas bounding
attachment dengan jumlah pernyataan 20 item dan kuesioner perilaku temper
tantrum dengan jumlah pernyataan 20 item. Hasil uji
validitasnya sebagai
berikut :
Tabel 3.2
Rekapitulasi Hasil Uji
Validitas Kualitas
Bounding Attachment dan Perilaku Temper Tantrum
Variabel
|
R hitung
|
R Tabel
|
Keterangan
|
Kualitas
Bounding Attachment
Perilaku
Temper Tantrum
|
0,009 –
0,876
0,217
– 0,812
|
0,444
0,444
|
16 Valid dan 4 Tidak Valid
19 Valid dan 1 Tidak Valid
|
Nilai r tabel pada
validitas kuesioner kualitas bounding
attachment tersebut adalah 0,444 sehingga ada 16 item
pernyataan yang valid dan 4 item
pernyataan yang tidak valid. Maka
peneliti melakukan usaha perbaikan instrumen kuesioner dengan cara menghapus
pernyataan yang tidak valid. Jadi dalam kuesioner kualitas bounding
attachment tersebut tinggal 16 pernyataan yang
valid yang nantinya digunakan dalam penelitian.
Nilai r tabel pada validitas
kuesioner perilaku temper tantrum tersebut adalah 0,444
sehingga ada 19 item pernyataan yang valid dan 1 item
pernyataan yang tidak valid. Maka
peneliti melakukan usaha perbaikan instrumen kuesioner dengan cara menghapus
pernyataan yang tidak valid. Jadi dalam kuesioner perilaku temper
tantrum tersebut tinggal 19 pernyataan yang valid yang nantinya
digunakan dalam penelitian.
2.
Mengukur reliabilitas
Setelah mengukur validitas maka perlu mengukur reliabilitas
data, apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Dalam penelitian ini uji reliabilitas menggunakan rumus Alpa Cronbach Alpha Cronbach adalah salah satu koefisien reliabilitas yang paling sering digunakan (Sugiyono, 2011).
Rumus :
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.gif)
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image006.gif)
Keterangan :
r : koefisien reabilitas yang dicari
k : mean kuadrat antar subyek
Si2 : mean
kuadrat kesalahan
St2 : Varian
total
Uji reliabilitas merupakan kelanjutan dari uji
validitas dimana item yang masuk pengujian adalah item pernyataan yang valid
saja. Menurut Sekaran (2006), reliabilitas kurang dari 0,6 adalah kurang baik,
sedangkan 0,7 dapat diterima, dan di atas 0,8 adalah baik.
Uji reliabilitas dilakukan
pada kuesioner kualitas bounding
attachment (jumlah pernyataan
16 item valid) dan kuesioner perilaku temper tantrum (jumlah pernyataan 19
item valid) dengan hasil Alpha
Cronbach sebagai berikut:
Tabel 3.3
Rekapitulasi Hasil Uji
Reliabilitas Instrumen
Variabel
|
Alpha Cronbach
|
Keterangan
|
Kualitas
Bounding Attachment
Perilaku
Temper tantrum
|
0,888
0,919
|
Reliabilitas
baik
Reliabilitas
baik
|
Dari tabel di atas
diketahui bahwa seluruh instrumen adalah reliabel karena semua nilai Alpha
Cronbach > 0,6. Alpha Cronbach kualitas
bounding attachment sebesar 0,888 dan Alpha Cronbach perilaku
temper tantrum sebesar 0,919 berarti
reliabilitasnya baik dan dapat digunakan
sebagai instrumen penelitian.
I.
Jenis Data dan Pengumpulan
Data
1.
Jenis Data
a.
Data primer
Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan
data langsung
pada
subyek
sebagai
sumber
informasi yang dicari (Saryono, 2008). Data primer
diperoleh
dari
hasil
jawaban
kuesioner.
b.
Data sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang berhubungan dengan penelitian
(Saryono, 2008). Data sekunder dalam penelitian ini adalah data jumlah anak usia prasekolah (3-6 tahun) di TK Pertiwi.
2.
Pengumpulan Data
a.
Izin dari kampus
b.
Izin kepada Kepala Sekolah TK Pertiwi dan pengambilan
data
c.
Surat persetujuan responden.
d.
Penjelasan dan pengambilan
data kepada
responden
dengan
membagikan
kuesioner
kepada
ibu.
e.
Setelah selesai, kuesioner dikumpulkan dan direkap untuk dianalis.
J. Metode Pengolahan Data
1.
Mengedit
(editing)
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran
data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing
dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2.
Pengkodean
(coding)
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode etik ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer.
3.
Skor (scoring)
Scoring adalah memberikan penilaian terhadap
item-item yang perlu diberi skor. Pemberian penilaian pada kualitas bounding
attachment dan perilaku temper
tantrum adalah sebagai berikut:
a.
Kualitas bounding
attachment :
1)
Bila pernyataan positif
: nilai 1 untuk jawaban “Sangat
Tidak Tepat”, nilai 2 untuk jawaban “Agak Tidak Tepat”, nilai 3 untuk jawaban
“Agak Sesuai”, dan nilai 4 untuk jawaban“Sangat Sesuai”.
2)
Bila pernyataan negatif
: nilai 1 untuk jawaban “Sangat
Sesuai”, nilai 2 untuk jawaban “Agak Sesuai”, nilai 3 untuk jawaban “Agak Tidak
Tepat”, dan nilai 4 untuk jawaban“Sangat Tidak Tepat”
b.
Perilaku temper
tantrum:
1)
Bila pernyataan positif
: nilai 1 untuk jawaban
“Sering”, nilai 2 untuk jawaban “Jarang”, nilai 3 untuk jawaban “Pernah”, dan
nilai 4 untuk jawaban“Tidak Pernah”.
2)
Bila pernyataan negatif
: nilai 1 untuk jawaban “Tidak
Pernah”, nilai 2 untuk jawaban “Pernah”, nilai 3 untuk jawaban “Jarang”,
dannilai 4 untuk jawaban “Sering”.
Jika
data berdistribusi normal, kualitas bounding
attachment dikategorikan sebagai berikut :
a.
Bila
kualitas bounding attachment baik : Skor ≥ (Mean + 1,0 SD)
b.
Bila
kualitas bounding attachment sedang : (Mean - 1,0
SD) ≤ skor < (Mean + 1,0
SD)
c.
Bila
kualitas bounding attachment kurang : Skor < (Mean - 1,0 SD)
Jika
data berdistribusi tidak normal, kualitas bounding
attachment dikategorikan sebagai berikut :
a.
Bila kualitas bounding
attachment baik : Skor ≥ (Median + 1,0 SD)
b.
Bila
kualitas bounding attachment sedang : (Median - 1,0 SD) ≤ skor < ( Median + 1,0 SD)
c.
Bila
kualitas bounding attachment kurang : Skor < (Median - 1,0 SD)
Jika
data berdistribusi normal, perilaku temper
tantrum dikategorikan sebagai berikut :
a.
Bila perilaku temper
tantrum tinggi : Skor ≥ (Mean + 1,0 SD)
b.
Bila
perilaku temper tantrum sedang : (Mean - 1,0 SD) ≤ skor < (Mean + 1,0 SD)
c.
Bila
perilaku temper tantrum rendah : Skor
< (Mean - 1,0 SD)
Jika
data berdistribusi tidak normal, perilaku temper
tantrum dikategorikan sebagai berikut :
a.
Bila perilaku temper
tantrum tinggi : Skor ≥ (Median + 1,0 SD)
b.
Bila
perilaku temper tantrum sedang : (Median - 1,0 SD) ≤
skor < (Median + 1,0 SD)
c.
Bila perilaku
temper tantrum rendah : Skor < (Median - 1,0 SD)
4.
Tabulasi
(tabulating)
Tabulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam tabel yang
tersedia
sehingga
sifat data akan tampak.
5.
Memasukkan
data (entry)
Proses memasukkan data kedalam software computer untuk dapat diolah sesuai dengan tujuan penelitian.
K. Analisis Data
Pengolahan data sekunder
yang diperoleh meliputi pemasukan data pembersihan data dan analisis data statistic dilakukan secara komputerisasi yaitu dengan menggunakan program SPSS untuk melakukan analisis univariat dan bivariat.
1.
Analisis univariat
Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variable penelitian dan disajikan dalam bentuk table distribusi frekuensi sebagai informasi untuk menggambarkan semua variabel. Analisa univariat dilakukan terhadap setiap variable dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan prosentase dari setiap variabel.
|
Keterangan :
X = hasil persentase
f
= frekuensi hasil pencapaian
N
= jumlah seluruh observasi
2.
Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua
variabel yang diduga berhubungan
atau berkorelasi (Notoatmodjo,
2010). Analisis bivariat yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara
kualitas bounding attachment dengan perilaku temper tantrum pada
anak usia prasekolah di TK
Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati adalah dengan menggunakan analisis Spearman.
Spearman
Rank bekerja dengan data ordinal atau berjenjang atau ranking,dan bebas
distribusi. Sumber data untuk kedua variabel yang akan dikonversikan dapat
berasal dari sumber yang tidak sama, jenis data yang dikorelasikan adalah data
ordinal, serta data dari kedua variabel tidak harus membentuk distribusi normal
(Sugiyono, 2010).
Rumus :
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image010.gif)
Keterangan :
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image012.gif)
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS dengan dasar pengambilan keputusannya sebagai berikut:
a)
Menerima Ha (menolak Ho), bila
diperoleh
nilai signifikansi < 0,05. Berarti ada hubungan antara
kualitas bounding attachment terhadap
perilaku temper tantrum pada anak
usia prasekolah.
b)
Menolak Ha (menerima Ho), bila
diperoleh nilai signifikansi
> 0,05. Berarti tidak ada hubungan antara
kualitas bounding attachment terhadap
perilaku temper tantrum pada anak
usia prasekolah.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
1.
Analisa Univariat
a.
Kualitas
Bounding Attachment
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Kualitas Bounding
Attachment
di
TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan
MargorejoPati
Tahun 2016
Kualitas
Bounding Attachment
|
Interval
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
Baik
|
≥ 59,12
|
7
|
19,4
|
Sedang
|
48,25 – 59,12
|
24
|
66,6
|
Kurang
|
< 48,25
|
5
|
14
|
Total
|
36
|
100
|
Berdasarkan tabel 4.1 di atas diketahui bahwaanak usia
prasekolah di TK Pertiwi yang memiliki kualitas bounding attachment baik sebanyak 7 anak (19,4%), kualitas bounding attachment sedang sebanyak 24 anak (66,6%),
sedangkan kualitas bounding attachment kurang sebanyak 5 anak (14%).
b.
Perilaku Temper Tantrum
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Perilaku Temper
Tantrum di
TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan
MargorejoPati
Tahun 2016
Perilaku Temper
Tantrum
|
Interval
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
Tinggi
|
≥ 47,7
|
3
|
8,3
|
Sedang
|
35,17 – 47,7
|
28
|
77,7
|
Rendah
|
< 35,17
|
5
|
14
|
Total
|
36
|
100
|
Berdasarkan tabel 4.2 di atas diketahui bahwa anak usia
prasekolah di TK Pertiwi yang mengalami perilaku temper tantrum tinggi sebanyak 3 anak (8,3%), perilaku temper tantrum sedang sebanyak 28 anak (77,7%), dan perilaku temper tantrum rendah sebanyak 5 anak (14%).
2.
Analisa Bivariat
a.
Hubungan Kualitas Bounding Attachment terhadap Perilaku Temper
Tantrum Pada Anak
Usia Prasekolah di
TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati
Tabel 4.3
Tabulasi Silang Antara Kualitas Bounding Attachment Terhadap Perilaku Temper Tantrum pada Anak Usia Prasekolah
di TK Pertiwi
No
|
Kualitas Bounding
Attachment
|
Perilaku Temper
Tantrum
|
|||||||||
Tinggi
|
Sedang
|
Rendah
|
Total
|
![]() |
signifikansi
|
||||||
F
|
%
|
f
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
||||
1
2
3
|
Baik
Sedang
Kurang
|
0
3
0
|
0
8,3
0
|
4
19
5
|
11
52,7
14
|
3
2
0
|
8,3
5,5
0
|
7
24
5
|
19,4
66,6
14
|
0,378
|
0,023
|
Total
|
3
|
8,3
|
24
|
66,6
|
5
|
14
|
36
|
100
|
Tabel 4.3
menjelaskan bahwa
anak usia prasekolah yang memiliki kualitas bounding
attachment baik yang berperilaku temper tantrum tinggi tidak ada (0%),
sedangkan yang berperilaku temper tantrum sedang sebanyak 4 anak (11%), danyang berperilaku temper tantrum rendah sebanyak 3 anak (8,3%). Kualitas bounding
attachment sedang yang berperilaku temper tantrum tinggi sebanyak 3 anak (8,3%),
sedangkan yang
berperilaku temper tantrum sedang sebanyak 19 anak (52,7%), dan yang berperilaku temper tantrum rendah sebanyak 2 anak (5,5%). Kualitas bounding attachment kurang yang berperilaku temper tantrum tinggi tidak ada (0%), sedangkan yang berperilaku temper tantrum sedang sebanyak 5 anak (14%), dan yang berperilaku temper tantrum rendah tidak ada (0%),
Hasil
penelitian dengan uji spearman rank
didapatkan hasil nilai signifikansi 0,023.
Nilai signifikansinya < 0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak, berarti ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa
Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati tahun 2016.
B.
Pembahasan
1.
Analisa Univariat
a.
Kualitas
Bounding Attachment
Berdasarkan hasil penelitian di atas diketahui bahwa anak usia
prasekolah di TK Pertiwi yang memiliki kualitas bounding attachment baik sebanyak 7 anak (19,4%), kualitas bounding attachment sedang sebanyak 24 anak (66,6%),
sedangkan kualitas bounding attachment kurang sebanyak 5 anak (14%).
Kualitas bounding attachment pada anak prasekolah dilihat dari bounding attachment awal saat bayi pada
tahap perkenalan dan bounding, dilanjutkan dengan bounding attachment lanjutan pada saat ini karena pada anak usia
prasekolah hubungan attachment sesungguhnya telah terbentuk.
Bounding
attachment adalah suatu proses sebagai hasil dari suatu
interaksi terus-menerus antara bayi dan orang tua yang bersifat saling
mencintai serta memberi keduanya pemenuhan emosional dan saling membutuhkan. Bounding attachment dibagi dalam 3
tahapan yaitu perkenalan (acquaintance),
bounding, dan attachment.
Menurut Bruce D. Perry (2001), Bonding merupakan hubungan antara
seseorang dengan orang yang lain dan melalui bonding terbentuklah attachment.
Attachment merupakan tahapan bounding attachment yang lebih lanjut. Pada saat
anak telah berusia 2 tahun, hubungan attachment yang sesungguhnya telah
terbentuk.
Berk (2003) mendefinisikan attachment
sebagai ikatan afektif yang kuat dengan orang spesial dalam hidup, dengan
keberadaan orang tersebut didekat anak maka anak akan merasa lebih nyaman saat
menghadapi tekanan serta merasa senang saat berinteraksi dengannya.
Attachment memang
tidak berkembang secara tiba-tiba tetapi terjadi dalam serangkaian tahapan. Attachment merupakan ikatan yang
terpelihara sepanjang waktu, namun demikian banyak ahli yang memberikan
perhatian yang lebih besar terhadap konsep tersebut selama masa-masa awal
kehidupan seorang anak. Attachment terbentuk melalui bounding, dan attachment
merupakan tahapan lebih lanjut dari bounding
attachment sehingga attachment terbentuk melalui proses dari bayi usia 0
hari hingga umur 2 tahun dimana saat umur 2 tahun hubungan attachment yang
sesungguhnya telah terbentuk.
Berdasarkan darihasil kuesioner dari 36 responden, sebagian besar kualitas bounding attachment anak prasekolah di
TK Pertiwi sedang. Diketahui semua ibu dari anak usia prasekolah ini menyatakan
bahwa anak mereka dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) saat bayi. Selain itu, rata-rata ibu mereka
saat anaknya masih bayi sering memeluk dan menggendong bayinya sambil mengajak
berbicara, juga membelai dan mencium serta merasa gembira dan bahagia melihat
bayinya dan merasa antusias terhadap segala hal tentang bayinya.Selain itu
rata-rata ibu anak prasekolah ini menyusui anaknya hingga usia 2-3 tahun. Dan
bahkan ada yang hingga saat ini masih menyusu pada ibunya. Beberapa ibu juga menyatakan bahwa
mereka memiliki sebutan tersendiri untuk anaknya misalnya buah hati atau kesayangan,
dan sering berbicara dengan anak mereka, serta merasa khawatir, cemas, dan
takut saat melihat anak mereka menangis sambil berguling dilantai.
Hal
demikian terjadi dikarenakan bounding
attachment terbentuk dari bayi hingga umur 2 tahun sehingga kualitas bounding attachment sudah terbentuk saat
anak menginjak usia prasekolah.
b.
Perilaku Temper Tantrum
Berdasarkan hasil penelitian di atas diketahui bahwa anak usia
prasekolah di TK Pertiwi yang mengalami perilaku temper tantrum tinggi sebanyak 3 anak (8,3%), perilaku temper tantrum sedang sebanyak 28 anak (77,7%), dan perilaku temper tantrum rendah sebanyak 5 anak (14%).
Menurut Riana Mashar (2011), Temper tantrum adalah suatu letupan
kemarahan anak yang sering terjadi pada saat anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku
ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras,
berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang,
dan berbagai kegiatan.
Menurut Shaefer & Millman,
(dalam Hildayani, 2007) perilaku temper
tantrum yang ditunjukkan seorang anak dapat muncul dalam bentuk yang
bermacam-macam, diantaranya adalah perilaku berteriak, memecahkan benda-benda,
atau bergulingan di lantai. Beberapa anak bahkan dapat menyakiti diri sendiri
(memukul kepalanya) atau mencoba menyakiti siapapun yang datang mendekatinya.
Pada titik yang ekstrim seorang anak dapat menunjukkan perilaku temper tantrum
dengan menahan napas mereka selama beberapa saat.
Berdasarkan dari hasil
penelitian, rata-rata anak prasekolah di TK Pertiwi berperilaku temper tantrum sedang. Ibu mereka
menyatakan bahwa sebagian besar anak mereka merengek bila menginginkan sesuatu
dan merengek terus-menerus saat keinginannya tidak terpenuhi, anak mereka
rata-rata juga pernah menjerit-jerit saat sedang marah dan akan meminta pulang
jika ia bosan saat berada di tempat baru, serta memarahi teman yang merebut
mainannya.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Riana Mashar (2011) bahwa Temper tantrum
adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat anak
menunjukkan sikap negativistik atau
penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan
keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul,
menendang, dan berbagai kegiatan lainnya.
2.
Analisa Bivariat
a.
Hubungan
Kualitas Bounding Attachment Terhadap
Perilaku Temper Tantrum Pada Anak
Usia Prasekolah di TK Pertiwi
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 36 responden, anak usia prasekolah yang memiliki
kualitas bounding attachment baik dan berperilaku temper tantrum tinggi tidak ada (0%),
sedangkan yang berperilaku temper tantrum sedang sebanyak 4 anak (11%), dan yang berperilaku temper tantrum rendah sebanyak 3 anak (8,3%).
Hasil
penelitian dengan uji spearman rank
didapatkan hasil nilai signifikansi 0,023.
Nilai signifikansinya < 0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak, berarti ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa
Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati tahun 2016.
Menurut Riana Mashar (2011), Temper
tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat
anak menunjukkan sikap negativistik
atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis
dengan keras, berguling-guling dilantai, menjerit, melempar barang,
memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan.
Menurut Belsky dkk (1996), perilaku temper tantrum pada anak prasekolah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah kualitas bounding
attachment. Jika anak memiliki kualitas bounding attachment yang baik ia akan memiliki kelekatan aman (secure attachment). Kelekatan
(attachment) yang dimiliki anak sejak bayi hingga ia telah berusia 2 tahun akan
berpengaruh terhadap emosi yang dimiliki anak.
Menurut Papalia, Olds &
Feldman (2009) Tingkat keamanan (security)
dalam attachment berpengaruh terhadap
kompetensi emosional, kognitif dan sosial. Secure
attachment berhubungan dengan tingkah laku eksplorasi yang kompleks pada
saat anak berusia dua tahun. Anak-anak dengan secure attachment memiliki minat yang kuat dan ketertarikan untuk
memecahkan masalah, lebih antusias, tekun, kooperatif, dan efektif dalam
pemecahan masalah, memiliki ambang frustasi yang lebih tinggi, kurang sering
menangis, serta kurang menunjukkan sikap agresi terhadap Ibu. Emosi mereka juga
lebih positif, empati yang lebih besar, dan menggambarkan dirinya dengan cara
yang lebih positif. Pada usia prasekolah mereka akan lebih resilien, lebih bisa
mengembangkan empati, rasa ingin tahu tinggi, lebih percaya diri dan memiliki
citra diri positif.
Kualitas bounding attachment pada anak prasekolah dilihat dari bounding attachment awal saat bayi pada
tahap perkenalan dan bounding, dilanjutkan dengan bounding attachment lanjutan pada saat ini karena pada anak usia
prasekolah hubungan attachment sesungguhnya telah terbentuk.
Kelekatan
aman (secure attachment) sejak bayi kelak akan sangat
berpengaruh pada kompetensi emosi, sosial, dan kognitif ketika ia menginjak usia dewasa. Semakin anak lekat dengan orangtua sejak usia
dini, maka akan semakin mudah anak berinteraksi dengan orang lain. Hal itu
terjadi karena sejak bayi ia sudah merasa aman (secure). Anak
yang memiliki kelekatan dengan orang tua juga tumbuh menjadi pribadi percaya
diri, memiliki harga diri, berani, memiliki persahabatan yang erat yang
dimulai sejak anak usia 3-5 tahun dan aktif dalam berkegiatan.
Jika saat bayi memiliki kualitas bounding attachment yang baik atau
memiliki secure attachment maka menggambarkan adanya keseimbangan antara
keterlibatan bayi dengan ibu. Jika kualitas bounding
attachment antara ibu dan bayi kurang maka tingkat keamanan (secure
attachment) kurang. Padahal tingkat keamanan (security) dalam attachment berpengaruh terhadap kompetensi
emosional, kognitif dan sosial ketika ia menginjak usia dewasa. Kurang
terpenuhi hubungan ini dapat menimbulkan masalah bagi bayi salah satunya dalam
hal fungsi emosional sehingga akan mempengaruhi tingkat emosinya dikemudian
hari saat usianya mulai bertambah dewasa.
Kualitas bounding attachment yang terbentuk berpengaruh terhadap kompetensi
emosional, kognitif dan sosial anak.Temper
tantrum merupakan suatu bentuk letupan emosi anak. Dari hasil penelitian,
anak usia prasekolah di TK Pertiwi yang memiliki kualitas bounding attachment yang baik dan menunjukkan perilaku temper tantrum tinggi tidak ada,
sedangkan yang menunjukkan perilaku temper
tantrum sedang sebanyak 4 anak, dan yang menunjukkan perilaku temper tantrum rendah sebanyak 3 anak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah
di TK Pertiwi.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Belsky dkk (1996) bahwa kualitas bounding
attachment salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah.Jika anak memiliki
kualitas bounding attachment yang
baik ia akan memiliki kelekatan aman (secure
attachment). Kelekatan (attachment) yang dimiliki anak sejak bayi hingga ia telah berusia 2 tahun
akan berpengaruh terhadap emosi yang dimiliki anak, dalam hal ini adalah temper tantrum. Jika anak memiliki
kualitas bounding attachment baik
maka perilaku temper tantrumnya rendah.
Jika kualitas bounding attachment
anak kurang maka perilaku temper
tantrumnya tinggi.
Dari hasil penelitian di TK
Pertiwi, anak usia prasekolah yang memiliki kualitas bounding attachment kurang dan berperilaku temper tantrum tinggi tidak ada. Hal ini terjadi dimungkinkan
karena ibu mengisi kuesioner dengan mengingat-ingat dari anaknya masih bayi
hingga saat ini sehingga memungkinkan responden lupa.
C.
Keterbatasan Penelitian
Dalam penyusunan penelitian ini
peneliti mengalami beberapa keterbatasan penelitian yang terdiri dari:
1. Penelitian
ini hanya dilakukan dilingkup TK Pertiwi di Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo
Kabupaten Pati sehingga respondennya sedikit yaitu 36 responden.
2. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan retrospektif yaitumetodepengambilan
data dimana data yang dikumpulkan
berasal dari data yang telah berlalu, jadi ibu mengisi kuesioner dengan
mengingat-ingat dari anaknya masih bayi hingga saat ini sehingga memungkinkan
respondenlupa dan mengisinya secara asal-asalan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian hubungan kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa
Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati tahun 2016, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
- Kualitas bounding attachment anak usia prasekolah di TK Pertiwi baik sebanyak 7 anak (19,4%), kualitas bounding attachment sedang sebanyak 24 anak (66,6%), sedangkan kualitas bounding attachment kurang sebanyak 5 anak (14%).
- Perilaku temper tantrum anak usia prasekolah di TK Pertiwi tinggi sebanyak 3 anak (8,3%), perilaku temper tantrum sedang sebanyak 28 anak (77,7%), dan perilaku temper tantrum rendah sebanyak 5 anak (14%).
- Ada hubungan antara kualitas bounding attachment terhadap perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah di TK Pertiwi Desa Dadirejo Kecamatan Margorejo Pati tahun 2016. Hal ini ditunjukkan nilai signifikansi 0,023 < 0,05.
B. Saran
1. Bagi Orang
Tua
Sebaiknya orang tua tidak menyerah dalam menangani perilaku temper tantrum pada anak usia prasekolah
dan dapat mengajarkan anak untuk mengekspresikan kemarahan anak dengan lebih
baik tanpa menunjukkan perilaku temper
tantrum.
2. Bagi
Peneliti
Perlunya peningkatan lebih lanjut terhadap beberapa kajian
baik secara riset maupun teori yang dapat menambah wawasan peneliti untuk
dijadikan bekal dalam melayani masyarakat, dan juga bagi diri peneliti sendiri.
3.
Bagi Tenaga Kesehatan
Perlu
perhatian khusus dari tenaga kesehatan untuk mengembangkan
program penanganan perilaku
temper tantrum pada anak usia prasekolah sehingga perilaku ini dapat segera
ditangani.
- Bagi Peneliti Selanjutnya
Dalam penelitian ini literatur yang membahas tentang kualitas bounding attachment dengan perilaku temper
tantrum pada
anak usia prasekolah kurang, sebaiknya penelitian selanjutnya lebih banyak literature terbaru yang
digunakan
sehingga
informasi yang diperoleh dapat lebih maksimal.
. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
DAFTAR
PUSTAKA
Ainsworth,
M. D .S. 1990. Some considerations regarding theory and assessment relevant to
attachments beyond infancy. In M. T. Greenberg, D. Cicchetti, & E. M.
Cummings (Eds.), Attachment in the preschool years: Theory, research, and
intervention, (pp. 463-489). Chicago, IL: The University of Chicago Press.
American
Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Maental
Disorder. Washington DC : APA Arlington.VA.
Anggraini,
Yetti. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Nifas.
Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Arikunto,
Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar,
Saifuddin. 2010. Metodologi Penelitian.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Bahiyatun.
2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas
Normal. Jakarta: EGC.
Belsky,
J., Woodworth, S., & Cmic, K. (1996). Troubled family interaction during
toddlerhood. Development and Psychopathology. 8, 477-495.
Berk,
Laura E. 2003. Child Development.USA:
Allyn and bacon.
Bimo,
Walgito. 2001. Psikologi Sosial.
Yogyakarta: Andi Offset.
Bowlby,
J. (1988). A secure base: Parent-child attachment and healthy human
development. New York: Basic Books.
Campbell,
S.B. (1995). Behavior problems in preschool children: A review of recent
research. Journal of Child Psychology and Psychiatry. 36 (1). 113-149.
Carolyne,
Meggit. 2013. Memahami Perkembangan Anak.
Jakarta: Indeks.
Dariyo,
Agoes. 2007. Psikologi Perkembangan Anak
Tiga Tahun Pertama. Bandung: Refika Aditama.
Devito,
Crystal Isaacs. 1997. Mother-Child
Attachment And Disruptive Behavior In The Preschool Years. Chicago: Illinois
Institute of Technology.
Dinantia,
Fadila dkk. 2014. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Frekuensi dan Intensitas
Perilaku Temper Tantrum pada Anak Toddler (Studi Kasus di Kelurahan Sidomulyo,
Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru). Jurnal Universitas Riau.
Easterbrooks,
M. A., Davidson, C. E., & Chazan, R. (1993). Psychosocial risk, attachment,
and behavior problems among school-aged children. Development and
Psychopathology. £, 389-402.
Hagan,
J.S. 2006. Mendidik Anak Memasuki Usia
Prasekolah. Jakarta; Prestasi Pustakarya.
Hasan,
Maimunah. 2011. Pendidikan Anak Usia Dini.
Jogjakarta: Diva Press.
Hidayat,
A.A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan
dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.
Hildayani,
Rini. 2007. Psikologi Perkembangan Anak.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Hurlock,
Elizabeth B. 2000. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Jakarta: Erlangga.
Jeff
and Cindi. (2006) “Oh Baby, Bond with
Me” http:// www.envisagedesign.
com/ohbaby/ index/html (diakses 15 Oktober 2015).
Kirana,
Rizkia S. 2013. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Temper Tantrum pada Anak
Prasekolah (Studi kasus di Dusun Ngemplak, Kecamatan Bawen, Kabupaten
Semarang). Skripsi Universitas Negeri Semarang.
Kuntjojo.
2010. Perkembangan Peserta Didik.
Kediri: Universitas Nusantara PFGRI Kediri.
Lemme,
B.H. 1995. Development in Adulthhood. USA: Allyn & Baccon.
Mashar,
Riana. 2011. Emosi Anak Usia Dini dan
Strategi Pengembangannya. Jakarta: Prenadamedia Group.
Notoadmodjo,
S. 2012. Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
![](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image001.gif)
Padmonodewo.S.
2003. Pendekatan anak Prasekolah.
Jakarta: Rineka Cipta.
Papalia
D.E., Olds. S.W., & Feldman R. D. 2009. Human
Development (Perkembangan Manusia). Jakarta: Salemba Humanika.
Perry,
Bruce D. (2001) Bonding Attachment in Maltreated Children: Consequences of
Emotional Neglect in Childhood. Booklet
Pratisti,
Wiwien Dinar. 2008. Psikologi Anak Usia
Dini. Jakarta: PT Indeks.
Rulie.
2011. Selesaikan tantrum sejak dini. Http://mommies
daily.com/2011/04/18/selesaikan-tantrum-sejak-dini-yuk/html.
Santrock.
1997. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Saryono.
2008. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.
Sastrianegara,
F. dan Saleha. 2009. Organisasi dan
Manajemen Pelayanan Kesehatan serta Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Schroeder
& Gordon. 2002. Assesment and
Treatment of Childhood Problems: Aclinician’s Guide. USA: The Guilford
Press.
Sekaran,
Uma. 2006. Research Methods for Business.
Jakarta: Salemba Empat.
Setyonegoro,
K. 2003. Batasan-batasan Lanjut Usia, Karakteristik Penduduk Lanjut Usia di
Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Utara: USU.
Shaleh,
A. R. 2009. Psikologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soetjiningsih.
2002. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:
EGC.
Sugiyono.
2010. Statistika untuk Penelitian.
Bandung: Alfabeta.
Suyanto.
2009. Riset Kebidanan: Metodologi dan
Aplikasi. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.
Tarmudji,
Tarsis. 2001. Hubungan Pola Asuh dengan Agresivitas Remaja. Http://www.Depdiknas.go.id/journal/html. Diakses
tanggal 22 September 2015.
Yanti.
2010. Buku Ajar Asuhan Kebidanan
Persalinan. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Yusuf,
H. Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zaviera,
Ferdinand. 2008. Mengenali dan Memahami
Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta: KATAHATI.
|
|
|
No comments:
Post a Comment